Nasib Suram Investor Ritel Pemilik Emiten Calon Delisting

Potensi pailit emiten menjadi risiko terbesar yang dihadapi investor di pasar modal Indonesia. Saat ini, sejumlah emiten dalam daftar calon delisting berpotensi mengalami pailit dan kesulitan untuk memenuhi kewajiban buyback atas saham investornya.

Annisa Kurniasari Saumi & Pandu Gumilar

18 Jan 2022 - 21.00
A-
A+
Nasib Suram Investor Ritel Pemilik Emiten Calon Delisting

Karyawan berada di dekat layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (11/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis, JAKARTA — Penghapusan emiten dari daftar perusahaan tercatat atau delisting di Bursa Efek Indonesia bukanlah kabar yang disukai investor, apalagi ketika delisting terjadi karena terpaksa akibat gagalnya emiten memenuhi tuntutan kewajiban sebagai emiten.

Sejak tahun lalu, sudah ada sekitar 38 emiten yang potensial dihapus statusnya sebagai perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia. Seiring dengan itu, transaksi saham mereka pun dibekukan. Alhasil, investor ritel yang terlanjur memiliki saham mereka tidak dapat keluar dan melepas kepemilikannya.

Ketika suatu emiten akan dihapus pencatatannya dari BEI, emiten tersebut berkewajiban untuk melakukan pembelian kembali atau buyback atas sahamnya yang digenggam investor publik.

Namun, kondisinya menjadi sangat sulit untuk memenuhi kewajiban itu ketika emiten yang bersangkutan berada di ambang kebangkrutan.

Seiring dengan itu, nasib investor emiten-emiten ini, terutama investor publik dari kalangan ritel menjadi terkatung-katung.

Bukan tidak mungkin investor pada akhirnya harus mengikhlaskan emiten tersebut untuk tidak saja mengalami delisting, tetapi juga dinyatakan pailit dan tidak mampu mengembalikan dana investasi investor.

Salah satu emiten yang kini terancam delisting adalah PT Hanson International Tbk. (MYRX). Saat ini, investor publik menjadi pemegang saham mayoritas MYRX sebesar 77,29 miliar atau setara dengan 89,15 persen.

Jika menggunakan harga saham saat ini Rp50, maka dana investor ritel yang tersangkut di yang terafiliasi dengan Benny Tjokrosaputro tersebut mencapai sekitar Rp3,86 triliun.

BEI mengumumkan jika emiten properti itu telah menggenapi masa suspensi selama 24 bulan per 16 Januari 2022.  Dengan begitu, MYRX memenuhi syarat untuk delisting dari pasar modal.

Pasalnya, mengacu pada Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa, Bursa dapat menghapus efek perusahaan tercatat apabila memenuhi dua kondisi.

Pertama, ketentuan III.3.1.1 mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status perusahaan tercatat sebagai perusahaan terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.

Kedua, ketentuan III.3.1.2, saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai, hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.

Baik syarat pertama atau yang kedua sudah terpenuhi oleh MYRX. Sebab perseroan juga sudah ditetapkan pailit sejak Agustus 2021 silam oleh Mahkamah Agung. Selain itu, Direktur Utama MYRX Benny Tjokrosaputro juga ditetapkan tersangka kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri.

Akan tetapi, untuk bisa ditendang dari pasar modal perseroan harus bisa melakukan buyback atas saham publik, mengacu pada POJK No. 3 /POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal.

Dengan demikian, jumlah pemegang saham menjadi kurang dari 50  pihak dan menjadi perusahaan tertutup.

Sementara itu, jika menilik dari alasan awal suspensi saham MYRX pada 2020, ialah karena perseroan gagal membayar pinjaman individu senilai Rp2,66 triliun. Hal itu membuat perseroan mengambil opsi konversi utang menjadi saham.

Akademisi Hukum Ekonomi Universitas Indonesia Teddy Anggoro mengatakan nasib aset perusahaan milik terdakwa Jiwasraya Benny Tjokro itu akan menjadi boedel pailit. Artinya, aset milik MYRX akan dilelang oleh kurator yang diangkat. Kemudian, aset tersebut akan dibagikan kepada kreditor.

"Aset perusahaan setelah dinyatakan pailit maka menjadi boedel pailit," kata Teddy kepada Bisnis, Rabu (13/10) tahun lalu.

Sementara itu, bagi pemegang saham MYRX, Teddy mengatakan saham emiten tersebut sudah tidak ada nilainya. "Sahamnya jadi tidak ada nilai. Boedel pailit itu pertama dibagikan kepada kreditur, kalau masih ada sisa baru dibagikan kepada pemegang saham," pungkasnya.

Emiten lainnya yang juga terancam delisting adalah PT Bliss Properti Indonesia Tbk. (POSA). Nasib investor ritel di emiten ini pun tidak jauh berbeda dibandingkan dengan MYRX. Aset emiten ini disita oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) karena diduga terlibat dalam kasus korupsi Asabri.

