Pertaruhan Industri Hilir CPO Sebelum Penyetopan Ekspor

Pelaku industri menilai program penghiliran CPO di dalam negeri sejauh ini berjalan optimal menyusul wacana pemerintah untuk menyetop ekspor minyak kelapa sawit mentah. Namun, benarkah klaim tersebut?

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

5 Nov 2021 - 12.37
A-
A+
Pertaruhan Industri Hilir CPO Sebelum Penyetopan Ekspor

Minyak kelapa sawit/istimewa

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah berupaya mengebut kenaikan ekspor produk turunan sawit hingga akhir tahun ini, di tengah tantangan peningkatan kapasitas kilang industri hilir CPO menyusul wacana penyetopan ekspor minyak kelapa sawit mentah.

Berdasarkan laporan Kementerian Perindustrian, rasio ekspor produk turunan minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menyentuh 90,73 persen hingga Agustus 2021.

Di sisi lain, realisasi ekspor minyak sawit mentah untuk bahan baku berhasil ditahan di posisi 9,27 persen. Adapun, realisasi ekspor minyak sawit itu hingga Agustus tahun ini mencapai 22,79 juta ton.  

Sebagai perbandingan, pada 2020, realisasi ekspor produk turunan CPO berada di angka 78,02 persen, sementara minyak sawit mentah mencapai 21,97 persen. Saat itu, total ekspor CPO dan produk turunannya mencapai 34 juta ton. 

Kepala Subdirektorat Industri Hasil Perkebunan Nonpangan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Lila Harsyah Bakhtiar menegaskan target pemerintah untuk menggeser fokus ekspor CPO ke produk hilir relatif tercapai pada tahun ini.

Dengan demikian, kata Lila, pemerintah telah siap untuk menyetop ekspor minyak sawit mentah alias CPO. 

“[Sebanyak] 90,73 persen ekspor [minyak sawit] itu dalam bentuk olahan. Artinya, nilai tambahnya ada di Indonesia. Kalau kita ekspor CPO, terus pabrik olahannya di luar negeri nilai tambahnya di sana. Sebaliknya, kalau sudah diolah dalam negeri, kita menikmati neraca dagang yang lebih besar ketimbang bahan baku,” kata Lila saat dihubungi, Jumat (5/11/2021). 

Menurut Lila, kapasitas kilang minyak sawit mentah dalam negeri untuk kebutuhan pangan menyentuh 60 juta ton. Di sisi lain, kapasitas kilang untuk biodiesel di angka 10 juta ton.

Dengan demikian, kapasitas industri hilir untuk menyerap pemangkasan ekspor CPO dapat mencapai di angka 70 juta ton. Sementara itu, produksi CPO dalam negeri pada tahun lalu sempat menyentuh di angka 51,58 juta ton. 

“Hanya saja, ada beberapa pabrik yang sudah tua kalau dioperasikan biayanya lebih mahal ketimbang keuntungannya. [Akses] jalan juga rusak-rusak biayanya lebih besar jadinya. Namun, kalau dilihat kapasitasnya terhitung tetapi dia tidak produktif,” tuturnya. 

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho sebelumnya menilai pernyataan Presiden Joko Widodo untuk menyetop pengapalan CPO merupakan langkah yang ekstrem.

Menurutnya, untuk sampai pada keputusan tersebut, pemerintah harus banyak berdiskusi dengan pelaku usaha agar upaya itu tidak justru menjadi bumerang bagi industri dalam negeri.

Upaya penghiliran industri kelapa sawit, menurutnya, telah banyak terdorong kebijakan insentif pungutan ekspor yang terdiri atas tarif pungutan dana perkebunan dan tarif bea keluar yang ditetapkan dinamis sesuai harga referensi bulanan.

"Sudah ada beberapa kebijakan yang pada akhirnya memaksa CPO untuk penghiliran. Saya rasa Pak Presiden perlu melihat secara matang baik dari pelaku industri dan kebijakan pemerintah yang sudah ada saat ini," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan selama ini harga di pasar global menjadi pembanding tarif di dalam negeri. Seandainya larangan ekspor CPO diberlakukan, pembanding tersebut menjadi hilang sehingga harga domestik berpeluang melambung.

