OPINI: Kolaborasi Pebisnis & Buruh

Dunia masih menghadapi permasalahan kompleks terkait isu pekerjaan dan tenaga kerja. Berdasarkan data ILO, sekitar 700 juta orang masih hidup di ambang batas serta di bawah batas garis kemiskinan meski memiliki pekerjaan

Shinta Widjaja Kamdani & Elly Rosita Silaban

28 Apr 2023 - 07.16
A-
A+
OPINI: Kolaborasi Pebisnis & Buruh

Pekerja pabrik pulang seusai bekerja di salah satu pabrik makanan di Jakarta, Sabtu (11/4/2020). Bisnis/Abdurachman

Dunia masih menghadapi permasalahan kompleks terkait isu pekerjaan dan tenaga kerja seperti pengangguran massal, kondisi kerja yang buruk, kesenjangan upah, diskriminasi yang membuat tidak semua orang memiliki kesempatan setara untuk memiliki pekerjaan.

Berdasarkan data ILO, sekitar 700 juta orang masih hidup di ambang batas serta di bawah batas garis kemiskinan meski memiliki pekerjaan. ILO World Employment and Social Outlook juga menyebutkan bahwa 1 dari 6 generasi muda (usia 15—29 tahun) tidak memiliki pekerjaan, serta tidak sedang mengenyam bangku pendidikan. 

Tak hanya itu, 145 juta pekerja usia muda hidup dalam kemiskinan. Sebanyak 61% pekerja dunia atau sekitar 2 miliar orang bekerja di sektor informal yang tidak diatur oleh produk hukum, yang menjadi kunci perlindungan dan kepastian terkait hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja. 

Dunia pekerjaan berkutat dengan  dampak isu klasik yang menjadi warisan dari tahun ke tahun, seperti: tidak adanya jaminan sosial, jam kerja yang panjang, bisa diberhentikan begitu saja tanpa pemberitahuan dan pesangon, serta kondisi lingkungan kerja yang berbahaya. 

Bagi negara berkembang, hal tersebut ditambah dengan bagaimana memperbaiki kondisi lingkungan kerja di sektor informal yang masih mendominasi angka tenaga kerja. 

Permasalahan multidimensi yang melingkupi isu pekerjaan dan ketenagakerjaan, menjadi salah satu fokus Presidensi G20  yang diemban Indonesia melalui B20 Indonesia sebagai business engagement G20 serta L20 selaku labour engagement yang mewakili suara pekerja. 

B20 dengan gamblang menjabarkan rekomendasi kebijakan untuk isu ketenagakerjaan dan pekerjaan masa depan di antaranya dengan rekomendasi kebijakan yang mendukung pertumbuhan pascapandemi terkait pekerjaan masa depan dengan key policy action berupa penyelarasan peraturan ketenagakerjaan yang sejalan tantangan masa pandemi.

Sedangkan L20 menghasil-kan konsensus yang fokus mengantisipasi isu ketenagakerjaan dan pekerjaan masa depan melalui rekomendasi tegas bagi perlindungan tenaga kerja layak untuk semua pekerja, terlepas dari pengaturan pekerjaan. 

L20 juga mendorong negara-negara G20 mengakhiri diskriminasi mempromosikan akses ke pekerjaan yang layak, pen-didikan dan pelatihan untuk semua dengan kebijakan yang bersifat inklusi. 

Namun, tak bisa mungkiri, pandemi Covid menyumbang perlambatan pencapaian target tersebut. Kita memerlukan cara dan pendekatan baru yang bersifat holistik dalam menghadapi tantangan multidimensional. 

Kita berpacu dengan waktu di tengah ancaman otomatisasi dan digitalisasi yang akan membuat masalah ketenagakerjaan makin kompleks. Setelah Presidensi G20 usai, babak baru dan tan-tangan baru harus menjadi fokus perhatian bersama karena kerja besar baru akan dimulai. 

Terutama untuk mengawal lima area penting yang menjadi fondasi penyelesain masalah. Pertama, melalui komitmen akselerasi kelompok penyandang disabilitas untuk masuk pasar kerja. Kedua, program pembelajaran melalui vokasi berbasis masyarakat dan komunitas. 

Ketiga, pengembangan dan dukungan terhadap kesempatan kerja melalui pengembangan UMKM untuk memperluas pasar kerja. 

Keempat, kesepakatan per-lindungan tenaga kerja yang adaptif bagi semua pekerja dalam menghadapi perubahan dunia kerja yang terdisrupsi akibat otomatisasi dan digitalisasi. Kelima, joint statement B20-business engagement G20 dan L20-labour engagement serikat pekerja G20 dan Global Unions yang dibentuk oleh International Trade Union Confederation (ITUC) dan Trade Union Advisory Committee to the OECD (TUAC) sebagai terobosan dan wujud nyata kolaborasi dua pihak yang mewakili kepentingan berbeda. 

Indonesia perlu memulai lembaran baru dalam menciptakan hubungan industrial harmonis dengan berlandas-kan semangat kolaborasi dan kepercayaan.

Pelaku usaha sebagai pemilik modal dan melakukan investasi mau tidak mau sudah harus bergandengan tangan bersama perwakilan suara pekerja dalam mengawal konsensus multilateral yang disepakati G20 ke dalam tataran nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Nindya Aldila

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.