Pertamina Makin Serius Berbisnis Petrokimia 

Industri petrokimia masih tetap tumbuh meski pandemi Covid-19. Maka tak heran jika Pertamina terus berupaya mengembangkan bisnis petrokimia. 

Febrina Ratna Iskana

17 Mei 2021 - 19.22
A-
A+
Pertamina Makin Serius Berbisnis Petrokimia 

Penjualan perdana produk Methanol yang diproduksi oleh anak usaha PT Pertamina.- Pertamina

Bisnis, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) kembali memperluas bisnis. Perusahaan pelat merah itu mencoba menjajal peluang di industri petrokimia. 

Melalui PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading Pertamina memasarkan produk petrokimia pedana di pasar domestik. Petrochemical Industry Business SH Commercial & Trading melalui Petrochemical Regional Kalimantan menjual 3.000 metrik ton (MT) Metanol. Produk tersebut dijual kepada produsen Biodiesel di wilayah Kalimantan Selatan. 

Vice President Petrochemical Industry Business SH Commercial & Trading Oos Kosasi menyebut pihaknya memang memiliki strategi ekspansi ke produk-produk petrokimia. Strategi tersebut diwujudkan melalui program Go Petchem. 

"Produk petrokimia dijadikan 'engine' baru perusahaan dalam mencapai growth yang lebih baik lagi," ujar Oos dalam keterangan tertulis, Senin (17/5/2021). 

Pihaknya pun memproyeksi mampu menjual produk Metanol di dalam negeri hingga 50.000 MT sepanjang tahun. Dengan begitu, kebutuhan produk Metanol di pasar domestik dapat terpenuhi. 

Tidak hanya itu saja, Pertamina juga bakal menyediakan produk-produk petrokimia yang dibutuhkan Indonesia. "Potensi pasar produk petrokimia masih sangat besar, tidak hanya Metanol dan kami yakin Pertamina siap memenuhi kebutuhan ini," ujarnya. 

 

Pekerja beraktivitas di proyek pembangunan pabrik Polyethylene (PE) baru berkapasitas 400.000 ton per tahun di kompleks petrokimia terpadu PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP), Cilegon, Banten, Selasa, (18/6/2019). - Bisnis/Triawanda Tirta Aditya

 

Bisnis petrokimia memang cukup menjanjikan. Bagaimana tidak, industri petrokimia nasional mampu tumbuh positif di tengah pandemi Covid-19.

Bahkan tingkat utilitasasi industri  tersebut bahkan mencapai 95 persen. Itu lantaran industri petrokimia mampu mensubstitusi produk impor. 

Sebelumnya, sebanyak 55 persen bahan baku produk petrokimi masih diimpor. Hal itu sempat menghambat industri petrokimia pada 3 bulan pertama pandemi Covid-19. 

Namun, industri tersebut mampu pulih. Pasalnya, kontrak-kontrak ekspor yang terkendala akibat pandemi, karena banyak negara lock down, dialihak untuk memenuhi permintaan di dalam negeri. 

Terutama bahan baku untuk menunjang berbagai produk alat kesehatan hingga produk kemasan. Selain itu, ada momentum kelangkaan kontainer pada akhir tahun lalu yang menjadikan industri petrokimia di dalam negeri menjadi primadona. 

"Seiring demand tinggi, supply bagus, kemudian impor berkurang membuat delta P (selisih harga produk dengan harga bahan baku) semakin bagus," ujar Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), Fajar Budiono, pada Selasa (30/3/2021).

Tren positif itu pun terlihat pada siklus Imlek di mana industri petrokimia cenderung turun. Namun, penurunan hanya terjadi selama seminggu dan kembali naik akibat demand dalam negeri meningkat. 

Selain itu, sejumlah proyek besar industri petrokimia yang diproyeksi tertunda dalam jangka panjang hanya mundur 1-2 tahun. Contohnya pengembangan Chandra Asri 2 yang rencana operasi pada 2024 mundur ke 2026. 

Ada juga Lotte yang awalnya menunda pembangunan pabrik nafta cracker kembali berjalan lagi awal tahun ini. Perusahaan asal Korea Selatan itu pun memproyeksi pabrik bakal mulai beroperasi pada 2026. 

Selain itu, PT Tuban Petroochemical Industries (TubanPetro Group) sudah mendapatkan kepastian untuk pengembangan TPPI dan Polytama. Kedua proyek tersebut ditargetkan beroperasi pada 2024. 

 

Petugas mengisi bahan bakar B30 ke kendaraan saat peluncuran uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di halaman Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6/2019). - Antara / Aprillio Akb

 

Produk Petrokimia Tekan Impor Solar

Di sisi lain, Pertamina juga menyebut penjualan produk petrokimia merupakan bagian dari upaya meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan. Pasalnya, Metanol yang dijual perusahaan itu bisa digunakan sebagai bahan campuran Solar menjadi Biodiesel. 

Metonol menjadi salah satu bahan campuran untuk memproduksi Fatty Acid Methyl Ester atau FAME. FAME kemudian dicampur dengan Solar untuk dijadikan produk Biosolar. 

"Saat ini kebijakan pemerintah untuk pemanfatan Biodiesel dalam campuran Solar adalah 30 persen atau biasa disiebut Biosolar 30," kata Oos. 

Di tempat terpisah, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan implementasi Biodiesel sejak tahun 1016 dengan B20 dan dilanjutkan B30 pada 2019 merupakan upaya penurunan impor BBM jenis Solar. Dengan progran tersebut, pihaknya dapat mengurangi impor Solar secara signifikan. 

"Bahkan mulai April 2019, Pertamina sudah tidak lagi mengimpor BBM jenis solar," ujar Nicke.


(Reporter : Febrina Ratna Iskana, Nyoman Ary Wahyudi & Bambang Supriyanto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.