Ongkos Pemensiunan PLTU Tak Kalah Mahal dengan Pembangunannya

Untuk memensiunkan PLTU ini lebih dini, kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, pemerintah membutuhkan dana Rp3.500 triliun.

Muhammad Ridwan

29 Okt 2021 - 05.40
A-
A+
Ongkos Pemensiunan PLTU Tak Kalah Mahal dengan Pembangunannya

Pembangkit listrik tenaga uap.-Istimewa

Bisnis, JAKARTA —  Pemerintah Indonesia berkomitmen dan mendukung program penghentian lebih dini operasi pembangkit listrik tenaga uap untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.

Pernyataan itu kembali ditegaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif Dalam acara Asia Clean Energy Summit (ACES) 2021.

Sebagai bagian dari pengembangan energi bersih, Indonesia juga mendukung program energy transition mechanism (ETM). Program tersebut dijalankan sebagai mekanisme untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan melalui pemberhentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara lebih awal.

"ETM sebagai inisiatif dari Asian Development Bank dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Bank Dunia, Amerika Serikat, dan Inggris. Studi Kelayakan saat ini sedang dilakukan di Filipina, Vietnam dan Indonesia," ujar Arifin dalam keterangan resminya, Selasa (26/10/2021).

Dalam proyek percontohan itu, tiap-tiap negara akan mendirikan fasilitas ETM dan mempercepat pembelian PLTU guna mempercepat masa pensiun pembangkit. ETM sendiri memiliki potensi besar sebagai mekanisme keuangan untuk program pengurangan karbon.

Untuk memensiunkan PLTU ini lebih dini, kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, pemerintah membutuhkan dana Rp3.500 triliun.

"Bagi Indonesia untuk bisa memensiunkan dini sejumlah PLTU batu bara, dibutuhkan dana tidak kurang dari Rp3.500 triliun. Ini bukan uang yang sedikit," jelas Suahasil pada webinar Alumni AS "Road to Glasgow: Indonesia's Contribution to COP26", Kamis (28/10/2021).

Dia menyebut hal ini memerlukan seluruh usaha dan jalur pendanaan. Tentu saja, tambahnya, anggaran negara atau APBN akan menjadi salah satu sumber pembiayaan.

"APBN artinya uang pembayar pajak. Uang dari penerimaan pajak akan menjadi bagian dari sumber pembiayaan," tegas Suahasil.

Namun, dia mengaku bahwa mengandalkan APBN saja tidak cukup. Dukungan pembiayaan dari komunitas internasional sangat dibutuhkan. Untuk itu, Suahasil menyebut gelaran COP26 di Glasgow diharapkan bisa menjadi awal bagi perwujudan hal tersebut.

"Kita berharap [COP26] Glasgow akan menjadi milestone bagi kontribusi internasional bisa diwujudkan dan menjadi stepping stone," katanya.

Secara konkret, pembiayaan internasional diharapkan bisa dilakukan melalui penerbitan obligasi hijau (green bond) dan Sustainable Development Goals (SDG) bond. Pemerintah berharap obligasi ini bisa dibeli oleh para investor global dengan biaya atau kupon yang rendah.

Hingga Juni 2020 kapasitas pembangkit di Tanah Air mencapai 71 gigawatt (GW). Angka ini naik 1,3 GW dibandingkan dengan akhir 2019 sebesar 69,7 GW. 

Sejak 2018 pengembangan pembangkit di Indonesia mulai difokuskan pada pengembangan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti pembangkit listrik tenaga bayu dan surya sembari terus melakukan peningkatan teknologi batubara bersih pada PLTU.

Berdasarkan data yang sudah diverifikasi, hingga Juni 2020 kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 35.220 MW, PLT gas/PLT gas dan uap/PLT mesin gas (20.537 MW), PLT air/minirohidro/mikrohidro (6.096 MW), PLT Diesel (4.781 MW) dan PLT panas Bumi (2.131 MW), dan PLT EBT lainnya (2.200 MW). Tercatat, pembangkit EBT menyumbang 14,69% atau 10.467 megawatt dari total kapasitas terpasang.