Chief Financial Officer Bliss Properti Indonesia Eko Heru membenarkan Kejagung telah menyita sejumlah aset milik perseroan. Di antaranya adalah Mal Tanjungpinang City Center pada 12 Oktober 2021, Mal Ambon City Center pada 8 November 2021, dan Mal Ponorogo City Center 2 Desember 2021.

Kejagung menyatakan bahwa penyitaan atas aset POSA bertujuan untuk mencegah peralihan aset oleh perseroan sampai dengan sidang kasus asabri mendapatkan keputusan yang inkrah.

Selama masa penyitaan aparatur negara itu tetap memperbolehkan da mengizinkan mal-mal POSA beroperasi secara normal, tetapi kegiatannya diawasi oleh BUMN atau BUMD yang bergerak di bidang properti atau perusahaan yang sedang menjalani kerjasama build operate transfer (BOT) dengan perseroan.

“Dapat kami sampaikan bahwa perseroan tidak memiliki hubungan dengan Teddy Tjokrosaputro [TT] baik sebagai pemegang saham maupun pengurus perseroan. Mal-mal perseroan yang disita dibangun menggunakan dana dari internal perseroan dan pinjaman bank dengan jaminan berupa SHGB mal tersebut sehingga tidak ada hubungan sama sekali dengan kasus korupsi TT,” tegas Heru pada Selasa (18/1).

Di sisi lain, Bursa Efek Indonesia juga telah menggembok saham POSA sejak 24 November 2020. Saat ini perseroan menghadapi resiko delisting efek dari pasar modal.

“Maka dapat kami sampaikan bahwa saham PT Bliss Properti Indonesia Tbk. (Perseroan) telah disuspensi di seluruh pasar selama 12 bulan pada tanggal 24 November 2021 dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada tanggal 24 November 2022,” sebut BEI pada Selasa (18/1).

Setelah masa 24 bulan digenapi oleh perseroan maka BEI bisa melakukan delisting kepada POSA sesuai Peraturan Bursa No. I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham.

Emiten lainnya yang juga terancam delisting dan meninggalkan risiko kehilangan dana bagi para investornya yakni PT Sugih Energy Tbk. (SUGI). Emiten ini sudah tidak lagi memiliki karyawan sejak 2019 karena tidak memiliki dana untuk membayar gaji.

Para jajaran direksi dan komisarisnya pun sudah mengundurkan diri per 12 Januari 2022 lantaran bahkan untuk mengadakan rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) saja perseroan tidak memiliki dana.

Mereka yang mengundurkan diri adalah  Komisaris Utama Fadel Muhammad, Komisaris Independen Sany Kharisman Wisekay, Direktur Utama Walter Rudolf Kaminski, Direktur David Kurniawan Wiranata, dan Direktur Lawrence T.P. Siburian.

“Direksi telah menghubungi para pemegang saham akan tetapi dari pihak para pemegang saham tidak ada yang mau menaruh uang di perusahaan guna dapat menyelenggarakan RUPS Tahunan,” tulis manajemen dalam keterbukaan informasi di BEI.

Selain itu, direksi dan komisaris tidak bisa bekerja karena tidak ada kantor perseroan, sebab kantor sebelumnya telah disegel karena belum membayar sewa. Honor dan gaji direksi juga tidak pernah dibayarkan per Oktober 2019. Dengan begitu segala program kerja tidak bisa dilaksanakan.

Direksi mengungkapkan kebobrokan saat ini terjadi karena pejabat sebelumnya tidak pernah membuat dan melaporkan masalah keuangan perusahaan sejak 2018.Manajemen menegaskan telah melepaskan hak untuk meminta ganti rugi, mengajukan klaim, gugatan dan tuntutan apapun.

Di sisi lain, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan perseroan tetap harus melakukan buyback sesuai dengan persyaratan OJK. Adapun saat ini kepemilikan saham publik pada SUGI sebanyak 16,43 miliar atau 66,23 persen.

Dengan nilai saham saat ini Rp50, maka modal yang diperlukan untuk membeli saham publik maksimal mencapai Rp821,71 miliar. Manajemen SUGI sebelumnya menyerahkan keputusan kepada pemegang saham pengendali yaitu Goldenhill Energy Fund, pemilik 11,52 persen saham SUGI, atas kelangsungan SUGI.

Namun, sejatinya bukan hanya investor ritel yang dirugikan akibat ketidakpastian kelangsungan usaha SUGI. Salah satu pemegang saham besar SUGI lainnya yakni Dana Pensiun (Dapen) Pertamina.

Kasus kegagalan investasi Dapen Pertamina di SUGI ini pun telah menyeret Edward Soeryadjaya, putra sulung mendiang pendiri Grup Astra, William Soeryadjaya, mendekam di penjara atas dakwaan dugaan korupsi pengelolaan dana Dapen Pertamina senilai Rp1,4 triliun di SUGI.

Kasus-kasus serupa seperti ketiga emiten ini cukup banyak terjadi di pasar modal Indonesia sehingga menjadikan citra pasar modal menjadi tercoreng. Hal ini sekaligus menjadi pelajaran pahit bagi investor saham, yakni bahwa risiko terbesar dari investasi saham adalah kehilangan seluruh dana yang diinvestasikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.