NFT dan Bumerang Keamanan Data Pribadi

Data yang diperjualbelikan di NFT dapat disalahgunakan untuk kepentingan lain seperti mengajukan pinjaman secara daring dan lain sebagainya.

Leo Dwi Jatmiko

18 Jan 2022 - 15.30
A-
A+
NFT dan Bumerang Keamanan Data Pribadi

Pengunjung memegang smartphone yang menampilkan pasar online galeri di dekat NFT dan tandatangan litograf di Gallery di London, Inggris, Rabu (22/9/2021). Bloomberg/Chris J. Ratcliffe

Bisnis, JAKARTA — Mulai naiknya popularitas nonfungible tokens alias NFT di bursa kripto Tanah Air rupanya berbanding lurus dengan lonjakan aktivitas perdagangan data pribadi secara ilegal.Sayangnya, pemerintah belum punya regulasi baku yang mengatur soal transaksi NFT. 

Pakar Budaya dan Komunikasi Digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan mengatakan aset NFT yang diperjualbelikan dalam lokapasar (marketplace) tidak sebatas foto dan gambar, tetapi juga data pribadi orang seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan karya orang lain. 

Hal ini yang menjadi permasalahan karena menyangkut legalitas. 

“Penjualan KTP itu kan sesuatu yang ilegal karena di sana terdapat banyak data pribadi,” kata Firman, awal pekan. 

Dia mengatakan data yang diperjualbelikan di NFT dapat disalahgunakan untuk kepentingan lain seperti mengajukan pinjaman secara daring dan lain sebagainya. 

Dalam hal ini, dia mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk segera turun tangan mengatasi problem tersebut. 

“Pengawasan adalah salah satu instrumen, cara lainnya adalah terus mengkomunikasikan pola transaksi di dunia digital tidak berbeda dengan di dunia nyata. Harus legal,” kata Firman. 

Pengawasan terhadap NFT, kata Firman, tidak hanya terjadi di Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat juga melakukan pengawasan terhadap NFT. Di sana pengawasan bertujuan untuk menghindari aktivitas pencucian uang. 

Sebagai contoh, seorang pengambil kebijakan dengan akun anonim  menjual aset di NFT, yang kemudian oleh seseorang dibeli dengan harga tinggi, untuk suatu barang yang tidak jelas bentuknya. 

Tidak hanya itu, uang-uang hasil kejahatan juga berpotensi dialihkan untuk NFT, yang kemudian membuat NFT ini makin diminati. 

Dia mengatakan negara-negara seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat dan lain sebagainya, saat ini mencoba membuat regulasi  untuk mengawasi namun di satu sisi juta tidak membatasi inovasi. Permasalah dalam regulasi adalah menentukan nilai aset NFT. 

“Nilai aset di NFT itukan hasil kesepakatan antara manusia di jejaring digital. Sama seperti batu akik beberapa tahun lalu. Ini adalah bubble,” kata Firman. 

Dia mengatakan agar masyarakat tidak merugi, karena yang transaksi di NFT ada yang serius dan spekulatif, masyarakat yang serius jangan sampai dirugikan. 

“Regulasi arahnya kesana,” kata Firman. 

Tampilan situs Opensea, marketplace yang menjual karya non-fungible token (NFT) terbesar di dunia/opensea.io

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) & COO Tokocrypto Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan pengawasan terhadap kegiatan transaksi NFT di Indonesia merupakan salah satu keinginan asosiasi. 

Dengan mengawasi transaksi NFT, asosiasi berharap para pengguna makin nyaman dalam bertransaksi NFT. 

“Untuk memberikan keyakinan dan rasa aman bagi pengguna untuk memperjualbelikan NFT atau aset kripto,” kata Teguh. 

Dia mengatakan saat ini pedagang aset kripto telah diawasi dan berkoordinasi dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.  Bappebti adalah  lembaga yang berwenang dalam tata kelola perdagangan aset kripto di Indonesia.

Selain pengawasan transaksi, menurutnya perlu ada pembentukan regulasi yang akan membantu pengembangan NFT yang dinamis. 

Saat ini, lanjutnya, regulasi di Indonesia masih terbatas pada aset kripto, belum mencakup terkait perkembangan blockchain lain. “Termasuk regulasi untuk pasar NFT, dan lainnya,” kata Teguh. 

