Pemulihan Manufaktur, Akankah Berlanjut di Tahun Macan Air?

Dua momentum penting di industri manufaktur pada 2021 a.l. angka pertumbuhan pada kuartal III/2021 sebesar 3,68 persen yang di atas pertumbuhan ekonomi nasional 3,51 persen, serta capaian PMI manufaktur yang memecahkan rekor Asean di level 57,2 pada Oktober 2021.

Reni Lestari

3 Jan 2022 - 10.30
A-
A+
Pemulihan Manufaktur, Akankah Berlanjut di Tahun Macan Air?

Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis, JAKARTA — Kalangan ekonom mencatat dua momentum penting yang memengaruhi moncernya pertumbuhan industri pada 2021. Akan tetapi, upaya mempertahankan prestasi tersebut pada 2022 dinilai jauh lebih menantang. 

Menurut catatan Center of Reform on Economics (Core), dua momentum penting di industri manufaktur pada tahun lalu a.l. pertama, angka pertumbuhan pada kuartal III/2021 sebesar 3,68 persen yang di atas pertumbuhan ekonomi nasional 3,51 persen. 

KeduaPurchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang menyentuh angka rekor 57,2 pada Oktober 2021, sekaligus menjadi yang tertinggi di Asean.

(BACA JUGA: Manufaktur Berkibar Akhiri 2021, Berdebar Masuki 2022)

Ekonom Core Ina Primiana mengatakan untuk menjaga momentum pertumbuhan, pemerintah perlu melakukan upaya ekstra dalam sejumlah aspek. 

Pertama, meningkatkan kemandirian dan daya saing industri dengan menggenjot capaian substitusi impor. Kedua, kebijakan insentif terkait dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

"Untuk industri yang TKDN-nya tinggi, itu tentunya mendapat insentif, dan harus dijaga juga daya saingnya," kata Ina, baru-baru ini.

(BACA JUGA: Insentif PPnBM Mobil Usai, Perlu Dipermanenkan?)

Ketiga, lanjutnya, pemerintah hendaknya mengerahkan upaya lebih untuk menghubungkan industri kecil menengah (IKM) dengan industri besar. Hal itu dengan tujuan menjadikan IKM sebagai salah satu mata rantai pasok global.

Keempat, perlunya sinergi kebijakan antara kementerian terutama untuk menjaga daya saing dan memproteksi pasar dalam negeri.

"Jangan sampai tidak sinkron yang menyebabkan di satu sisi ingin memproduksi, di sisi lain impor dibuka," ujarnya.

(BACA JUGA: Prospek Produksi: Keramik Moncer, Pupuk Stagnan)

Menurut Ina, Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) menjadi kebijakan strategis untuk mempertahankan kinerja industri di tengah gempuran pandemi. 

IOMKI, sebutnya, juga memungkinkan industri dalam negeri merebut pasar domestik yang sebelumnya diisi produk-produk impor.

Selain empat rekomendasi di atas, Ina juga mendorong vaksinasi diantara para pekerja industri untuk terus digalakkan.

"Kemudian juga mempercepat dan memperbaiki tata kelola di kawasan industri, menjaga momentum pemulihan sektor yang telah menunjukkan peningkatan utilisasi kapasitas produksi, serta adaptasi digitalisasi," ujar Ina. 

GAS DAN REM

Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, proses pemulihan yang kondusif di industri manufaktur tak terlepas dari  kebijakan IOMKI yang memungkinkan industriawan beroperasi penuh pada masa pandemi.

Agus mengatakan IOMKI merupakan bagian dari kebijakan rem dan pemerintah di masa pandemi, antara lain untuk menyeimbangkan aktivitas ekonomi dan penanganan pandemi.

"Kebijakan gas dan rem di sektor industri manufaktur diturunkan dalam wujud kebijakan IOMKI yang dikeluarkan oleh Kemenperin," tuturnya.

Seiring dengan waktu, kebijakan IOMKI mendorong terciptanya keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan kepentingan ekonomi di sektor industri manufaktur. Kebijakan itu juga memacu para pelaku industri untuk percaya diri dan segera beradaptasi dengan kondisi pandemi.

"Keseimbangan, kepercayaan diri, dan daya adaptasi ini yang membentuk resiliensi yang baik di sektor industri manufaktur dalam menghadapi situasi pandemi," jelasnya.

Geliat manufaktur pada 2021 dapat dilihat dari sejumlah indikator seperti realisasi investasi, capaian ekspor, kontribusi pajak, kontribusi terhadap PDB, dan peringkat PMI manufaktur.

Sepanjang Januari—September 2021, realisasi investasi di sektor manufaktur tercatat sebesar Rp236,79 triliun, naik 17,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2020 sebesar Rp201,87 triliun.

Dari sisi capaian nilai ekspor, kontribusi sektor industri manufaktur terus meningkat meski di tengah himpitan pandemi. Nilai ekspor industri manufaktur pada Januari—November 2021 mencapai US$160 miliar atau berkontribusi sebesar 76,51 persen dari total ekspor nasional. 

