Permintaan Baja Kian Solid, Emiten Geber Utilisasi

Para produsen baja, mulai dari BAJA hingga ISSP, bersaing mendongkrak utilisasi pabrikan tahun ini sejalan dengan mulai tingginya permintaan akibat proyek infrastruktur yang kembali berarak seirama dengan derap pemulihan ekonomi nasional.

Reni Lestari

3 Nov 2021 - 19.59
A-
A+
Permintaan Baja Kian Solid, Emiten Geber Utilisasi

Presiden Joko Widodo menandatangani baja produk terbaru saat meresmikan pabrik Hot Strip Mill 2 PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Kota Cilegon, Banten, Selasa (21/9/2021). Pabrik ini memiliki kapasitas produksi hot rolled coil (HRC) sebesar 1,5 juta ton per tahun dan merupakan pabrik pertama di Indonesia yang mampu menghasilkan HRC kualitas premium./ANTARA FOTO/Biro Pers Media Setpres-Agus Suparto

Bisnis, JAKARTA — Awan cerah mulai menggelayuti industri baja nasional. Sejalan dengan perbaikan ekonomi dan bergeliatnya proyek-proyek infrastruktur, produksi baja nasional diproyeksikan mengalami kenaikan sampai dengan akhir tahun ini.

Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian Budi Susanto mengatakan produksi baja diperkirakan mencapai 12,27 juta ton pada tahun ini, atau tumbuh 6,05 persen dibandingkan dengan tahun lalu yang berjumlah 11,57 juta ton.

Dalam jangka menengah, target kapasitas produksi baja diproyeksikan mencapai 17 juta ton pada 2024.

"Hingga akhir 2021, diperkirakan [produksi] mencapai 12,27 juta ton yang merupakan total dari kapasitas produksi sejumlah perusahaan," kata Budi kepada Bisnis, Rabu (3/11/2021).

Gabungan kapasitas produksi tersebut antara lain disumbang oleh PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) sebanyak 2,5 juta ton per tahun, PT Krakatau Posco 3 juta ton per tahun, dan PT Gunung Raja Paksi Tbk. (GGRP) 1,7 juta ton per tahun.  

Selain itu, ada pula PT Dexin Steel Indonesia 1,5 juta ton per tahun, serta gabungan dari beberapa produsen billet sebesar 4 juta ton per tahun.

Berdasarkan catatan Kemenperin, rata-rata utilisasi industri logam dasar sepanjang tahun ini mencapai 66,25 persen. Adapun, rerata utilisasi industri barang logam bukan mesin dan peralatannya mencapai 73,99 persen.

Per September 2021, utilisasi tercatat 78,74 persen untuk industri logam dasar, dan 53,38 persen untuk industri barang logam bukan mesin dan peralatannya.

Kendati aktivitas industri belum sepenuhnya pulih, berdasarkan evaluasi implementasi izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI) memasuki kuartal IV/2021, sebagian besar sektor pengolahan nonmigas telah beroperasi penuh.

Hal itu tercermin dari angka purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober yang menembus rekor 57,2.

"Industri sebagian besar telah beroperasi penuh. Namun, masih dalam pemantauan dan diperlukan pelaporan secara tertib dan berkala," lanjutnya.

Proyeksi pertumbuhan produksi baja juga seiring dengan naiknya investasi di industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya.

Sepanjang Januari—September 2021, nilai penanaman modal di sektor tersebut mencapai Rp82,7 triliun, tumbuh 12,5 persen secara year on year (YoY).

Untuk penanaman modal asing (PMA), sektor tersebut meraup US$5 miliar atau naik 21,8 persen secara YoY.

KINERJA PERUSAHAAN

Berbagai perusahaan baja pun terpantau mulai mengerek utilisasi pabrikan secara signifikan memasuki akhir tahun ini.

Produsen pipa baja PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk. (ISSP) atau Spindo mampu mengerek utilisasi hingga di atas 60 persen pada kuartal III/2021.

Chief Strategy Officer ISSP Johanes Edward mengatakan utilisasi perseroan sempat turun selama pada Juli karena terdampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), tetapi kembali naik begitu ada pelonggaran.

Pada Juni 2020, utilisasi Spindo sempat anjlok menjadi sekitar 35 persen. Sementara itu, utilisasi rata-rata tahunan berada di kisaran 60—65 persen.

"[Utilisasi] Sudah [pulih] jauh lah, saat ini di level 60 persen ke atas. Kapasitas produksi mencapai 600.000 ton per tahun,” kata Johanes.

Saat ditanya mengenai target pertumbuhan produksi tahun ini, Johanes mengatakan ISSP fokus pada kenaikan margin penjualan dan laba.

Sampai dengan kuartal III/2021, margin perseroan menunjukkan kinerja yang baik meski dia belum memerinci angkanya.

Adapun, faktor pendorong pemulihan industri baja pada paruh kedua tahun ini yakni pemulihan ekonomi nasional yang belakangan ditandai dengan angka rekor PMI manufaktur pada Oktober yang mencapai 57,2.

