PLN Ungkap Kriteria PLTU Batu Bara yang akan Ditutup demi EBT

PLN mengungkapkan setidaknya ada empat kriteria PLTU batu bara yang akan ditutup dalam rangka mempercepat proses transisi ke energi baru terbarukan (EBT). Sebagai gantinya, pembangkit listrik berbahan bakar EBT akan terus digencarkan pembangunannya.

Ibeth Nurbaiti

11 Okt 2022 - 16.30
A-
A+
PLN Ungkap Kriteria PLTU Batu Bara yang akan Ditutup demi EBT

Suasana Kompleks PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (22/3/2019)./ANTARA-Widodo S. Jusuf

Bisnis, JAKARTA — Kendati masih dihadapkan pada persoalan biaya, pemerintah bersama PT PLN (Persero) telah menetapkan sejumlah kriteria prioritas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang akan dipensiunkan.

Terlebih, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang akan menjadi acuan untuk menetapkan arah kebijakan dalam upaya mempercepat penghentian operasional PLTU batu bara di Indonesia.

Baca juga: Memantapkan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Batu Bara Capai NZE

Melalui Perpres 112/2022 tentang energi baru terbarukan (EBT) yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 13 September 2022 dan berlaku sejak aturan itu diterbitkan, pemerintah ke depannya tidak lagi melakukan pembangunan PLTU batu bara baru.

Secara bertahap, pemerintah juga akan menghentikan operasional PLTU, paling lama sampai dengan 2050. Sebagai gantinya, pembangkit listrik berbahan bakar EBT akan terus digencarkan pembangunannya.

Baca juga: Mencermati Efek Domino Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Pada tahun ini, setidaknya ada empat kriteria PLTU batu bara yang akan ditutup dalam rangka mempercepat proses transisi ke energi baru terbarukan (EBT), yakni pertama, menyangkut aspek kelayakan pembangkit batu bara tersebut untuk dipasangkan fasilitas Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS).

“Kalau tidak memungkinkan dibangun karena mungkin ruang dan sebagainya, maka itu yang diutamakan untuk dilakukan retirement,” kata Executive Vice President Power Generation and New & Renewable Energy PLN Herry Nugraha dalam acara Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022, Senin (10/10/2022).


Kriteria kedua, PLTU batu bara yang akan segera ditutup adalah pembangkit-pembangkit yang terletak di Pulau Jawa. Ketiga, PLN turut mempertimbangkan umur, fungsi dan keandalan dari PLTU di Pulau Jawa tersebut, misalnya pembangkit yang memasok listrik untuk lokasi dengan permintaan tertinggi, seperti kawasan industri atau DKI Jakarta akan dikesampingkan dalam program ini sementara waktu.

“Kalau PLTU-nya ada di Jawa Tengah dan di sisi selatan terlalu jauh untuk memasok ke Jakarta atau Semarang, misalnya, itu yang diutamakan untuk dipensiunkan,” kata Herry.

Baca juga: Ekspor Batu Bara ke China dan India Terancam Menyusut

Terakhir, dia menggarisbawahi, kriteria PLTU yang turut diprioritaskan untuk dipadamkan akan dihitung berdasarkan keandalan pasokan. PLTU yang memasok transmisi dengan tegangan ekstra tinggi 500kV bakal diutamakan untuk dipensiunkan ketimbang pasokan transmisi 150 kV.

“Empat saringan [kriteria] itu yang akan menjadi mekanisme penyelesaian retirement PLTU. Nantinya akan dipilih mana yang paling tua untuk paling dipercepat pensiunannya,” tuturnya.

Baca juga: Rekam Jejak Sumitomo di Proyek Pembangkit Listrik Indonesia

Sebagaimana diketahui, Perpres Nomor 112/2022 secara jelas telah mengamanatkan untuk membuat peta jalan (roadmap) terkait dengan percepatan pengakhiran operasional PLTU, baik milik PLN sendiri maupun yang berkontrak jual beli dengan pengembang listrik swasta. 

