Potensi Besar Pertumbuhan Inovasi Layanan Perbankan Digital

Seiring dengan meningkatnya inovasi digital bank atau neobank, kini sudah mulai banyak perusahaan dan bank yang memanfaatkan sistem pembayaran yang telah terintegrasi dengan teknologi dan digitalisasi.

Rika Anggraeni

20 Nov 2021 - 15.11
A-
A+
Potensi Besar Pertumbuhan Inovasi Layanan Perbankan Digital

Karyawati beraktivitas di sekitar logo Bank Neo Commerce di Jakarta, Kamis (19/4/2021). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis, JAKARTA –Meningkatnya inovasi digital di seputar layanan keuangan perbankan telah membuka horizon peluang baru di industri jasa keuangan.

Masih banyak potensi bentuk-bentuk layanan baru perbankan yang bakal berkembang di masa depan, seiring dengan makin banyaknya bank yang mengadopsi teknologi digital. Ini menjadi fenomena baru yang tengah trending saat ini.

Bank digital atau neobank merupakan perusahaan bank yang tidak memiliki kantor fisik sama sekali, tetapi eksis sepenuhnya secara online. Neobank merupakan bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha secara digital (fully digital), tanpa kantor fisik.

Sebuah riset pada Desember 2020 menemukan, terdapat 250 neobank di seluruh dunia. Selain itu, pasar neobank secara global bernilai sebesar US$18,6 miliar pada 2018 dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun gabungan sekitar 46,5 persen antara 2019 sampai dengan 2026 dengan estimasi sebesar US$395 miliar untuk neobank.

Wakil Ketua Umum III Aftech sekaligus CEO Aladin Technologies Indonesia Harianto Gunawan mengatakan, neobank melakukan tugas seperti menyetorkan cek atau melakukan pembayaran peer-to-peer secara online serta tanpa biaya yang berlebihan.

“Ini adalah suatu hal yang akan menjadi kelebihan sifat gesit dari neobank, khususnya untuk mengandalkan proses serba digital memudahkan konsumen untuk melakukan transaksi keuangan,” kata Harianto dalam diskusi virtual Fintech Talk, Jumat (19/11).

Riset DailySocial pada 2021 mengungkapkan bahwa 44 persen dari 250 bank papan atas di Asia Pasifik telah melakukan sosialisasi pelayanannya. Sementara itu, penelitian juga memperkirakan bahwa 63 persen nasabah bank di kawasan Asia Pasifik akan menggunakan layanan pada 2025.

“Khususnya untuk Indonesia, peningkatan jangkauan internet serta telepon seluler pada penduduk akan mendorong peningkatan neobank di Indonesia,” ujarnya.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh INDEF pada 2020 menemukan bahwa 40 dari total 110 bank di Tanah Air berpotensi menghasilkan atau menjadi neobank di masa depan karena pencapaian digitalisasi.

“Dengan meningkatnya permintaan dari Indonesia untuk layanan digital tersebut, kita prediksikan akan semakin banyaknya para pemain pelaku pasar, khususnya yang nanti akan bergerak di bidang digital perbankan,” imbuhnya.

Harianto menambahkan bahwa neobank sendiri seperti halnya inovasi-inovasi lain di Tanah Air yang akan menemukan titik keberhasilan dan tantangan dalam perjalanannya menuju suatu market.

Kepala Departemen Riset Sektor Jasa Keuangan OJK Inka Yusgiantoro mengatakan landasan hukum yang ada saat ini belum memuat kategori khusus untuk neobank.

Adapun landasan hukum yang dimaksud adalah Undang-undang No. 7/1992 tentang Perbankan, yang diperbaharui dengan Undang-undang No. 10/1998, dan juga POJK No.12/2021 tentang Bank Umum.

“Tentunya yang diharapkan ke depan dengan keberadaan ini akan menyasar kepada nasabah yang cenderung paham dengan menggunakan teknologi yang biasa melakukan pengelolaan keuangan rumah tangga melalui aplikasi seluler,” ucap Inka.

EKOSISTEM JADI KUNCI PEMBEDA

CEO Bank Raya Kaspar Situmorang menyampaikan terdapat kunci pembeda antara bank konvensional dengan bank digital yakni mengacu pada ekosistem.

“Karena, mulai dari bisnis model dan bisnis prosesnya agak berbeda dengan bank konvensional ritel lainnya. Sehingga, penguasaan terhadap ekosistem yang spesifik sangat menentukan,” kata Kaspar.

Melihat beberapa market seperti Amerika, Eropa, dan Asia, khususnya di Asia Pasifik, menurut Kaspar, hanya di Asia Pasifik bank digital sudah mulai berhasil mencetak keuntungan sejak 2 hingga 3 tahun lalu.

Keberhasilan ini diraih karena penguasaan terhadap ekosistem yang spesifik memberikan nilai yang baik, sehingga bermuara kepada profitabilitas.