"Secara nasional sudah jelas kenaikan PMI yang mencapai rekor menjadi tanda bahwa memang ekonomi sudah mulai pemulihan," katanya.

Tidak hanya itu, stimulus pajak pertambahan nilai (PPn) masih bisa dinikmati sampai akhir tahun.

Sebelumnya, sektor industri logam dasar mengalami pertumbuhan sebesar 18,03 persen pada semester I/2021 yang didukung peningkatan produksi besi, baja, dan bahan baku logam lainnya.

Menurut catatan Asosiasi Produsen Baja Ringan Indonesia (APBRI), pertumbuhan itu juga diiringi peningkatan utilisasi dari 51,2 persen pada awal 2021 menjadi 79,93 persen pada pertengahan tahun ini.

Beberapa kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor industri logam di antaranya program relaksasi tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang diberikan untuk sektor otomotif. 

Selanggam, produsen baja lapis PT Saranacentral Bajatama Tbk. (BAJA) menargetkan utilisasi pabrikan mencapai 80 persen sepanjang tahun ini. Angka tersebut naik dari rata-rata utilisasi tahun lalu yang berkisar 60—70 persen dan pada 2019 yang hanya 30—40 persen.

Direktur Utama BAJA Handaja Susanto mengungkapkan peningkatan utilisasi tersebut seiring dengan target penjualan sekitar Rp1,5 triliun dan laba bersih Rp200 miliar. Kapasitas produksi baja lapis perseroan tercatat hingga 150.000 ton.

"Proyeksi utilisasi kami pada 2021 ada di sekitar 70—80 persen dengan total produksi 100.000 ton," kata Handaja saat dihubungi, belum lama ini.

Berdasarkan kinerja penjualan pada kuartal III/2021, perseroan membukukan pendapatan usaha sebesar Rp1,17 triliun, naik 28,82 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai Rp916,14 miliar.

Penjualan didorong oleh produk saranalum yang meningkat 48,72 persen dan coloring naik 194,11 persen.  Adapun produk galvanis mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni 73,8 persen.

Handaja melanjutkan, beban harga batu bara yang berfluktuasi sepanjang tahun ini tidak sampai dirasakan oleh pelaku industri hilir. Meski demikian, ongkos pembuatan baja akan otomatis naik dengan adanya kenaikan harga batu bara.

"Produksi 1.000 kg baja membutuhkan 770 kg batu bara. Jadi lumayan banyak," ujarnya.

Kenaikan utilisasi BAJA setali tiga uang dengan proyeksi konsumsi baja dunia oleh Worldsteel, yang diperkirakan tumbuh sebesar 4,5 persen pada tahun ini atau sebesar 1.885 Mt setelah hanya tumbuh 0,1 persen pada 2020.

Di regional Asia dan Oceania, kebutuhan baja diperkirakan tumbuh 1,9 persen atau menjadi 1.330,2 Mt pada tahun ini.

BAJA IMPOR

Pendapat berbeda disampaikan oleh Indonesian Iron dan Steel Industry Association (IISIA), yang mengeklaim rata-rata utilisasi kapasitas industri baja nasional masih rendah yakni di angka 52 persen.

Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim mengatakan hal itu tak lepas dari masuknya baja impor khususnya di hilir.

"[Utilisasi industri baja] Dalam negeri stagnan karena baja impor khususnya di hilir masuk lagi, khususnya di enam bulan terakhir," ujar Silmy.

Silmy mengimbau kepada pemerintah untuk terus mengendalikan impor dan meningkatkan penggunaan baja dalam negeri. Jika dua upaya itu dimaksimalkan, utilisasi industri bisa terkerek hingga 80 persen.

Dia menjelaskan, produk impor saat ini memiliki kemudahan untuk memasuki pasar Indonesia sebagai dampak perjanjian perdagangan bebas yang menerapkan tarif sangat rendah bahkan sampai 0 persen.

Menurutnya, masih banyak importir melakukan kecurangan dengan mengalihkan kode HS dari baja karbon ke baja paduan. Hal itu dilakukan untuk menghindari bea masuk.

"Kami tidak anti [terhadap] baja impor, tetapi jangan sampai baja yang masuk ke Indonesia itu dumping atau baja-baja yang tidak sesuai dengan SNI, atau baja-baja yang menghindari bea masuk," lanjutnya.  

Sementara itu, peluang bagi industri yakni proyeksi kebutuhan baja domestik yang mencapai 27 juta ton pada 2030. Hal itu pun perlu ditindaklanjuti dengan pengembangan industri dan perluasan utilisasi kapasitas produksi.

Adapun, krisis energi di China dan India saat ini menambah sentimen positif bagi negara-negara produsen baja, termasuk Indonesia. Salah satu efek yang paling dirasakan oleh produsen baja di dalam negeri adalah mulai terjaganya harga jual.

"Setelah selama ini baja produksi China membanjiri pasar dan dianggap merusak harga jual," kata Silmy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.