Perubahan Iklim dan Teknologi Stabilitas Volume Air Laut

Roger Revelle, ilmuwan yang pertama kali mengumandangkan pemanasan sedang terjadi di bumi. Kemudian Wallace Smith Broecker mempopulerkannya dengan sebutan “Global Warming”. Sebuah kabar buruk pengantar manusia pada kengerian tak terbayangkan pun mulai mendapati posisi untuk menjadi bahan pembicaraan bersama-belahan bumi manapun-perubahan iklim.

Al Mukhollis Siagian

1 Apr 2022 - 22.27
A-
A+
Perubahan Iklim dan Teknologi Stabilitas Volume Air Laut

BIsnisindonesia.id/istimewa

Roger Revelle, ilmuwan yang pertama kali mengumandangkan pemanasan sedang terjadi di bumi. Kemudian Wallace Smith Broecker mempopulerkannya dengan sebutan “Global Warming”. Sebuah kabar buruk pengantar manusia pada kengerian tak terbayangkan pun mulai mendapati posisi untuk menjadi bahan pembicaraan bersama-belahan bumi manapun-perubahan iklim. 

Perubahan iklim yang tengah melanda sungguh mengerikan, berbagai labelisasi bernada panik kerap terlontar. Menteri Luar Negeri Kepulauan Marshal menyebut pemanasan luar biasa yang disebabkan oleh perubahan iklim dengan istilah genosida, ada yang menyebut sebagai Abad Neraka, Houthouse Earth, Climate Shock, Binatang Buas yang Marah, Mesin Perang, Krisis Eksistensial, Panas Maut, dan istilah lainnya. 

Atas dasar ini berbagai forum internasional telah menyoroti perubahan iklim sebagai agenda utama dunia yang harus dituntaskan, salah satunya adalah G20 yang didirikan pada tahun 1999 atas inisiasi Negara-negara anggota G7, yaitu Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang. 

Kemudian G20 memiliki pertambahan Negara-negara di dunia sebagai anggota yang terdiri dari Kanada, Meksiko, Argentina, Brazil, Rusia, Afrika Selatan, Arab Saudi, Turki, Tiongkok, Korea Selatan, India, Australia, Uni Eropa dan Indonesia. Pembahasan isu sebagai fokus dalam forum G20 terbagi dua isu, yaitu Finance Track dan Sherpa Track. 

Indonesia sebagai salah satu anggota G20 membuka ruang bagi masyarakat luas untuk menuliskan gagasan tentang dua isu besar di atas. Dan pada kesempatan ini penulis menawarkan gagasan mengenai perubahan iklim sebagai bagian dari isu Sherpa Track, tepatnya di point lingkungan. 

Perubahan iklim benar-benar memberikan dampak destruktif, sedikit pahit harus dikatakan adalah gelombang panas maut yang menewaskan 2.500 orang di India pada tahun 1998, menewaskan 2.000 orang per hari pada tahun 2003 di Eropa, dan menewaskan 55.000 orang di Rusia pada tahun 2010. 

Angka kekurangan gizi di dunia mencapai angka 800 juta jiwa dan 100 juta jiwa kelaparan akibat perubahan iklim, bahkan musim semi tahun 2017 menarik PBB untuk memperingatkan peristiwa kelaparan di Afrika dan Timur Tengah (Somalia, Sudan Selatan, Nigeria, dan Yaman) dapat menewaskan 20 juta jiwa pada tahun tersebut. 

Tidak kalah menakutkan, perubahan iklim yang telah mencabik-cabik kehidupan, juga harus dilihat dari gletser gunung yang mengalami penyusutan jauh lebih dari 29% secara global. Bahkan di Selandia Baru berpotensi kehilangan gletser sebesar 79% dan Alpen Eropa sebesar 90% seperti yang dilaporkan oleh ahli geofisika dari Universitas Alaska di AS tahun 2011 (http://suprememaster.tv/ina/runaway-methane-global-warming/?wr_id=2448&page=1#v). 

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa daerah itu merupakan letak gletser terbesar dunia, kehilangan gletser dari sumber gletser dunia tentu menyengsarakan, makhluk hidup kehilangan air bersih. Ditambah dengan persoalan pencairan es di lautan kutub utara yang terus menyumbangkan gas metana, sehingga menjadi siklus yang menjebak panas bumi dan menyebabkan laut memanas serta meningkatnya volume air laut skala besar. 

Sebagaimana laporan yang dipaparkan oleh Intergovermental Panel On Climate Change (IPCC) 2012 memperlihatkan bahwa daya serap panas laut meningkat 40% lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. 

Di Indonesia, penelitian yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kenaikan permukaan laut juga pernah dilakukan di Banjarmasin. Hasil penelitian tersebut memaparkan pada tahun 2010 serta memproyeksikan pada tahun 2050 dan 2100 dengan angka hilangnya luas daratan secara berurutan 7408 km² (2010), 30120 km² (2050), dan 90260 km² (2100). 

