Pilpres 2024, Presidential Threshold Diusulkan Turun Hingga 10%

Ambang batas pencalonan presiden merupakan ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.

Nancy Junita & Saeno

1 Nov 2021 - 14.08
A-
A+
Pilpres 2024, Presidential Threshold  Diusulkan Turun Hingga 10%

Ilustrasi

Bisnis, JAKARTA - Pilpres 2024 yang akan berlangsung beberapa tahun lagi diusulkan menerapkan presidential threshold yang lebih kecil dari Pilpres sebelumnya. Penurunan presidential threshold dinilai akan membuka peluang munculnya pasangan kandidat capres-cawapres yang lebih banyak. 

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengusulkan agar presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dapat turun menjadi 10-15 persen dari 20-25 persen.

Usul penurunan presidential threshold (PT) itu dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilihan presiden atau Pilpres 2024.

“Kami waktu itu mengusulkan ada perubahan [presidential threshold] mungkin 10-15 persen, tidak seperti yang sekarang 20-25 persen,” kata Doli ketika memberi paparan materi dalam seminar bertajuk “Menimbang Sistem Pemilu 2024: Catatan dan Usulan” yang disiarkan di kanal YouTube CSIS Indonesia, seperti dipantau Antara dari Jakarta, Senin (1/11/2021).

Doli mengatakan secara teoritis penurunan ambang batas pencalonan presiden menjadi 10 - 15 persen dapat memunculkan sekitar tujuh atau delapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilu.

Meskipun dalam implementasinya, lanjut Doli, jumlah pasangan yang mungkin muncul ke permukaan akan kurang dari perkiraan. Dalam hal ini dia menyebut apa yang terjadi pada penetapan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25 persen pada Pilpres lalu.

“Secara teoritis, sekitar 20-25 persen harusnya bisa memunculkan empat atau lima pasangan yang faktanya selama ini tidak terjadi,” tuturnya.

Jika ketentuan ambang batas pencalonan presiden turun menjadi 10-15 persen, meski tidak dapat memunculkan tujuh hingga delapan pasangan, setidaknya dapat memunculkan koalisi yang lebih dari dua pasangan.

Ambang batas pencalonan presiden merupakan ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.

Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan soal aturan tersebut.

Disebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

Adapun, parpol atau gabungan parpol yang bisa mencalonkan adalah yang meraih  kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR RI sebelumnya.

“Memang harus ada proses seleksi yang ketat kepada calon-calon presiden, tetapi kita tidak boleh membatasinya menjadi terlalu sempit,” kata Doli. 

Dampak Presidential Threshold Besar

Usulan untuk menurunkan presidential threshold (PT) sudah lama digaungkan. Pemberlakuan presidential threshold sebesar 20 persen pada Pilpres 2014 dan 2019 dinilai telah menimbulkan dampak negatif.

Ambang batas yang terlalu besar membuat pilihan capres yang tersedia semakin terbatas. Rakyat pun dipaksa tidak memiliki banyak pilihan. Di sisi lain, banyak tokoh bangsa tidak bisa dimajukan dalam Pilpres karena aturan tersebut.

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta DPR dan pemerintah meninjau ulang pengaturan besaran ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) yang diatur dalam revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

HNW menilai besaran PT sebesar 20 persen yang berlaku saat ini dan sudah dipraktikkan pada Pilpres tahun 2014 dan 2019 menimbulkan banyak dampak negatif.

"Rakyat dipaksa tidak memiliki banyak pilihan, apalagi banyak tokoh Bangsa yang sangat layak memimpin Indonesia, tidak bisa dimajukan dalam kontestasi Pilpres karena tersandung dengan ketentuan tersebut," kata Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/2/2021).

Selain itu, menurut dia, ada masalah serius yang berdampak panjang dengan hanya dua kandidat maju sebagai capres/cawapres yaitu terjadinya pembelahan di masyarakat sejak dari tingkat rumah tangga hingga ke skala negara.

Dia khawatir kondisi itu akan sangat membahayakan harmoni, keutuhan dan kelanggengan NKRI.

Menurut dia, pada Pilpres tahun 2004 dan 2009 sudah diberlakukan presidential treshold sebesar 15 persen. Saat itu hadir alternatif calon presiden 5 kandidat di 2004 serta 3 kandidat di 2009.

Dia menjelaskan, setelah dilaksanakan Pilpres tahun 2004 dan 2009, tidak terjadi pembelahan di masyarakat, sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019.

Hal itu, ujar HNW, terjadi karena besaran PT disepakati di angka yang proporsional.

Dia menilai wajar bila batasan syarat pengajuan capres lebih bisa mengakomodasi kedaulatan rakyat. Dengan begitu, rakyat semakin dijauhkan dari keterbelahan. Hal itu juga dinilainya akan menguatkan praktik demokrasi di Indonesia.

HNW menilai, dengan sudah diberlakukannya Pilpres serentak bersama dengan Pileg, wajar apabila Pemerintah dan DPR mempertimbangkan besaran presidential threshold sesuai dengan electoral threshold.

Pada Pileg 2019 electoral threshold ditetapkan sebesar 4 persen, dan pada Pileg mendatang kemungkinan akan naik, tapi tidak melebihi 5 persen.

Menurut HNW, pengaturan PT sebesar 4 atau 5 persen merupakan win win solution dan solusi proporsional dari adanya pihak yang ingin tetap 20 persen dan ada pihak yang ingin PT dihapuskan sama sekali atau 0 persen.

"Dengan didukung oleh partai yang berada di parlemen dengan minimal 4 persen atau 5 persen kursi, capres/cawapres membuktikan bahwa mereka mempunyai dukungan politik yang riil sebagaimana tergambar di parlemen," kata HNW.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.