PLN Bali ‘Pensiunkan’ Sejumlah Pembangkit Listrik BBM

Sejumlah pembangkit listrik berbahan bakar minyak (BBM) tidak lagi dioperasikan. Hal itu berkaitan dengan edaran gubernur tentang energi bersih yang mengatur mengenai pembangkit BBM di Bali tidak beroperasi di antaranya PLTD Gilimanuk, PLTD Pemaron, dan PLTD Pesanggaran.

Ni Putu Eka Wiratmini

4 Okt 2021 - 21.11
A-
A+
PLN Bali ‘Pensiunkan’ Sejumlah Pembangkit Listrik BBM

Petugas PLN sedang mengecek kesiapan operasi PLTD Senayan, Kamis (8/8/2019). - Bisnis/Ni Putu Eka Wiratmini

Bisnis, DENPASAR — Penurunan beban puncak di sistem kelistrikan Bali akibat pandemi Covid-19, mendorong PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk mempercepat bauran energi di Pulau Dewata.

Berdasarkan data PLN, daya mampu kelistrikan di Bali saat ini sebesar 1.292 megawatt (MW), yang berasal dari sejumlah pembangkit hingga saluran kabel bawah laut tegangan tinggi (SKLT) Jawa Bali sebesar 340 MW.

Di sisi lain, beban puncak kelistrikan di Bali menurun sebesar 32% menjadi 664 MW per Agustus 2021 jika dibandingkan dengan beban puncak tertinggi pada awal 2019.

General Manager PLN UID Bali I Wayan Udayana mengatakan bahwa meskipun terjadi penurunan beban, SKLT tetap beroperasi.

Sementara itu, sejumlah pembangkit listrik berbahan bakar minyak (BBM) tidak lagi dioperasikan. Hal itu berkaitan dengan edaran gubernur tentang energi bersih yang mengatur mengenai pembangkit BBM di Bali tidak beroperasi di antaranya PLTD Gilimanuk, PLTD Pemaron, dan PLTD Pesanggaran.

PLTDG Pesanggrahan./Istimewa

Pada akhirnya, tidak beroperasinya pembangkit BBM tersebut telah mengubah bauran energi listrik di Bali, dari semula 19,7% pembangkit listrik tenaga diesel gas (PLTDG) pada 2020 menjadi 18,6% per Agustus 2021. Kemudian, pembangkit BBM yang pada 2020 sebesar 2,8% menjadi 1,8% per Agustus 2021.

"Akibat penurunan beban, SKLT tetap beroperasi, mengingat pula terkait edaran gubernur tentang energi bersih, pembangkit-pembangkit BBM di Bali tidak dioperasikan," katanya kepada Bisnis, Senin (4/10/2021).

Menurut dia, PLN Bali terus mendorong konversi energi baru dan terbarukan di Bali dengan mendukung pemakaian pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap lewat penyediaan fasilitas pararel. Selain itu, PLN juga membuat sistem billing untuk mengakomodasi export-import offset dan memberi credit deposit dari konsumen PLTS Atap dengan skema offset 65%.

"Saat ini PLTS Atap mulai meningkat konsumennya di Bali dengan rata-rata sampai dengan tahun 2020 penambahan pelanggan PLTS Atap sebanyak 21 pelanggan per tahun," sebutnya.

Berdasarkan data Institute for Essential Services Reform (IESR), potensi pembangkit listrik energi surya di Bali mencapai 26,4 gigawatt peak (GWp) atau hampir 24 kali lebih tinggi dari rencana umum energi daerah (RUED) Pulau Dewata.

Berdasarkan RUED yang tertuang dalam peraturan daerah Bali No. 9/2020, sumber energi primer yang berasal dari EBT pada 2015 adalah sebesar 11,15%. Kemudian, porsi EBT dari bauran energi primer di Bali pada 2050 diproyeksikan sebesar 20,1%.

Lebih terperinci, potensi EBT yang tertuang dalam perda tersebut meliputi panas bumi 262 MW, mini atau mikro hidro 15 MW, bioenergi 191,6 MW, surya 1.254 MW, angin 1.019 MW, air 208 MW, dan laut 320 MW.

IESR mengkalkulasi potensi tenaga surya untuk pembangkit di Bali mencapai 26,4 GWp dengan produksi teknis 40,5 terawatt hour per tahun (TWh/y). Potensi pembangkit surya tersebut terdiri atas pemasangan di pemukiman 19,8 GWp, belukar 5,6 GWp, savana  0,1 GWp, dan tanah terbuka 0,9 GWp.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan pemanfaatan pembangkit surya di Bali dapat dimulai dari semua bangunan pemerintah dan perhotelan. Jika semua kantor pemerintah memasang PLTS Atap, potensi listrik yang dihasilkan mencapai 7,96 MWp.

Sementara itu, jika 21 hotel di Kuta memasang PLTS Atap potensi listrik yang mampu dihasilkan mencapai 6,7 MW dan 19,2 MW untuk 21 hotel di Nusa Dua, Bali.

Apalagi, Gubernur telah merilis Pergub 45/2019 tentang Bali Energi Bersih. Beleid tersebut mengatur bangunan pemerintah puat maupun daerah untuk memasang PLTS Atap paling sediit 20% dari luasan atap.

Di sisi lain, Kepala CORE Udayana Ida Ayu Dwi Giriantari menilai pengembangan EBT di Bali saat ini cukup berpolemik. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi pembangkitan yang banyak menuai protes.

Begitu juga dengan pemanfaatan air untuk pembangkitan yang saat ini lebih dominan untuk digunakan dalam pemenuhan air baku masyarakat.

Ida Ayu pun menilai Bali paling mungkin mengembangkan pembangkit listrik dari energi surya. Namun, karena mahalnya lahan di Bali, pemanfaatan energi surya untuk pembangkitan pun bisa ditempuh lewat PLTS atap.

"Menurut saya, yang memulai dulu [pemasangan PLTS Atap] adalah perhotelan, baru merambah ke bisnis di luar pariwisata, kemudian pemukiman masyarakat umum," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.