Angka ini telah melampaui capaian ekspor manufaktur sepanjang 2020 sebesar Rp131 miliar, dan bahkan lebih tinggi dari capaian ekspor 2019.

Dari aspek kontribusi terhadap PDB, industri manufaktur pada triwulan III/2021 menyumbang 17,33 persen, tertinggi di antara sektor ekonomi lainnya.

Sempat tertekan hingga -2,52 persen pada 2020, pertumbuhan sektor industri manufaktur kembali bergairah pada 2021, di mana angka pertumbuhannya meningkat signifikan di triwulan II/2021 sebesar 6,91 persen secara year on year (YoY), sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga bangkit sebesar 7,07 persen YoY. 

"Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional, kami menargetkan pertumbuhan industri manufaktur sebesar 4—4,5 persen pada 2021 ini, dan sebesar 4,5—5 persen pada 2022,” ungkapnya.

Sejalan dengan hal tersebut, nilai ekspor industri manufaktur ditargetkan pada kisaran US$170 miliar—US$175 miliar pada 2021, dan akan mencapai US$175 miliar—US$180 miliar pada 2022.

Adapun, nilai investasi Agus menargetkan sebesar Rp280 triliun—Rp290 triliun pada 2021, dan sebesar Rp300-310 triliun 2022.

"Kami juga menargetkan penyerapan tenaga kerja sebanyak 20,84 juta orang pada 2022," katanya.

CATATAN INDUSTRIAWAN

Dari kalangan pelaku industri, Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) menyatakan industri akan mencapai pemulihan maksimal pada 2022 jika tak ada kendala pada ekspor.

Sekjen Inaplas Fajar Budiono memproyeksi pertumbuhan industri petrokimia pada 2021 mencapai sekitar 3,5 persen karena masih ada kendala pada subsektor terkait pesta dan pariwisata. 

Pada 2022, industri kemungkinan dapat tumbuh sebesar 5 persen, masih di bawah rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi 6 persen.

"[Pada 2022] mendekati, 80 persen dari sebelum pandemi. Kalau ekspornya sudah bisa tertolong, bisa [pulih ke sebelum pandemi," kata Fajar.

Fajar terbuka peluang permintaan yang besar pada pasar ekspor. Namun, peluang itu tak bisa dimaksimalkan karena kendala logistik kelangkaan kontainer.  

Adapun, optimisme pertumbuhan industri pada 2022 juga didorong harga-harga komoditas yang mulai melandai pada akhir November 2021, setelah melonjak tajam pada September 2021.

Namun, di luar ekspektasi, koreksi harga yang cukup tinggi tersebut tidak menyurutkan pertumbuhan permintaan dan daya beli.

"Koreksi harga 2021 ini cukup tinggi, khawatirnya kalau ini terus naik daya beli tergerus, tetapi ternyata tidak mempengaruhi pertumbuhan demand dan daya beli," ujarnya.

Dia juga menggarisbawahi proses pemulihan pada 2021 berjalan cukup mulus dengan dukungan penanganan pandemi yang terkoordinasi. 

Selain itu, pandemi juga memunculkan segmen pasar baru di industri plastik, yakni kemasan produk terkait Covid-19 seperti hand sanitizer.

Disrupsi rantai pasok berupa kelangkaan kontainer juga menjadi catatan bagi industri, karena menghambat barang impor masuk sehingga suplai dari dalam negeri terdongkrak untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Utilisasi industri petrokimia di hulu sudah mencapai 95 persen, sedangkan di hilir tercatat sebesar 80 persen yang terdorong pertumbuhan industri makanan dan minuman yang cukup ekspansif pada kuartal III/2021.

"Pada akhir 2021, dengan PPKM level 3 ditiadakan, meningkatkan gairah orang untuk tetap melakukan perjalanan antar kota sehingga yang tadinya industri pendukung pesta dan pariwisata belum bisa di atas 50 persen [utilisasinya], sekarang sudah bisa di atas 70 persen," jelas Fajar. 

Di industri makanan dan minuman, subsektor pengolahan susu menjadi salah satu yang berkinerja moncer pada 2021. 

Kementerian Perindustrian mencatat adanya pertumbuhan pelaku industri pengolahan susu dalam tiga tahun terakhir yakni, 76 pada 2019, 80 pada 2020, dan meningkat menjadi 84 pada 2021.

Dirjen Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan penambahan jumlah industri tersebut sejalan dengan investasi senilai Rp9,6 triliun sepanjang 2021, salah satu yang terbesar di industri mamin.

"[Sektor] yang banyak investasinya di industri pengolahan susu, Rp9,6 triliun pada 2021 dengan penambahan jumlah industri," kata Putu.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mencatat peningkatan investasi asing sebesar 75,93 persen pada periode Januari—September 2021 didominasi oleh industri pengolahan susu.

Menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi asing ke industri makanan pada Januari—September 2021 tercatat US$2,01 miliar, meningkat dari periode yang sama 2020 senilai US$1,14 miliar.

Putu mengatakan pengusaha berupaya mendukung kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan susu melalui program kemitraan dengan koperasi dan peternak. Seperti diketahui, bahan baku susu masih sangat bergantung pada impor yakni sebesar 78 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.