Permendikbudristek 30/2021, Ini Penyebab Munculnya Pro-Kontra

berdasarkan catatan Komnas Perempuan, dalam 5 tahun terakhir terdapat 51 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Dua puluh tujuh persen di antaranya terjadi di dalam kampus atau perguruan tinggi.

Tim Redaksi

13 Nov 2021 - 08.45
A-
A+
Permendikbudristek 30/2021, Ini Penyebab Munculnya Pro-Kontra

Ilustrasi/Istimewa

Bisnis, JAKARTA - Merespons keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat atas meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus, Kemendikbudristek menerbitkan permendikbudristek pada 31 Agustus 2021.

Namun, beleid bertajuk Permendikbudristek 30 /2021 malah melahirkan penolakan, selain ada yang mendukung.

Sementara itu, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, dalam 5 tahun terakhir terdapat 51 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Dua puluh tujuh persen di antaranya terjadi di dalam kampus atau perguruan tinggi. Di luar itu, diperkirakan masih banyak korban atau saksi yang enggan melaporkan kejadian kekerasan seksual.

Hal itu menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan bukanlah ruang yang aman dari kekerasan seksual. Alhasil,

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam menuturkan Permendikbudristek 30 /2021 lahir sebagai respons atas  meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus.

“Ini merupakan upaya pemerintah untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi,” kata Nizam saat dihubungi Bisnis, Kamis (11/11/2021).

Permendikbudristek 30 /2021, kata Nizam, mengatur secara  terperinci langkah-langkah yang penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Di samping itu, membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika.

Cantolan Hukum Permendikbudristek 30 /2021

Munculnya Permendikbudristek No. 30/2021 mengundang kritik dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah mengatakan dasar hukum keluarnya peraturan ini patut dipertanyakan. Pada UU 12/2011 pasal 8 ayat 2, peraturan menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi.

“Maka terbitnya peraturan menteri ini menjadi tidak tepat karena UU yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada,” katanya melalui pesan instan, Jumat (5/11/2021).

Ledia menyayangkan beberapa muatan dalam isi permendikbudristek ini jauh dari nilai-nilai Pancasila dan bahkan cenderung pada nilai-nilai liberalisme.

“Padahal Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan,” jelasnya.

Ledia mencontohkan, definisi kekerasan seksual dalam regulasi ini menjadi bias. Permendikbudristek memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender.

Lalu, persoalan persetujuan atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada pasal 5 ayat 2.

Menurutnya, beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban. Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya.

“Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” ucapnya.

Secara keseluruhan, Ledia menilai bahwa isi dari Permendikbudristek 30/2021 belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum melainkan hanya sekedar menyampaikan sanksi administratif internal.

Pada Pasal 7 dan 8, misalnya, berfokus pada birokratisasi administrastif. Ancaman yang cukup berat pun belum tampak dalam keseluruhan muatan Permendikbudristek ini.

Padahal, salah satu sarana efektif dalam pencegahan adalah terdapatnya ancaman hukum yang jelas dan tegas secara pidana. Agar orang berpikir seribu kali kalau mau melakukan kejahatan.

Oleh karena itu, Ledia berharap Permendikbudristek 30/2021 dibatalkan dan Kemendikbudristek bisa lebih fokus pada pembinaan sistem perkuliahan yang berkarakter Pancasila.

Pandangan Muhammadiyah

Muhammadiyah termasuk yang keberatam dengan hadirnya Permendikbudristek 30/2021.

Akar masalahnya, seperti disampaikan Muhammad Sayuti, Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, peraturan tersebut dinilai mengakomodasi pembiaran praktik perzinahan di kampus.

Dia menyebutkan soal perbuatan asusila tidak dikategorikan sebagai kekerasan seksual jika suka sama suka atau pelaku mendapat persetujuan dari korban.

“Peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus ini dikhawatirkan memicu perilaku seks yang dilarang dalam ajaran agama Islam,” ujar Sayuti dalam wawancara di salah satu televisi nasional, Rabu (10/11/2021).

Ilustrasi/Istimewa

Pihaknya, kata dia, menolak penggunaan frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang terdapat pada pasal 5 Permendikbud Ristek Nomor 30 tersebut.

“Sandungan paling krusial bagi Muhammadiyah dalam menerima Permendikbud 30 adalah kalimat di dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” sehingga mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)’,” jelas Sayuti.

Dengan kata lain, Permendikbudristek 30/2021 dinilai mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.

Alasan inilah yang mendorong Diktilitbang PP Muhammadiyah menolak pengesahan Permendikbudristek 30/2021 dan meminta pemerintah segera mencabut dan memperbaikinya.

“Konteks relasi seksual yang tidak Islami (di luar pernikahan) apa pun bentuknya itu tidak kemudian begitu ada persetujuan korban menjadi benar. Tetap gak benar. Itu faktor materiil terpenting kenapa kami dengan diskusi yang intensif menolak Permen ini,” imbuh Sayuti.

