Pantang Terlena Membangkitkan Manufaktur pada 2022

Industri manufaktur telah dibekali pengalaman selama kurang lebih 2 tahun menghadapi pandemi. Hal itu diharapkan menumbuhkan optimisme untuk pertumbuhan pada tahun ini.

Reni Lestari

7 Jan 2022 - 14.00
A-
A+
Pantang Terlena Membangkitkan Manufaktur pada 2022

Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis, JAKARTA — Laju pemulihan industri manufaktur yang bergulir sepanjang 2021 diyakini berlanjut pada 2022. Walakin, asa menuju pemulihan penuh pada tahun ini juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai rintangan.

Optimisme itu didorong oleh keyakinan pengusaha terhadap penanganan pandemi yang makin kondusif.

Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri manufaktur pada kisaran 4,5 persen hingga 5 persen sepanjang 2022, dengan ekspansi pada 2021 diperkirakan sekitar 4 persen hingga 4,5 persen. 

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan industri manufaktur telah dibekali pengalaman selama kurang lebih 2 tahun menghadapi pandemi. Hal itu diharapkan menumbuhkan optimisme untuk pertumbuhan pada tahun ini.

"Seiring dengan membaiknya perekonomian nasional kami menargetkan pertumbuhan industri manufaktur 4,5 persen sampai 5 persen kami menargetkan pertumbuhan industri manufaktur pada 2022," kata Agus belum lama ini.

Selain itu, nilai ekspor pada tahun ini juga ditarget naik menjadi US$178 miliar-US$185 miliar dari perkiraan 2021 sebesar US$170 miliar-US$175 miliar. 

Adapun, nilai investasi juga diharapkan naik dari US$280 miliar-US$290 miliar pada 2021 menjadi US$300 miliar-US$310 miliar.

Agus menggarisbawahi sejumlah kendala dan tantangan, yang diantaranya sudah dihadapi pada 2021 dan akan berlanjut pada tahun ini, antara lain masalah logistik akibat kelangkaan kontainer dan kapal induk, serta macetnya pelabuhan karena pengetatan perbatasan.

Kendala logistik tersebut diakui memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi menghambat aliran barang impor sehingga membuka pasar domestik bagi pelaku industri dalam negeri. Namun, di sisi lain menyulitkan pelaku usaha untuk meraih peluang ekspansi pasar ekspor.  

Selain itu, Kemenperin juga mewaspadai munculnya gelombang baru akibat masuknya varian baru Covid-19. Hal itu pula yang menyebabkan pemerintah menurunkan target pertumbuhan 2022 dari proyeksi sebelumnya 5 persen sampai 5,5 persen. 

Industri dalam negeri juga masih dibayang-bayangi ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan baku, bahan penolong, maupun barang modal.

Sementara itu, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mengalami tren penurunan sejak 5 tahun terakhir, meski tetap menjadi penyumbang terbesar. 

Pada 2015, industri manufaktur mencatatkan kontribusi sebesar 20,99 persen terhadap PDB, sebelum mengalami penurunan 4 tahun berturut-turut hingga 2019 yakni 20,52 persen, 20,16 persen, 19,86 persen, dan 19,62 persen. 

Pada tahun lalu, angka kontribusi tersebut sedikit naik menjadi 19,88 persen.

Agus menyatakan ada kendala penurunan utilisasi yang menyebabkan pemangkasan kontribusi dari tahun ke tahun. Dia menargetkan pada 2024, kontribusi manufaktur terhadap PDB dapat kembali ke angka 20 persen.

"Selain itu, ada penurunan demand baik global maupun domestik, semua yang membuat turunnya kontribusi industri manufaktur terhadap PDB, kami sisir. Target saya 2024 sudah 20 persen kontribusinya," jelas Agus.

Senada dengan pemerintah, sejumlah tantangan di atas juga digarisbawahi oleh pelaku usaha meski tetap menyematkan asa untuk pertumbuhan yang lebih tinggi pada 2022.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menargetkan pertumbuhan 5 persen—7 persen pada 2022. 

Sejumlah tantangan yang diyakini masih berlanjut pada 2022 yakni harga-harga bahan baku yang tetap tinggi dan lonjakan biaya energi yang kemungkinan akan diteruskan pengusaha kepada konsumen.

"Logistik harusnya akan lebih baik dibandingkan 2021, karena saya dapat info bahwa kemungkinan 2022 sudah akan lebih baik ketersediaan kontainer," kata Adhi kepada Bisnis.

Di luar teknis industri makanan dan minuman, Adhi juga melihat kepatuhan administrasi perpajakan akan menjadi sorotan. 

Seiring dengan perbaikan sistem dan pengawasan perpajakan, serta integrasi data yang semakin baik oleh pemerintah, pelaku usaha didorong untuk membenahi pembukuannya.

Menurut Adhi, hal itu akan berdampak jangka pendek terhadap kenaikan biaya pajak, terutama bagi pelaku yang tingkat kepatuhannya masih bermasalah.

Terkait dengan kendala logistik, Sekjen Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono memprediksi akan berlanjut sampai akhir semester I/2022. Fajar mengatakan ada peluang ekspansi ke pasar ekspor yang ditinggalkan China. 

Namun, tidak bisa dimaksimalkan karena penundaan, ketidakpastian, dan tingginya ongkos pengapalan.

"Ongkos distribusi ekspor mengalami kenaikan sampai 4 kali lipat karena kelangkaan kapal dan kontainer," kata Fajar.

Kendala tersebut juga menyebabkan pelaku usaha harus berhati-hati dalam memaksimalkan kapasitas mesin. Sebab jika terjadi kerusakan, penggantian akan bermasalah karena sebagian besar suku cadang harus diimpor. 

Jika tak diwaspadai, hal itu justru akan berujung pada penyetopan produksi.


PROYEKSI EKONOM

Di sisi lain, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan industri manufaktur hanya mampu tumbuh 4,1 persen—4,2 persen pada 2022. Hal itu dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indef di angka 4,3 persen.

Namun demikian, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan angka proyeksi itu berpeluang naik jika sepanjang semester I/2022 tidak ada guncangan yang berarti bagi industri. 

Mahalnya ongkos pengapalan yang menyebabkan terkereknya harga bahan baku, serta kenaikan biaya energi, masih akan terus memberikan tekanan terhadap produksi dan harga jual.

Selain itu, meski daya beli masyarakat sudah mulai menunjukkan pemulihan, perubahan perilaku konsumsi menyebabkan tidak semua industri dapat kembali berkinerja optimal.

"Masih ada persoalan supply shock, diprediksi setidaknya pada akhir semester I/2022 baru bisa berjalan normal. Ini memberikan pengaruh kepada industri mendapatkan bahan baku yang jauh lebih terjangkau," katanya.

Pemulihan optimal mungkin belum tercapai pada tahun lalu. Namun, berkaca pada kinerja industri manufaktur sepanjang 2021, didorong optimisme pemerintah serta pelaku usaha, tidak berlebihan kiranya berharap pemulihan penuh pada Tahun Macan Air ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.