Dia mengatakan di seluruh dunia, negara-negara memberi reaksi berbeda terhadap aset digital, seperti NFT dan aset kripto. Aset digital yang pada awalnya membawa stigma memungkinkan terjadinya kejahatan dunia maya, pencucian uang, dan penghindaran pajak.

Dengan memiliki banyak fungsi, sambungnya, NFT tidak mudah untuk diregulasi. Namun, di Luksemburg dan banyak negara Eropa lainnya, akan mengkategorikan NFT menjadi tiga jenis berbeda, yaitu; instrumen keuangan, uang elektronik, dan instrumen investasi kolektif. 

“Kami sejalan dengan regulasi aset kripto di Indonesia, bahwa ia tidak bisa menjadi alat pembayaran yang menggantikan Rupiah,” kata Teguh.  

Aspakrindo terus membangun komunikasi dengan regulator dan siap berdiskusi terkait pembentukan regulasi ini.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan meningkatkan pengawasan terhadap NFT seiring dengan naiknya popularitas aset tersebut di Indonesia.

Juru Bicara Kemenkominfo Dedy Permadi mengingatkan para pengelola platform transaksi NFT untuk memastikan platformnya tidak memfasilitasi penyebaran konten yang melanggar peraturan perundang-undangan. 

Konten-konten yang dilarang untuk disebarkan diantaranya yang berupa pelanggaran ketentuan perlindungan data pribadi, hingga pelanggaran hak kekayaan intelektual.

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta perubahannya dan peraturan pelaksananya, mewajibkan seluruh PSE untuk memastikan platformnya tidak digunakan untuk tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan.

Pelanggaran terhadap kewajiban yang ada dapat dikenakan sanksi administratif.  “Termasuk di antaranya pemutusan akses platform bagi pengguna dari Indonesia,” kata Dedy. 

PANDUAN TEKNIS

Pada perkembangan lain, meski seluruh barang dapat dijual di lokapasar NFT, beberapa lokapasar menetapkan panduan bagi komunitas dalam bertransaksi.  

Praktisi Industri NFT dari Kolektibel Fajar Widi mengatakan paduan komunitas bertujuan untuk menjaga kenyamanan transaksi pembeli dan penjual NFT.

Dalam paduan komunitas, kata Fajar, tertuang tentang barang-barang yang boleh dan tidak boleh diperdagangkan.  Salah satu barang yang tidak boleh dijual adalah data pribadi.

"Jadi prinsipnya orang yang membeli dan menjual NFT merasa nyaman dan tidak ada pihak dirugikan," kata Fajar.

Sementara itu, lanjutnya, di Kolektibel lebih aman dan tidak mungkin terjadi karena skema bisnis di Kolektibel adalah B2B2C.

Kolektibel bekerja sama dengan perusahaan lain untuk menjual aset-aset NFT yang dimiliki perusahaan tersebut ke komunitas yang tergabung dalam Kolektibel.

"Jadi dapat dipastikan produk yang ada di dalamnya sudah aman dan tidak melanggar data privasi," kata Fajar.

Fajar mengatakan NFT merupakan salah satu inovasi yang muncul dari Blockchain. 

Tren NFT melesat pada awal 2021 di luar negeri, sementara itu di Indonesia, tren NFT ramai dibicarakan pada kuartal IV/2021. Kolektibel.com sendiri muncul pada 28 Oktober 2021.

Kripto menjadi makin ramai ketika ada kasus Ghozali. Masyarakat menjadi sadar bahwa aset digital dapat diperdagangkan di lokapasar, dalam hal ini OpenSea.

"Ke depannya tren ini akan berlanjut, seiring dengan peningkatan literasi masyarakat mengenai NFT," kata Fajar.

Mengenai rencana pengetatan pengawasan aset NFT oleh Kemenkominfo di tengah tren pertumbuhan, kata Fajar, Kolektibel mendukung dan akan mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah.

"Kolektibel adalah NFT Marketplace yang pembayarannya menggunakan rupiah," kata Fajar.

Dalam melakukan transaksi di Kolektibel, pembeli dan penjual dapat membayar dengan dompet digital, kartu kredit dan lain sebagainya.

Dia mengatakan penataan regulasi mengenai aset NFT saat ini terus dilakukan, tidak hanya di Indonesia, juga di luar negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.