Pemegang ISPO Khusus Sawit Hilir Bakal Diguyur Insentif

Saat ini, rencana pemberian stimulus pemegang sertifikasi ISPO khusus industri sawit hilir tengah dimatangkan oleh Kementerian Perindustrian dan ditargetkan tuntas sebelum akhir tahun ini sehingga dapat diimplementasikan pada 2022

Reni Lestari

22 Sep 2021 - 18.02
A-
A+
Pemegang ISPO Khusus Sawit Hilir Bakal Diguyur Insentif

Logo ISPO/istimewa

Bisnis, JAKARTA — Pelaku industri kelapa sawit pemegang sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) di sektor hilir bakal mendapatkan inesentif khusus dari pemerintah.

Saat ini, rencana pemberian stimulus tersebut tengah dimatangkan oleh Kementerian Perindustrian dan ditargetkan tuntas sebelum akhir tahun ini sehingga dapat diimplementasikan pada 2022.

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Emil Satria mengatakan insentif pemegang ISPO tersebut dapat berupa diskon harga gas industri maupun tunjangan pajak. Fasilitasi tersebut diprioritaskan untuk industri sawit hilir.

"Akan kami coba, industri yang mendapatkan ISPO supaya menjadi mitra prioritas dalam layanan-layanan tersebut," katanya dalam webinar, Rabu (22/9/2021).

Emil menambahkan akselerasi sertifikasi ISPO di sektor sawit hilir atau rantai pasok merupakan respons dari tren konsumen produk turunan crude palm oil (CPO) global yang makin sadar akan isu keberlanjutan.

Jika telah diundangkan nantinya, regulasi ini akan menjadi pelengkap bagi sertifikasi ISPO hulu yang sudah berlaku sejak 10 tahun lalu.

ISPO hulu diketahui memiliki tiga skema yakni produksi, pabrik, dan integrasi. Dengan tambahan satu skema di sisi rantai pasok, ISPO akan menjadi lengkap dalam satu kesatuan.

"Kami sepakat bahwa ini masuk di dalam skema 4, satu kelembagaan ISPO jadi tidak perlu kita dikotomikan lagi hulu dan hilirnya," jelasnya.

Emil juga mengatakan dalam postur regulasi ISPO hilir, Kemenperin mengakomodasi rencana harmonisasi standar keberlanjutan kelapa sawit global yang dibentuk negara produsen kelapa sawit lain, seperti Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) dan dikoordinasikan oleh Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC). 

AKSELERASI

Adapun, sertifikasi ISPO oleh pengusaha kelapa sawit tercatat mengalami percepatan dalam satu tahun terakhir. Sejak penerbitan beleid terbaru yakni Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.38/2020, terdapat 139 sertifikat ISPO yang dikeluarkan sampai dengan 20 Juni 2021.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategi Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani mengatakan, dibandingkan dengan periode aturan ISPO sebelumnya, capaian ini menunjukkan adanya percepatan.

"Kalau semula ditentukan oleh pemerintah saja, dalam permentan baru seluruhnya dilakukan oleh lembaga sertifikasi, wajar jika lebih cepat," kata Mangga.

Sekadar catatan, implementasi mandatori ISPO telah mencapai satu dekade pada tahun ini dan pertama kali diundangkan pada Permentan No.11/2011.

Dalam kurun empat tahun pelaksanaan peraturan tersebut, hanya 127 perusahaan yang mendapatkan ISPO dari total 763. Sementara itu, belum ada kelompok petani atau koperasi yang mendapatkan ISPO pada periode tersebut.

Selanjutnya, pada periode kedua, pemerintah menerbitkan Permentan No. 11/2015 yang kemudian berhasil menggerakkan capaian menjadi 494 sertifikat, terdiri atas 480 perusahaan, 4 koperasi unit desa (KUD), dan 10 koperasi. Adapun aturan teranyar tertuang dalam Permentan No. 38/2020.

Mangga mengatakan sejauh ini mekanisme sertifikasi dalam beleid terbaru tersebut belum terealisasi dan masih dalam masa transisi.

