JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa belum berencana untuk mengevaluasi kembali harga jual bahan bakar minyak (BBM) subsidi dan nonsubsidi milik PT Pertamina (Persero).
Padahal, harga minyak mentah dunia berada pada keseimbangan baru yang lebih rendah di level US$75,53 per barel pada perdagangan sepekan terakhir.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan bahwa harga jual BBM bersubsidi jenis bensin Pertalite (RON 90) dan Solar saat ini masih timpang dari harga keekonomiannya.
“Kalau nanti sudah seperti itu baru kita evaluasi. Sekarang kan belum,” kata Tutuka saat ditemui di Kompleks DPR, Senin (12/12/2022) petang.
Posisi itu, kata Tutuka, juga berlaku untuk BBM yang dijual secara komersial oleh Pertamina dan badan usaha lainnya. Salah satunya adalah harga jual yang dikenakan untuk Pertamax (RON 92) sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar.
Baca juga: Harga BBM Nonsubsidi Pertamina Naik, Konsumsi BBM Subsidi Aman?
Kendati demikian, dia mengakui bahwa harga jual Pertalite yang dipatok Rp10.000 per liter saat ini sudah mulai mendekati harga keekonomian jika dibandingkan dengan posisi pada pertengahan tahun ini. Hanya, Kementerian ESDM masih mempelajari fluktuasi harga minyak mentah dunia yang masih berlanjut pada akhir tahun ini.
“Sekarang sih, nggak jauh ya keekonomiannya dengan harga Pertalitenya setahu saya. Untuk angka tepatnya nanti,” kata dia.
Sementara itu, harga minyak mentah global terpantau turun pada perdagangan Senin (12/12/2022) akibat terbebani oleh masih tingginya ekspektasi kenaikan suku bunga Federal Reserve atau The Fed pada awal 2023.
Mengutip data Bloomberg, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengalami penurunan 0,70 persen atau 0,50 poin ke US$70,52 per barel. Adapun, harga minyak Brent terpantau turun 0,57 poin atau 0,75 persen ke US$75,53 per barel.
Baca juga: Di Balik Impor Minyak Mentah RI, Ada KKKS yang Pilih Ekspor
Tim Analis Monex Investindo Futures (MIFX) menyebutkan bahwa kabar tertahannya sumber minyak AS karena gangguan pipa minyak di Kanada, ancaman Rusia untuk memangkas produksi sebagai reaksi dari pembatasan harga G7, serta ekspektasi kenaikan permintaan dari China setelah pelonggaran pembatasan lockdown di negara tersebut, telah menopang harga minyak naik.
“Namun, sikap hati-hati pelaku pasar terhadap kebijakan moneter The Federal Reserve AS masih menekan turun harga minyak,” jelas Tim Analis MIFX dalam riset, dikutip Senin (12/12/2022).
Di saat yang sama, suku bunga acuan The Fed diekspektasikan naik sebesar 0,50 persen pada pekan ini dengan masih ada ruang untuk kenaikan suku bunga hingga pertengahan tahun 2023 mendatang.
“Hal ini yang nampak membatasi minat pelaku pasar terhadap produk-produk komoditas saat ini,” tambahnya.
MIFX memperkirakan harga minyak berpeluang dijual menguji level support US$70,30 selama harga tidak mampu menembus level resistance US$72,65 per barel.
“Namun, kenaikan lebih tinggi dari level resistance tersebut, maka harga minyak berpeluang dibeli menguji level resistance selanjutnya US$73,20 per barel,” imbuh Tim Analis MIFX. (Nyoman Ary Wahyudi)