Opini : Paradoks Transportasi Publik

Sistem transportasi publik yang terjangkau dan dapat diandalkan merupakan suatu keniscayaan.

Nofie Imam

30 Des 2023 - 07.53
A-
A+
Opini : Paradoks Transportasi Publik

Ilustrasi transportasi publik./Bisnis-ARF

Di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk dan kebutuhan mobilitas yang tinggi—seperti Jabodetabek, Bandung, Denpasar, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya—keberadaannya menjadi suatu keniscayaan.

Akan tetapi, hal ini bukan pekerjaan mudah untuk diwujudkan karena kita menghadapi paradoks transportasi publik.

Di satu sisi, sistem transportasi publik yang efektif dan berkualitas sering dianggap sebagai ciri khas negara maju. Tengoklah Singapura, Hong Kong, Seoul, Tokyo, hingga London dan New York; semua memiliki sistem transportasi publik yang efisien, andal, dan terintegrasi. Namun, di sisi lain, untuk bisa membangun dan menyelenggarakan sistem transportasi yang baik membutuhkan investasi besar, yang biasanya lebih mudah dijangkau oleh negara-negara yang sudah maju secara ekonomi seperti tersebut di atas.

Kita ketahui bersama bahwa proyek infrastruktur membutuhkan modal awal (capital expenditure atau capex) yang sangat besar – biasanya dibiayai menggunakan anggaran pemerintah (APBN), pinjaman (loan), melibatkan swasta, atau kombinasi di antaranya. Capex menjadi sangat esensial untuk memulai sebuah proyek.

Misalnya, proyek MRT Jakarta fase 1 dan 2 masing-masing menelan biaya hingga Rp16 triliun dan Rp25,3 triliun.

Bandingkan dengan APBD Provinsi DKI Jakarta (perubahan) yang mencapai Rp79,5 triliun. Artinya, satu proyek infrastruktur Jakarta saja sudah melebihi setengah APBD; belum lagi proyek-proyek infrastruktur lainnya.

Akan tetapi, setelah proyek berjalan, biaya operasional (operating expenses atau opex) menjadi lebih penting. Opex memegang peranan penting untuk menjaga sekaligus mengoperasikan proyek agar berjalan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.

Terlebih lagi, proyek infrastruktur transportasi memiliki waktu horizon yang sangat panjang, ada jumlah minimum penumpang yang harus dicapai, sekaligus harus memenuhi standar pelayanan minimal (SPM). Tak heran bila dalam perjalanannya, opex bisa jadi jauh melampaui capex. Misalnya, opex MRT Jakarta fase 1 pada 2021 saja telah mencapai Rp669,05 miliar.

Oleh karena itu, tak heran bila transportasi publik massal umumnya selalu disubsidi. Misalnya, di Britania Raya, 69% mobilitas masyarakatnya dilakukan menggunakan bus dan transportasi publik (2021).

Walau pengguna transportasi publik begitu tinggi, pada 2022, Transport for London (TfL) hanya bisa mendapatkan pendapatan berbasis penjualan tiket (farebox income) sebesar £4,3 juta. Sementara itu beban biaya (cost expenditure) mereka sebesar £8,5 juta. Mereka mendapatkan subsidi dan grant funding sebesar £5,8 juta atau sekitar 68% dari biaya yang mereka keluarkan.

Di Singapura, pada 2022 bus dan kereta di sana telah mengangkut rata-rata 6,4 juta orang setiap harinya. Sekitar 2,7 di antaranya adalah pengguna mass rapid transit (MRT).

Walaupun operator MRT Singapura mendapatkan pemasukan senilai $645 juta, mereka tetap disubsidi oleh pemerintah sebesar $200 juta pada tahun 2022.

Selain itu, pemerintah juga masih memberi subsidi untuk layanan bus dan kereta mencapai $2 miliar per tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa, semaju apapun transportasi publik suatu negara, subsidi tetap diperlukan.

PENDAPATAN NON TARIF

Selain subsidi, keberlanjutan proyek infrastruktur di masa depan juga sangat bergantung pada pendapatan nontarif (non farebox income). Logikanya sederhana, dengan skema pricing apapun, kapasitas dan trayek maksimum selalu ada batasnya, sedangkan kreativitas pengelola dalam menggaet pendapatan selain dari tiket secara teori tidak ada batasnya.

Pendapatan non farebox ini bisa diperoleh misalnya melalui pengembangan transit oriented development (TOD), pembayaran digital, periklanan (advertising), hingga hak penamaan stasiun (naming rights).

Masalahnya, kendati kreativitas menggaet non farebox income dan dukungan subsidi telah terpenuhi, tidak serta merta menjamin transportasi publik akan laris diminati.

Sebagai contoh, meski Jakarta telah memiliki kereta rel listrik, Transjakarta, MRT, LRT, dengan pergerakan total 19,63 juta orang setiap harinya, modal share transportasi publik hanya sebesar 10,29% saja (2022).

Dari sisi permintaan (demand), selagi ongkos transportasi publik masih lebih tinggi daripada ongkos sepeda motor, sebagian masyarakat cenderung akan memilih opsi kedua. Karena masifnya penetrasi penjualan dan pembiayaan sepeda motor, sepeda motor telah mencakup 84,54% dari total kendaraan di 2021.

Hal ini akan membuat perjalanan menuju transportasi publik menjadi kian terjal. Padahal, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rinaldi Azka
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.