Capaian 139 ISPO sampai dengan Juni 2021 masih menggunakan prinsip lama yang tertuang dalam Permentan No. 11/2015.

Mangga menggarisbawahi capaian sertifikasi sawit berkelanjutan ini harus terus dikejar, salah satunya dengan pembentukan sekretariat ISPO yang hingga kini masih dirancang oleh pemerintah.

Keberadaan sekretariat ISPO amat penting terutama untuk mengkoordinasikan kendala-kendala di lapangan.

"Seharusnya sudah terbentuk tetapi sampai hari ini belum terbentuk, karena untuk mencari dan mengumpulkan data menjadi sangat sulit," ujarnya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menambahkan asosiasi pada awalnya menargetkan capaian ISPO 100% bagi 496 anggota. Namun, tenggat tersebut belum tercapai karena terhalang pandemi.

Joko mengatakan salah satu kendalanya adalah transisi dari kebijakan lama ke peraturan baru. Dia memperkirakan ada sekitar 70 perusahaan yang mengalami penundaan sertifikasi akibat transisi tersebut.

"Waktu itu ada sekitar 70 yang sudah audit, tetapi kemudian karena transisi jadi tidak jelas, sekarang masih menggantung," ujarnya.

ISPO saat ini masih merupakan sertifikasi yang bersifat wajib bagi semua tipe perkebunan baik milik negara, rakyat, dan swasta.

PENGAKUAN GLOBAL

Saat ini, ISPO pun kini sudah sejalan dengan program sertifikasi global Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Meski demikian, di pasar internasional keberterimaannya tidak maksimal karena cakupannya yang belum terintegrasi di seluruh mata rantai industri.

"Keberterimaan internasional masih belum signifikan. Di [forum] global kami selalu sampaikan, kami punya ISPO baru, kalau ada yang tidak yakin, berikan kritikan kepada kami," kata Musdhalifah Machmud, Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis.

Guna mendorong percepatan sertifikasi ISPO, Musdhalifah mengatakan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebenarnya telah melakukan identifikasi dan klasifikasi pekebun.

Tiga kategori yang diidentifikasi yakni merah, kuning, dan hijau, masing-masing mendapatkan pendampingan dengan tingkat tertentu sesuai kendala yang dihadapi.

Dia mengemukakan, dari 10.600 titik yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, ada 500 titik yang belum diselesaikan.

"Saat ini sedang dibuatkan peta untuk mengecek apakah titik-titik ini ada di kawasan hutan atau tidak," katanya.

Sebagai catatan. dari total 6,7 juta hektare (ha) areal perkebunan sawit rakyat, baru sekitar 12.600 ha atau 0,18% di antara areal tersebut yang telah memperoleh 20 sertifikat ISPO.

Hal itu kontras dengan capaian pada perkebunan swasta dan PT Perkebunan Negara yang kini mencapai 5,8 juta ha atau 60% dari total 9,6 juta ha.

Gulat Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), mengatakan asosiasi hanya menargetkan 5.200 hektare lahan yang tersertifikasi ISPO sepanjang tahun ini. Namun, hingga September 2021, capaiannya baru 1.456 hektare.

"Kami melihat progres selama 10 tahun terakhir, untuk 2021 kami hanya menarget 5.200 hektar, sangat minim sekali sekitar 0,089%," ujarnya.

Rendahnya capaian ini disebabkan faktor utama yakni tumpang tindihnya perkebunan dengan kawasan hutan.

Untuk memudahkan pekebun rakyat mendapatkan ISPO, Gulat mengusulkan pembagian dua kategori sertifikasi, yakni absolute sustainable dan relative sustainable.

Kategori pertama diperuntukkan bagi korporasi, sedangkan yang kedua dikhususkan bagi petani yang sedang dalam proses peremajaan sawit rakyat (PSR).

"Jadi dengan pengelompokan ini akan makin banyak yang ISPO untuk pekebun," lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.