Hal itu merupakan upaya pemerintah untuk menuju ke arah transisi energi dan mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060.

Namun, tak bisa dimungkiri kebijakan pemerintah yang resmi melarang pembangunan baru PLTU batu bara menjadi dilematis, terutama bagi PLN. Kendati perusahaan listrik pelat merah itu telah menyusun timeline untuk mengistirahatkan sejumlah PLTU batu bara sesuai dengan umur teknis dan umur ekonomis pembangkit, tetap saja program penghentian seluruh PLTU hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan.

Terlebih, ada konsekuensi yang harus ditanggung dengan penghentian seluruh PLTU hingga 2050, mengingat sejumlah proyek sudah dicanangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021—2030, seperti megaproyek 35.000 MW. 

Baca juga: Fakta Krisis Energi di Jerman: Cuaca Dingin, Gas Kian Menipis

Selain itu, juga ada investasi yang harus dibayarkan untuk memuluskan kebijakan tersebut. Untuk mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional, setidaknya dibutuhkan investasi sebesar US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun (dengan kurs Rp14.890). 

Kebijakan itu juga diambil untuk mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik yang andil pada sejumlah sikap mendua PLN pada inisiatif hijau yang dimulai swasta.

Baca juga: Tatkala PLN Kelebihan Suplai Listrik, Siapa Untung Siapa Buntung

Sementara itu, untuk penghentian seluruh PLTU hingga 2050, Center for Global Sustainability University of Maryland memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara dengan Rp475,4 triliun (asumsi kurs Rp14.810). 

Di sisi lain, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara dengan Rp17.772 triliun hingga 2050 mendatang.


Sementara itu, menurut PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), mobilisasi pembiayaan untuk mendanai program pensiun dini PLTU batu bara masih sulit dilakukan, mengingat pembiayaan pada program itu dinilai terlalu berisiko bagi kreditur lantaran belum masuknya pensiun dini PLTU ke dalam taksonomi pembiayaan transisi energi.

“Tantangan dari pensiun dini PLTU dari perspektif pendanaan adalah lender potensial selalu melihat program ini terlalu riskan karena eksposur yang tinggi pada batu bara,” kata Direktur Pembiayaan dan Investasi SMI Sylvi Juniarty Gani, Senin (10/10/2022).

Baca juga: Menyongsong Era Jual Beli Karbon PLTU Batu Bara

Absennya pensiun dini dalam taksonomi hijau itu, kata Sylvi, belakangan ikut menyulitkan pemerintah untuk menarik pendanaan dari bank komersial untuk mempercepat program transisi energi.

Kendati demikian, dia mengatakan, pemerintah tengah mendorong program pensiun dini PLTU batu bara itu dapat disisipkan ke dalam taksonomi hijau pada KTT COP 27 di Mesir awal November nanti. 

Baca juga: Ironi di Negeri Kaya Sumber Energi, Surplus Gas tetapi Impor

Dia berharap langkah itu dapat memudahkan pendanaan awal untuk melakukan pensiun dini pembangkit berbasis energi fosil tersebut. “Kita berharap pada COP 27 nanti sejumlah aliansi multilateral akan mengajukan konsensus untuk memasukkan pensiun dini PLTU sebagai taksonomi transisi energi, untuk menggalakkan pendanaan,” tuturnya.

Yang jelas, pemerintah sudah memiliki rencana untuk menyetop operasional PLTU yang telah mencapai masa kontrak 30 tahun guna mendukung program energi bersih.


Pada tahun ini pemerintah bakal menyetop operasional tiga unit PLTU batu bara yang telah beroperasi selama lebih 30 tahun. Total ada 33 PLTU dengan kapasitas 16,8 GW yang telah beroperasi selama tiga dekade. (Nyoman Ary Wahyudi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.