Bisnis.com, JAKARTA - Mayoritas harga komoditas pertambangan mengalami penurunan pada Oktober 2022. Kondisi ini terjadi setelah produk terkena bea keluar tersebut menunjukkan tren kenaikan pada periode sebelumnya. Lalu, apa sebabnya?
Tren harga pada bulan ini dipengaruhi oleh permintaan di pasar global. Pada akhirnya, situasi tersebut turut memengaruhi penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) produk pertambangan yang dikenakan bea keluar (BK) pada Oktober 2022.
Ketentuan HPE periode Oktober 2022 ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perdagangan No 1358/2022 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Produk Pertambangan Yang Dikenakan Bea Keluar, tanggal 28 September 2022.
Baca Juga: Emiten Pertambangan Pacu Ekspansi Anorganik
Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Veri Anggrijono menerangkan penurunan harga patokan itu dipengaruhi oleh lesunya permintaan atas produk tersebut di pasar dunia.
Beberapa produk tersebut di antaranya konsentrat tembaga, konsentrat besi, konsentrat besi laterit, konsentrat mangan, konsentrat timbal, konsentrat seng, konsentrat pasir besi, konsentrat ilmenit, konsentrat rutil, dan bauksit yang telah dilakukan pencucian.
“Sementara itu, harga pellet konsentrat pasir besi tidak mengalami perubahan sebagaimana biasanya,“ katanya dalam keterangan resmi, Senin (3/10/2022).
Penurunan ini bukan pertama kalinya terjadi. Kementerian Perdagangan mencatat anjloknya harga produk tambang telah berlangsung setidaknya sepanjang semester II/2022.
Produk pertambangan yang mengalami penurunan harga rata-rata pada periode Oktober 2022 adalah konsentrat tembaga minus 0,17 persen menjadi rerata US$2.974,01/ wet metric ton (WMT); konsentrat besi -5,70 persen menjadi US$85,04/WMT; konsentrat besi laterit turun 5,70 persen menjadi US$43,45/WMT.
Kemudian, konsentrat mangan turun 1,54 persen menjadi US$223,56/WMT; konsentrat timbal anjlok 7,06 persen menjadi US$796,49/WMT; konsentrat seng minus 2,17 persen menjadi US$974,23/WMT; konsentrat pasir besi turun 5,70 menjadi rerata US$50,78/WMT.
Penetapan HPE produk pertambangan periode Oktober 2022 ini dilakukan dengan terlebih dahulu meminta masukan tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku instansi teknis terkait.
Masukan dan usulan dari ESDM didasarkan kepada perhitungan berbasis data perkembangan harga yang diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Asian Metal, Iron Ore Fine Australian, dan London Metal Exchange (LME).
HPE kemudian ditetapkan setelah dilakukannya rapat koordinasi dengan berbagai instansi terkait, yakni Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lapangan Usaha Pertambangan Tumbuh Imbas Konflik Rusia - Ukraina
Pun sederet produk pertambangan mengalami penurunan harga, lapangan usaha tersebut tetap mencatatkan pertumbuhan pada kuartal II/2022 mencapai 4,01 persen. Kondisi ini tak lepas dari permintaan batu bara yang meningkat karena konflik Rusia dan Ukraina.
Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan pertumbuhan tersebut terjadi karena didorong oleh peningkatan tembaga dan emas yang tumbuh 22,37 persen.
“Kemudian pertambangan batu bara tumbuh 4,25 persen. Seiring dengan peningkatan permintaan luar negeri, terutama saat Eropa melarang pembelian batu bara dari Rusia dan Ukraina, karena ada konflik Rusia dan Ukraina,” tuturnya dalam konferensi pers, Jumat (5/8/2022).
Laporan BPS melaporkan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2022 secara q-to-q (quarter-to-quarter) tumbuh 3,72 persen dan tumbuh sebesar 5,44 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Mayoritas lapangan usaha pada periode tersebut tumbuh positif, kecuali lapangan usaha administrasi pemerintahan dan jasa pendidikan. Lapangan usaha administrasi pemerintahan dan jasa pendidikan tersebut masing-masingnya terkontraksi sebesar -1,73 persen yoy dan -1,15 persen yoy.
“Administrasi pemerintahan terkontraksi -1,73 persen dikarenakan realisasi belanja pegawai dan belanja barang dan jasa pada pada kuartal II/2022 yang terkontraksi sebesar 2,39 persen,” katanya.
Sementara itu, lapangan usaha industri untuk non migas juga tumbuh 4,33 persen pada kuartal II meski melambat dibanding kuartal I yang tumbuhnya 5,7 persen. “Tapi secara total industri juga tumbuhnya 4.01 juga melambat dibanding Q1 yang tumbuhnya 5,07. Jadi untuk industri tetap tumbuh 4.01 tapi melambat,” tuturnya. (Indra Gunawan)