Adapun, perincian kenaikan kepasitas terpasang di tiap-tiap wilayah terdiri atas Sumatra sebesar 14,7 GW dari sebelumnya 14,3 GW, Kalimantan dari 4 GW menjadi 4,4 GW, Sulawesi tetap sebesar 5,6 GW, Maluku-Papua menjadi 1,5 GW dari 1,4 GW dan Jawa-Bali-Nusa Tenggara menjadi 44,8 GW dari sebelumnya 44,4 GW.

Sementara untuk kepemilikan, dari total kapasitas terpasang yang ada PLN masih berperan besar, yakni 43.047 MW atau 60,7%, produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) sebesar 18.816 MW atau 26,5%, izin operasi sebesar 5.645 MW atau 7,7%, public private utility sebesar 3.583 MW atau 5%, dan pemerintah 55 MW atau 0,1%.

PETA JALAN

Sementara itu, PT PLN (Persero) menyusun strategi dan peta jalan untuk mendorong dekarbonisasi dari sejumlah pembangkit listrik. Langkah itu dilakukan karena PLN menaruh perhatian besar terhadap tren global dan transisi energi.

Zulkifli Zaini, Direktur Utama PLN, mengatakan bahwa perseroan merupakan satu dari tiga perusahaan listrik global yang berkomitmen untuk mendorong emisi nol karbon dan menargetkan bisa mencapainya pada 2060.

“Kami bekerja keras untuk mengejar target bauran energi 23 persen pada 2025. Selanjutnya, kami merancang peta jalan penghentian PLTU hingga 2056 sehingga netral karbon bisa dicapai,” katanya melalui keterangan resmi, Kamis (29/9/2021).

Zulkifli menjelaskan bahwa ada dua pendekatan yang dilakukan PLN dalam mencapai target tersebut. Pertama, menerapkan dekarbonisasi dalam portofolio PLN.

“Kami sudah menginventarisir produk dari rumah kaca. Kami memperkirakan puncak emisi rumah kaca akan terjadi pada 2030 dan secara bertahap mengurangi, dan mencapai emisi nol bersih pada 2060,” ujarnya.

Setelah melakukan inventarisasi, perusahaan akan mengembangkan lini bisnis baru yang mengedepankan dekarbonisasi nasional, seperti pengembangan PLTS, stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), dan peralihan kompor gas ke kompor induksi.

Langkah-langkah itu diharapkan tidak hanya mendukung negara yang bebas emisi, tetapi secara internal juga bisa meningkatkan keandalan dan keterjangkauan biaya.

Kedua, cita cita dekarbonisasi juga memerlukan dukungan penelitian dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan. Hal itu memerlukan kerja sama semua pihak agar cita-cita tersebut bisa segera terealisasi.

Menurutnya, sistem perdagangan karbon di sektor ketenagalistrikan ada sebagai produk dari serangkaian proses studi, konsultasi publik, dan sekarang pindah ke tahap pengujian.

Perdagangan emisi karbon pun dinilai lebih tepat untuk menghadirkan inovasi dalam agenda pengurangan emisi bagi pembangkit yang dimiliki PLN.

“Kami melihat sistem perdagangan karbon ada sebagai instrumen yang lebih tepat untuk mendorong inovasi pengurangan emisi di unit pembangkit daripada mekanisme pajak karbon,” ujar Zulkifli.

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut bahwa pemerintah menargetkan capaian net zero emission atau emisi nol karbon terjadi pada 2060 mendatang atau lebih awal.

Dia pun mengajak semua pelaku usaha energi agar semakin aktif mendukung program transisi energi menuju net zero emission dengan berbagai strategi. Transisi energi, menurutnya, harus menjadi komitmen bersama seluruh pihak. (Dany Saputra)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Zufrizal

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.