Pajak Karbon Siap Jadi 'Terapi Syok' Manufaktur pada 2022

Tak dapat dihindari, kebijakan pajak karbon mulai tahun depan bakal memunculkan daya kejut yang signifikan bagi sektor manufaktur. Penyebabnya berkaitan dengan potensi kenaikan ongkos produksi, lonjakan harga jual produk hilir, serta tergencetnya daya saing industri.

Reni Lestari

14 Okt 2021 - 18.57
A-
A+
Pajak Karbon Siap Jadi 'Terapi Syok' Manufaktur pada 2022

Petugas mengecek instalasi di PLTP Kamojang, Garut, Jawa Barat, Rabu (8/9/2021). Pertamina menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 diantaranya melalui pemanfaatan energi rendah karbon dan efisiensi energi sebagai komitmen perseroan terhadap implementasi Environmental, Social and Governance (ESG). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Bisnis, JAKARTA — Pengenaan pajak karbon yang ditetapkan pemerintah senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau CO2e berpotensi membebani pelaku industri manufaktur. Insentif pun perlu disiapkan bagi industriawan sebelum kebijakan ini diimplementasikan 2022.

Dalam kaitan itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan pajak karbon yang akan diberlakukan mulai 1 April 2022 akan berdampak ke beban biaya manufaktur yang berpotensi menurunkan daya saing industri RI.

"Harus ada peralihan [ke energi bersih]. Cuma kalau tidak dikondisikan ya tidak bisa, peran pemerintah sangat penting dan ditunggu," ujarnya, Kamis (14/10/2021).

Di sisi lain, Bobby juga memandang pengenaan pajak karbon sebagai kebijakan yang harus diberlakukan cepat atau lambat untuk memenuhi komitmen Indonesia di Perjanjian Paris.

Hal itu juga seiring dengan arah pembangunan dunia menuju visi berkelanjutan. Konsekuensinya, industri dituntut bergerak ke arah yang sama.

"Saya pikir kita jangan melihat dari sisi jangka pendek, tetapi bahwa ini menciptakan peluang baru, industri baru, bisnis baru ke depan," ujarnya.

Dari sisi pengembangan energi batu dan terbarukan, lanjutnya, pemerintah juga perlu membangun ekosistem yang kondusif sehingga mampu membuka keran investasi. Salah satunya dengan harga beli listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih kompetitif dalam jangka waktu tertentu.

"Bisa saja dengan staging, 5 tahun pertama lebih tinggi sekian persen dari harga [harga listrik dengan] batu bara, 10 tahun jadi sama, setelah itu turun lagi sehingga bisa kompetitif," terang Bobby.

Sebelumnya, tarif pajak karbon ditetapkan Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Angka itu lebih rendah dari usulan sebelumnya Rp75 per CO2e.

Tahap pertama, mulai 1 April 2022 hingga 2022, diterapkan mekanisme pajak berdasar pada batas emisi untuk sektor pembakit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Adapun mulai 2025 dan seterusnya, implementasi pajak karbon akan diperluas ke sektor-sektor industri lain memperhatikan kesiapan dan faktor-faktor seperti kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, serta dampak dan skala.

Dengan penetapan tersebut, tarif pajak karbon Indonesia sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, yang menetapkan tarif US$3,71 per ton CO2e atau sekitar Rp56,89 per kg CO2e.  

Sementara itu, berdasarkan inventarisasi gas rumah kaca (GRK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun lalu, industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar emisi ketiga setelah sektor energi dan transportasi.

Kontribusinya mencapai 21,46%, sedangkan energi sebesar 43,83% dan transportasi 24,64%, serta sektor lainnya 4,13%.

NAIKKAN HARGA

Dari perspektif industriawan, penerapan pajak karbon pada awal kuartal II/2022 bakal memicu pelaku usaha untuk menaikkan harga produk hilir.

Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) menyatakan kebijakan itu akan menaikkan ongkos energi yang pada akhirnya berdampak pada harga jual di tingkat konsumen.

Ketua Asrim Triyono Pridjosoesilo mengatakan industri yang sudah berjuang selama masa pandemi tidak mungkin bisa menyerap semua kenaikan biaya tanpa melakukan penyesuaian harga jual.

Terlebih, minuman ringan bukanlah kebutuhan primer sehingga kinerja penjualannya akan sangat bergantung pada daya beli masyarakat.

"Kalau ada kenaikan biaya terus industri tidak melakukan adjustment [harga jual], sepertinya agak susah," katanya.

Potensi beban dan kenaikan harga jual itu saat ini masih dikaji dan diharapkan tidak terlalu membebani daya beli konsumen.

Menurut Triyono, pajak karbon merupakan kebijakan yang menghukum dan cenderung tidak memberikan alternatif bagi industri untuk beralih ke energi yang lebih bersih.