Untuk menghasilkan profitabilitas bagi bank digital seperti kawasan Asia Pasifik, kata Kaspar, Indonesia memiliki tantangan yang besar sebab merupakan salah satu negara dengan biaya akuisisi pengguna atau customer acquisition cost (CAC) yang paling terbesar di dunia.

“Kata kuncinya untuk mendapatkan profitabilitas yang baik dan konsisten, menurut kami adalah customer acquisition cost [CAC] harus lebih rendah daripada customer lifetime value (CLTV),” terangnya.

Sementara itu, untuk mendapatkan CAC yang lebih rendah daripada CLTV, perbankan harus memiliki ekosistem yang spesifik, di mana dapat on-boarding ke semua layanan.

Dengan demikian, akan menghasilkan profitabilitas yang tinggi dibandingkan dengan bank-bank konvensional lainnya yang memiliki CAC tinggi.

“Dengan bersinerginya antara ekosistem teknologi yang spesifik dengan bank yang mempunyai layanan, inilah yang menjadi keunggulan-keunggulan baru bagi industri perbankan yang kita cintai ini,” paparnya.

Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi melihat, kehadiran digital bank akan lebih memperkuat ekosistem digital financial services di Tanah Air. Jika dilihat dari sisi fintech, terutama fintech lending, Adrian melihat adanya dua keuntungan dari adanya digital bank atau neobank.

Pertama, memperkuat ekosistem sekaligus meningkatkan kompetisi. Menurut Adrian, kehadiran bank digital bakal meningkatkan kompetisi bagi pelaku perusahaan teknologi. Namun, hal ini akan mendorong pertumbuhan dan inovasi terjadi lebih cepat.

“Sehingga, sebagai sebuah perusahaan teknologi kita juga harus selalu bisa adaptasi, inovasi, dan langkah atau strategi yang diterapkan agar bisa terus tumbuh berdampingan,” katanya.

Kedua, adanya kolaborasi. Adrian mengatakan bahwa bank digital akan mendorong lebih bnayak kolaborasi di antara pelaku bisnis sehingga menjadikan layanan untuk konsumen lebih seamless.

“Karena, basic infrastructure dari sebuah digital bank itu teknologinya juga harusnya cukup open dan ini membuat kolaborasi akan semakin seamless antara fintech dengan industri perbankan, khususnya perbankan digital,” ucapnya.

Di samping itu, lanjut Adrian, kehadiran neobank digital bank akan melengkapi ekosistem digital financial services yang tidak lain tujuannya adalah Indonesia mengakselerasi inklusi keuangan.

“Harapannya tidak hanya dari sisi segmen konsumer atau ritel, tetapi juga UKM atau small business. Kehadiran digital bank ini bisa juga membantu proses digitalisasi dari bisnis UMKM di Indonesia,” harapnya.

RISET KESIAPAN KONSUMEN INDONESIA

Sementara itu, Associate Partner McKinsey & Company Eric Buntoro melakukan sebuah survei di beberapa kota besar di Indonesia, di mana terdapat lebih dari 1.000 responden dengan pendapatan, profil, dan latar belakang yang berbeda-beda.

Menariknya, Eric melaporkan bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat siap untuk pelayanan financial service berbasis digital. Berdasarkan survei tersebut, aktivitas mobile banking atau online banking mengalami pertumbuhan yang pesat, yakni pada 2017 sekitar 57 persen dan sekitar 78 persen pada 2021.

“Jadi, active digital banking user atau orang yang menggunakan digital banking, baik online atau mobile, minimal satu kali dalam sebulan di Indonesia sudah di kisaran 80 persen,” lapornya.

Selain itu, dari sisi pertumbuhan fintech dan dompet digital (e-wallet) juga tumbuh jauh lebih pesat. Eric menyebut, pada 2017 penetrasi fintech hanya sekitar 5 persen, sedangkan saat ini sudah hampir 50 persen.

Kendati demikian, terdapat perubahan yang paling besar karena permintaan perubahan terhadap akses. Menurut Eric, masyarakat yang sebelumnya susah mendapatkan akses produk, kini dengan lebih mudah bisa mendapatkan produk tersebut.

Adapun, saat responden ditanyakan ketersediaannya untuk membeli produk secara online. Eric mengatakan, untuk semua produk keuangan, termasuk asuransi, dari sisi konsumen menyatakan 60 hingga 80 persen menyatakan siap untuk membeli produk online.

“Tetapi ketika kita menanyakan apakah Anda sudah membeli produk ini secara online selama 2 tahun terakhir? Angka itu langsung drop hanya sekitar 15 sampai 30 persen,” imbuhnya.

Berdasarkan pemahamannya, meskipun konsumen sudah siap, pihak-pihak penyedia jasa atau produk belum siap.

“Otomatis ini ada kaitannya dengan dari sisi regulasi yang memastikan bahwa memang dari sisi regulasi juga siap dan para pelaku pasar juga bisa menunjukkannya dengan baik tetapi yang kalau dari sisi kesiapan konsumen saya sudah sangat siap,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.