Jakarta dengan jumlah penduduk mencapai 11,25 juta pada tahun ini-penurunan tanah dan senantiasa banjir adalah kondisi paling nyata dari potret ibukota tersebut telah menunjukkan bahwa terbukanya potensi besar Jakarta untuk tenggelam pada tahun 2050. Dan bahkan sadar atau tidaknya, Indonesia yang kerap kehilangan pulau-pulau kecil setiap kali didaftarkan ke PBB adalah akibat dari lautan yang telah menenggelamkannya. 

Pemanasan terhadap laut merupakan indikator perubahan iklim yang sangat penting-laut dalam banyak hal, termometer terbaik yang di miliki planet ini tulis Zeke Hausfather dari University of California dalam temuan studinya. Namun hingga saat ini masih banyak yang terlena akan perkiraan meningkatnya volume air laut 1 sampai 2 meter pada tahun 2100. 

Seolah-olah tidak akan menyentuh bagi kalangan yang tempat tinggalnya memiliki jarak jauh dari pantai maupun luapan air sungai. Meskipun perhitungan diatas masih memberi kesan optimis, pada tahun 2100 apabila solusi paling tepat untuk mengatasi dampak kemarahan air laut, setidaknya sebanyak 5% penduduk dunia akan kebanjiran setiap tahunnya. Dan penting untuk ditegaskan, NASA pada tahun 2015 memperlihatkan bahwa perhitungan 1 meter peningkatan volume air laut bukanlah batas teratas melainkan batas terbawah. 

Sebuah temuan besar dari riset (dalam Wallace-Wells, 2019) menunjukkan bahwa sejak tahun 1992 hingga 1997, lapisan es di Antartika kehilangan rata-rata 49 miliar ton es setiap tahun. Dari 2012 sampai 2017 lapisan es di Antartika kehilangan rata-rata 219 miliar ton es. Archer (2016) menyebut kondisi ini dengan istilah “pelelehan panjang”. 

Berdasarkan perhitungan di atas, maka peningkatan volume air laut memberikan batas atas pada angka 80 meter. Setara dengan rata-rata minimal 160 kilometer jarak daratan dari garis pantai di seluruh belahan bumi akan menjadi tempat baru garis pantai. 

Temuan-temuan diatas adalah alarm yang keras bahwa akibat perubahan iklim yang memberi dampak destruktif dan sukar untuk dihindari adalah peningkatan volume air laut. Maka atas dasar ini, penulis menggagas untuk menciptakan teknologi yang mampu menstabilkan volume air laut. Dan mungkin gagasan penulis ini terkesan utopis, karena membutuhkan waktu yang panjang, tim yang banyak, dan biaya besar. Namun tetap pada titik optimis, penulis yakin dapat terwujud dengan dorongan dari seluruh pihak. 

Teknologi Stabilitas Volume Air Laut 

Dalam perdebatan para ilmuwan, persoalan peningkatan volume air laut tak bisa dihindarkan, potensi terbesar hanyalah memperlambat. Mengingat potensi dampak destruktif itulah penulis memilih untuk menggagas teknologi dalam upaya pemecahan, pencegahan, serta penjagaan dampak negatif perubahan iklim terkait peningkatan volume air laut yang memiliki potensi besar dalam menghancurkan bumi. 

Teknologi yang penulis gagas disebut dengan Chi A Gian yang artinya energi Al Mukhollis Siagian (https://www.menaratoday.com/2019/08/indonesia-harus-menjadi-negara-pencipta.html?m=1 ). Teknologi yang diperuntukkan menjawab pemanasan global terhadap es di kutub dan kekuatan potensinya menenggelamkan daratan di bumi ini. Maka kinerja teknologi Chi A Gian adalah untuk membekukan kembali bagian kutub. Bahkan teknologi ini mampu kita bentuk untuk membekukan laut jika diperlukan-dunia internasional hanya perlu mempersiapkan seluruh biaya, tim dan fasilitas yang dibutuhkan. 

Sebagaimana dalam pengurangan carbon, telah dibentuk dua teknologi untuk menyedot karbon dari udara. Pertama, Carbon Capture and Storage (CCS) untuk penangkapan dan penyimpanan karbon. Dan yang kedua, dengan pendekatan kehutanan dan pertanian disebut dengan BECSS (Bio Energy Carbon Capture and Storage). 

Sama halnya mengenai pencegahan volume air laut sebagai destroyer bumi juga dapat kita wujudkan. Cara kinerjanya mudah, menciptakan satu teknologi berbentuk kapal dengan fitur menyerap tenaga surya sebagai energi untuk menghasilkan pembekuan terhadap air laut. Artinya teknologi yang diciptakan juga harus tetap ramah lingkungan. 

Kemudian, untuk daya teknologi dapat dirincikan bahwa setiap satu unit teknologi yang diletakkan pada titik tertentu telah dipasang power membekukan dengan jangkauan 1 mill air laut. 

Dan tentunya teknologi ini hanya diperuntukkan menjaga kestabilan es di kutub. Jelas bahwa tidak ada lagi konsepsi paling tepat untuk menjaga bumi dari amukan air laut kecuali gagasan teknologi super canggih itu kita wujudkan bersama. Dengan teknologi stabilitas volume air laut tersebut, setidaknya kita telah memperlambat kiamat.

*) Founder AS Institute 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Tim Redaksi

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.