Kalimat  ‘tanpa persetujuan’ korban itu menurut kami mendegradasi Permen itu sendiri bahwa menjadi bisa dibenarkan apabila ada persetujuan korban. Itu yang menjadi penting untuk kami catat, tegasnya.

Sayuti menegaskan, bahwa Muhammadiyah telah jauh-jauh hari berkomitmen melawan aksi kekerasan seksual di 166 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia.

Penjelasan Kemendikbudristek

Sebelumnya, Kemendibudristek telah memberikan penjelasan terkait Permendikbudristek 30/2021 tersebut. Dikutip dari laman kemdikbud.go.id, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam mengatakan tidak ada satu pun kata dalam Permendikbudristek PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinahan.

Tajuk di awal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan'.

“Fokus Permendikbud PPKS adalah pencegahan dan penindakan  atas kekerasan seksual, sehingga definisi dan pengaturan yang diatur dalam permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).

Menurut Nizar Permendikbudristek 30/2021 hadir lantaran banyak perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi.

“Kebanyakan dari mereka takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban. Hal ini menggambarkan betapa mendesaknya peraturan ini dikeluarkan,” ujarnya.

Ilustrasi/Istimewa

Dukungan Kowani

Suara pendukung Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 menilai dari aspek  perlindungan perempuan dari pelecehan seksual. 

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo menilai Permendikbudristek 30/2021 sebagai langkah penting untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual di dunia pendidikan.

"Permendikbudristek ini bagus sekali, ini sesuatu yang menggembirakan dengan adanya aturan ini,” ujar Giwo di Jakarta, Selasa (9/11/2021).

Dikatakan Giwo peraturan tersebut merupakan langkah maju dalam upaya perlindungan perempuan dari pelecehan seksual. Peraturan tersebut tidak hanya mengatur upaya pencegahan tetapi juga penanganan dan juga sanksi tegas bagi pelaku.

Selain itu, Permendikbudristek 30/2021 mengatur agar pertemuan antara dosen dan mahasiswa dilakukan di lingkungan kampus dan jam kuliah.

Giwo tidak memungkiri terkadang dosen meminta waktu di luar jam kuliah dengan alasan kesibukan. “Terkadang ada oknum dosen yang meminta agar bertemu di luar jam kuliah. Ketemu di sini, dan kemudian dipeganglah tangan mahasiswinya,” kata dia.

Giwo menegaskan sebenarnya memegang tangan maupun mencolek merupakan bentuk pelecehan seksual, namun banyak mahasiswi mengabaikan hal itu agar mendapatkan tanda tangan dosen pembimbingnya.

“Terus terang, kami menyambut positif dan apresiasi yang tinggi pada Mendikbudristek. Memang pelecehan seksual ini banyak dialami perempuan, dan banyak yang tidak mengungkapkan karena beralasan membuka aib sendiri. Kalau di luar negeri, tidak akan ada seperti itu karena sudah jelas aturannya,” kata Giwo yang saat ini mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera dilakukan.  

Dukungan Akademisi

Gabungan akademisi dari berbagai kampus juga mendukung Permendikbudikti 30/2021. Menurut mereka kekerasan seksual merupakan implikasi logis dari relasi kuasa yang timpang termasuk dalam relasi gender di perguruan tinggi.

Akademisi dari berbagai kampus menilai pelaku kekerasan seksual yang ada pada posisi dominan dalam relasi kuasa memiliki privilege untuk memanipulasi, menakut-nakuti, dan akhirnya menaklukkan korban.

"Kekerasan seksual merusak martabat korban dan merontokkan fungsi universitas sebagai tempat pencarian kebenaran," tulis gabungan akademisi dalam keterangan resmi, Kamis (11/11/2021).

Aturan dan kode etik mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual selain penting untuk melindungi korban, juga penting untuk membangun kultur akademik yang sehat, berperadaban, setara, dan adil.

Para akademisi tersebut menilai Permendikbudikti 30/2021 justru berupaya mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi selama ini dan tidak tertangani dengan baik karena relasi kuasa di kampus.

"Penolakan sebagian pihak terhadap Permen ini menggambarkan adanya pandangan konservatif yang kaku sehingga tidak mampu memahami batas antara norma kesusilaan dengan kekerasan [yang antara lain ditandai dengan persetujuan]," tulis gabungan akademisi.

Karena itu, banyak pihak menolak untuk melihat data kekerasan seksual di kampus yang tinggi. Bukan itu saja, gabungan akademisi menilai penundaan penerbitan aturan terhadap upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual hanya akan melanggengkan relasi kuasa purba yang tidak adil.

"Kami mendorong semua pihak terkait untuk segera melaksanakan Permen ini untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus," ujar gabungan akademisi. (OK. M. Tijani Usuluddin, Jaffry Prabu Prakoso, Indra Gunawan, Feni Freycinetia Fitriani, Nancy Junita)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.