"Akan sangat lebih bagus kalau pemerintah mengeluarkan insentif karena banyak perusahaan yang sudah memikirkan [penggunaan] panel surya atau energi terbarukan lain," ujarnya.

Bagi industri minuman ringan, hal yang sama berlaku pada rencana penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis. Jika diterapkan, industri minuman ringan akan menyerap beban dua jenis cukai tersebut.

Sementara itu, alternatif penggunaan kemasan lain seperti botol kaca juga akan memunculkan dilema baru karena produksinya boros energi sehingga akan terkena pajak karbon. "Akhirnya kami akan kena buah simalakama," ujarnya.

DAYA SAING

Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai penerapan pajak karbon akan membebani daya saing di pasar domestik maupun ekspor.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) ongkos energi berkisar antara 10-25 persen dari total biaya produksi.

Redma juga mengatakan bauran energi di sektor tekstil sampai saat ini hampir seluruhnya bersumber pada fosil.  

"Pasti  akan berpengaruh ke harga jual dan daya saing ekspor. Berapa persennya kami masih belum bisa hitung," katanya.

Selain itu, pajak karbon juga dinilai membebani arus investasi yang sangat dibutuhkan industri untuk bergeser ke energi terbarukan.

Redma menyatakan sejak lima tahun lalu asosiasi telah menyuarakan usulan untuk memberikan insentif bagi industri yang bisa mengurangi emisinya.

Hal ini dinilai akan membuka keran investasi untuk perluasan penggunaan energi hijau di sektor industri.

Jika kebijakan insentif tak bisa diterapkan, lanjutnya, pemerintah bisa memberlakukan sistem bertahap dalam pemajakan karbon.

"Misalnya target pemerintah turun emisi 25% dari baseline. Kalau ada perusahaan yang masih di atas itu, baru kenakan pajak. Tahun depannya naikkan lagi [baseline-nya], dan seterusnya," jelas Redma.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tak menampik kebijakan pajak karbon mulai tahun depan akan memunculkan daya kejut bagi industri manufaktur. Penyebabnya berkaitan dengan potensi kenaikan ongkos produksi yang terdorong biaya energi.

Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan kenaikan ongkos produksi pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.

Selain itu,  pemerintah perlu mempertimbangkan daya saing industri sebagai dampak dari penerapan kebijakan ini.

"Harusnya industri dapat kompensasi yang bisa mempertahankan daya saingnya, syukur-syukur dapat meningkatkan daya saing," kata Heri.

Insentif tersebut, lanjutnya, dapat diberikan dengan intervensi pada biaya pengiriman, pemangkasan tarif listrik atau kebijakan lain yang dapat menjaga struktur harga pokok produksi (HPP).

Heri melanjutkan penetapan kebijakan ini perlu diikuti dengan langkah berikutnya, yakni penyusunan regulasi yang bisa meningkatkan daya tarik untuk investasi di energi terbarukan.

Selanjutnya, hasil pungutan pajak karbon harus dikembalikan untuk pemulihan lingkungan. Hal yang tak kalah penting adalah alokasi untuk pengembangan energi terbarukan sehingga dalam jangka panjang dapat mencapai harga yang kompetitif dibandingkan dengan energi fosil.

"Jadi harus menyeluruh, jangan pajak karbonnya dipungut, tapi pengembangan EBT-nya tidak dilakukan," ujar Heri.  

Berseberangan sudut pandang, asosiasi industri baja justru menyatakan sektor tersebut belum akan terdampak kebijakan pajak karbon yang dikenakan pemerintah mulai tahun depan.

Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim mengatakan selain menjadi instrumen pengendalian emisi, pajak karbon dalam praktiknya merupakan strategi perdagangan antarnegara.

Jika pajak karbon di Indonesia juga dibebankan sebagai biaya tambahan impor, kebijakan itu berpotensi memberi dampak positif bagi sejumlah industri dalam negeri, salah satunya baja.

"Saya melihat pajak karbon itu bisa menjadi nilai positif untuk [mengendalikan] produk impor, sehingga tentunya akan menguntungkan industri baja dalam negeri," katanya.

Silmy mengatakan dalam 6 bulan terakhir, utilisasi industri baja cenderung stagnan di kisaran  55%—60%. Penyebabnya, aliran baja impor di industri hilir kembali membanjiri pasar domestik.

Selain itu, mengenai penerapan pajak karbon Silmy menggarisbawahi kesiapan pemerintah, khususnya dalam memastikan daya saing produk dalam negeri.

"Mesti dilihat bukan hanya di Indonesia, tetapi pajak karbon di luar negeri dan antisipasi terhadap persaingan industri dan persaingan ekonomi," kata Silmy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.