Peluang dan Tantangan Energi Baru Terbarukan di Industri Migas

Banyak peluang sekaligus tantangan yang bisa dicermati dalam hal pengembangan energi baru terbarukan. Belajar dari krisis energi dunia, semestinya bisa menjadi peluang sekaligus mengafirmasi komitmen transisi dan investasi menuju energi bersih, apalagi Indonesia memiliki potensi besar EBT.

Ibeth Nurbaiti

26 Okt 2022 - 16.30
A-
A+
Peluang dan Tantangan Energi Baru Terbarukan di Industri Migas

Aktivitas Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES) di Perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Selasa (14/6/2022). Antara/M Risyal Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Menuju penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) di Bali pada 15—16 November mendatang, isu transisi energi kian kencang digaungkan dalam berbagai kesempatan.

Komitmen pemerintah untuk turut berperan dalam pengurangan emisi karbon melalui transisi ke energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi salah satu agenda penting terkait dengan sektor energi dalam perhelatan tersebut. 

Baca juga: Resah dan Gelisah Mengejar Target Lifting di Tengah Tuntutan EBT

Banyak peluang sekaligus tantangan yang bisa dicermati dalam hal pengembangan energi baru terbarukan. Belajar dari krisis energi dunia yang terjadi saat ini semestinya bisa menjadi peluang sekaligus mengafirmasi komitmen transisi dan investasi menuju energi bersih, apalagi Indonesia memiliki potensi besar EBT.

Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi EBT di dalam negeri paling besar masih bersumber dari tenaga surya dengan total potensi 208 gigawatt (GW).

Baca juga: SKK Migas Bawa 3 Isu Penting ke Ajang ICIUOG 2022

Kemudian, disusul potensi EBT lainnya seperti hidro dengan potensi 75 GW, angin 60,6 GW, bioenergi dengan potensi 32,6 GW, dan panas bumi 23,9 GW, serta energi laut dengan potensi 17,9 GW.

Secara garis besar, dalam Peta Jalan Transisi Energi 2021—2030 disebutkan bahwa pemerintah menargetkan pembangunan pembangkit listrik EBT mencapai 20,9 GW, sedangkan PLTS atap sebesar 3,6 GW. Pembangunan PLTS akan masif pada 2031—2050 dengan jumlah total sebesar 279,2 GW.


Namun dalam wacananya, Indonesia juga masih harus menghadapi sejumlah tantangan dalam pengembangan EBT, terutama menyangkut isu ketahanan energi dan beban subsidi energi yang kian besar. 

Pada periode transisi energi, menjaga ketahanan dan kemandirian energi juga menjadi hal yang patut diperhitungkan, khususnya di tengah belum optimalnya pemanfaatan EBT di Indonesia. 

Baca juga: Investasi Jumbo Proyek EBT, Keterlibatan Swasta Dinanti

Berkaca dari rencana pengembangan pembangkit EBT, misalnya, sejauh ini bisa dibilang tidak berjalan sesuai dengan harapan. Pada 2021, Kementerian ESDM mencatat total kapasitas terpasang pembangkit EBT baru mencapai 11.157 megawatt (MW), padahal target yang ditetapkan sebesar 11.357 MW. 

Tahun ini, Kementerian ESDM membidik realisasi kapasitas terpasang pembangkit EBT bisa menyentuh 11.804 MW. Namun, sejumlah faktor masih menjadi tantangan, salah satunya adalah persoalan harga.

Sejalan dengan itu, isu transisi energi menjadi salah satu pembahasan penting dalam perhelatan International Convention of Indonesian Upstream Oil and Gas (IOG) 2022 yang akan diselenggarakan secara hybrid di Bali Nusa Dua Convention Center, pada 23—25 November 2022.

Baca juga: Fakta di Balik Akuisisi PLTU PLN oleh PTBA, Jalan Masih Panjang?

Chairman of Organizing Committee IOG 2022 Muhammad Kemal mengungkapkan bahwa proses transisi energi menuju energi bersih yang sedang berlangsung, memberikan tantangan kepada industri hulu migas untuk dapat meningkatkan produksi dan menurunkan emisi secara simultan. 

“Transisi energi merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh industri migas, namun perlu dipikirkan bahwa dalam proses ini keberlangsungan energi juga harus tetap terjaga dengan tetap mempertahankan target produksi migas tahun 2030,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Rabu (26/10/2022).

Salah satu hal yang bisa menjadi jembatan untuk mempertahankan produksi dan mengurangi emisi karbon adalah diterapkannya teknologi carbon capture storage atau CCS/CCUS dalam kegiatan migas. Dalam paparan kinerja SKK Migas kuartal III/2022, total potensi CO2 stored dari CCUS adalah 119—128 juta ton CO2. Potensi tersebut didapatkan dari wilayah kerja Gundih sebesar 3 juta ton CO2 untuk 10 tahun, Sukowati sebesar 15 juta ton CO2 untuk 25 tahun,  Vorwata 30 juta ton CO2 untuk 10 tahun, dan Masela 71—80 juta ton CO2 untuk 29 tahun.

Baca juga: Pajak Ekspor, Smelter, dan Upaya Mengepul Nilai Tambah Nikel

Menurut Kemal, ajang IOG 2022 menjadi salah satu poros penting bagi industri migas dalam usaha untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (Bscfd) pada 2030. 

Dalam acara ini nantinya akan hadir para stakeholder dari berbagai institusi dan perusahaan industri migas yang memegang peranan penting dalam menentukan masa depan energi Indonesia.

“SKK Migas berharap bahwa rangkaian pembahasan dalam rangka meningkatkan produksi migas nasional dan transisi energi yang telah dilakukan oleh berbagai entitas dan asosiasi di sektor hulu migas, akan lebih ditajamkan lagi dalam kegaitan IOG 2022,” katanya.

Baca juga: Dilema Industri Hulu Migas Mengejar Target Net Zero Emission

Dengan demikian, di sisa tahun 2022 ini industri hulu migas diharapkan sudah menyelesaikan hal-hal yang harus diperbaiki dan menyiapkan peluang 2023 untuk dapat dijalankan lebih baik.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif, migas akan menjadi bahan bakar pembangkit untuk mem-back up EBT yang bersifat intermiten. Migas juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan domestik, antara lain sebagai bahan bakar transportasi, bahan baku dan bahan bakar di industri, serta bahan bakar di rumah tangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.