"Sekarang kan terbuka harga ekspor, harga di dalam negeri juga terbuka, jadi ada pembandingnya. Kalau nanti kita tidak tahu, berapa yang harus diterapkan, ini malah jadi backfire dan merugikan di sektor hulunya," kata Andry.

Berdasarkan data dari sejumlah asosiasi perkelapasawitan, total produksi CPO pada tahun lalu mencapai 51,58 juta ton. Sebanyak 34 juta ton (66%) diekspor dan 17,34 juta ton (34%) terserap di dalam negeri.

Dari volume yang diekspor, pengapalan dalam bentuk CPO dan crude palm kernel oil (CPKO) sejumlah 9 juta ton (26,47%), sedangkan produk olahan dan makanan sebesar 21,10 juta ton (62,05%) serta oleokimia sebesar 3,87 juta ton (11,38%).

Permasalahan lain juga muncul dari sisi penyerapan CPO di dalam negeri jika pemerintah benar-benar melarang komoditas tersebut untuk diekspor.

Menurut Andry, pasar di dalam negeri belum cukup besar untuk memperluas penghiliran industri sawit. Indikatornya, ada beberapa industri yang belum siap menghasilkan produk pengguna akhir (end user).

"Kita juga harus tahu potensi-potensi pasar produk-produk hilir sawit ke depan, karena ini yang jadi persoalan adalah pasar di dalam negeri masih belum cukup besar," katanya.

PROGRAM PENGHILIRAN

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo menuturkan program penghiliran CPO di dalam negeri sejauh ini berjalan optimal menyusul wacana pemerintah untuk menyetop ekspor bahan baku untuk pasar internasional. 

Buktinya, Bernard kembali menegaskan, rasio ekspor produk turunan CPO menyentuh di angka 90,73 persen hingga Agustus 2021.

Sementara itu, realisasi ekspor CPO sebagai bahan baku tertahan di posisi 9,72 persen. Adapun, realisasi ekspor minyak sawit itu hingga Agustus tahun ini mencapai 22,79 juta ton. 

“Seharusnya jika angka ekspor hilir naik berarti penghiliran berjalan, volume ekspor CPO sebelumnya berkisar di 20 persen dan sisanya produk turunan,” kata Bernard. 

Dengan demikian, kata Bernard, produksi bahan baku dalam negeri sudah optimal terserap di industri hilir untuk kemudian diolah menjadi produk bernilai tambah. 

“Dengan ekspor CPO hanya di 9,72 persen berarti CPO telah terserap di refinery [penyulingan] dan diekspor sebagai produk bernilai tambah,” tuturnya. 

Adapun, Kementerian Perdagangan menuturkan realisasi ekspor produk turunan CPO berkontribusi besar bagi surplus neraca dagang beberapa waktu terakhir. 

Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Asep Asmara mengatakan tren itu menyusul pada peralihan fokus ekspor CPO pada produk hilir.

Senada dengan data Kemenperin, kata Asep, Kemendag mencatat kontribusi ekspor CPO untuk periode Januari hingga Agustus 2021 mencapai 9,81 persen. Di sisi lain, produk turunan sawit mencapai sekitar 90 persen. 

“Artinya, penghiliran sawit sudah berjalan dengan baik itu dalam bentuk produk setengah jadi ataupun produk jadi,” kata Asep. 

Berdasarkan catatan Kemendag, realisasi ekspor CPO dan produk turunannya mencapai US$22,3 miliar sepanjang Januari hingga Agustus 2021. Adapun, realisasi itu mengalami peningkatan sebesar 75 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. 

“Mengingat kelapa sawit, CPO dan produk turunannya merupakan produk utama ekspor Indonesia, tentunya kenaikan ekspor kelapa sawit,  CPO dan produk turunan akan berpengaruh besar terhadap surplus neraca perdagangan,” kata dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.