Bisnis, JAKARTA — Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya atap kini tengah digencarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan bauran energi selain sumber energi baru dan terbarukan.
Akan tetapi, tahukah Anda jika pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap ternyata bisa membuat PT PLN (Persero) tekor, bahkan angkanya mencapai Rp4,93 per tahun. Kok bisa?
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan bahwa simulasi yang dilakukan pihaknya menunjukkan potensi penurunan penerimaan PLN senlai Rp4,93 triliun per tahun dengan produksi listrik PLTS atap sebanyak 5,38 TWh per tahun.
“Simulasi itu dengan asumsi demand-nya masih seperti sekarang,” katanya dalam paparan kepada media, Jumat (27/8/2021).
Rida menambahkan bahwa potensi dampak berkurangnya penerimaan yang akan ditanggung PLN terjadi akibat rugi-rugi teknis dalam distribusi listrik dari lokasi PLTS atap ke konsumen, dan biaya nonbahan bakar lainnya.
Dalam perhitungan yang disimulasikan Kementerian ESDM, apabila pada 2025 terpasang 3,6 gigawatt (GW) PLTS atap, akan ada produksi listrik sebesar 5,38 terrawatt hour (TWh) per tahun. Dengan demikian, jumlah itu hanya sekitar 2,2 persen dari yang dikonsumsi pelanggan PLN saat ini.
“Saya sudah memasang PLTS atap sejak 2004, awalnya rumah saya membayar Rp1,5 juta, saya bisa saving Rp500.000 per bulan. Logikanya, kalau saya saving itu yang harusnya diterima PLN, maka pendapatan PLN berkurang Rp500.000,” jelasnya.
Saat ini Kementerian ESDM tengah merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk mendorong akselerasi pemanfaatan PLTS atap.
Revisi Permen ini telah selesai melewati proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan tinggal menunggu persetujuan dari Presiden.