PPh Bunga Obligasi Dipangkas, RD Terproteksi Paling Terdampak

Jenis reksa dana terproteksi dinilai paling terpengaruh akibat dari pemberian keringanan pajak penghasilan (PPh) bunga obligasi untuk investor.

Lorenzo Anugrah Mahardhika & Ika Fatma Ramadhansari

9 Sep 2021 - 19.20
A-
A+
PPh Bunga Obligasi Dipangkas, RD Terproteksi Paling Terdampak

ilustrasi investasi reksa dana

Bisnis, JAKARTA — Penurunan pajak penghasilan (PPh) atas bunga obligasi yang diberikan pemerintah kepada investor domestik dari 15% menjadi 10% akan berdampak signifikan pada penurunan daya tarik reksa dana terproteksi ketimbang jenis reksa dana lainnya.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengungkapkan daya tarik reksa dana terproteksi akan berkurang untuk investor institusi sehingga reksa dana terproteksi hanya mengandalkan investor ritel.

“Yang paling terpengaruh adalah reksa dana terproteksi karena bagi investor institusi jadi tidak ada insentif pajaknya lagi. Terlihat di tahun ini memang dana kelolaan reksa dana terproteksi terus menurun,” kata Wawan kepada Bisnis, Kamis (9/9).

Wawan menjelaskan bahwa bagi investor institusi seperti asuransi, memiliki obligasi melalui reksa dana terproteksi selama ini  lebih menarik sebab biaya pajaknya hingga tahun lalu hanya 5%.

Namun, mulai tahun ini pajak obligasi di reksa dana menjadi 10%, sedangkan insentif PPh bunga obligasi untuk investor justru turun dari 15% menjadi 10%.

Dengan demikian, ungkap Wawan, investor institusi akhirnya akan lebih tertarik untuk mengelola obligasi sendiri daripada menggunakan reksa dana, sebab pada reksa dana mereka akan tertekan management fee.

Reksa dana terproteksi pun, ungkap Wawan, saat ini hanya menarik untuk investor ritel. Hal tersebut dikarenakan minimal pembelian obligasi di luar reksa dana terkecuali obligasi ritel Indonesia (ORI) adalah Rp1 miliar.

“Jadi, kalau uang saya di bawah Rp1 miliar dan menginginkan kinerja setara obligasi bisa lewat reksa dana terproteksi,” kata Wawan.

Direktur Panin Asset Management Rudiyanto juga berpendapat sama lantaran insentif PPh bunga obligasi akan membuat sebagian investor memutuskan untuk berinvestasi langsung dan tidak menggunakan reksa dana.

Oleh karena itu, Rudiyanto menyebutkan adanya kemungkinan penurunan pada dana kelolaan atau asset under management (AUM). Namun, dia mengaku saat ini belum memiliki gambaran pasti penurunan AUM ini.

“Reksa dana terproteksi, pendapatan tetap, dan kemungkinan campuran yang investornya institusi [terkena dampak insentif PPh],” papar Rudiyanto.

Lebih lanjut, Rudiyanto menyebutkan untuk investor ritel atau perorangan insentif ini tidak akan memberikan dampak apapun karena tarif pajak obligasi reksa dana sudah lebih dahulu sebesar 10%.

BASIS INVESTOR

Meskipun insentif ini berpotensi menekan AUM, Direktur Avrist Asset Management Farash Farich mengatakan, insentif keringanan PPh bunga obligasi secara umum akan memperluas basis investor obligasi pemerintah.

Hal tersebut justru akan berdampak positif pada stabilitas valuasi instrumen dan reksa dana pendapatan tetap.

“Perluasan ini akan membuat harga tidak mudah bergerak terlalu fluktuatif karena faktor non-fundamental,” jelasnya, Kamis (9/9).

Ia melanjutkan, investasi melalui reksa dana pendapatan tetap juga akan memudahkan investor mendapatkan insentif ini.

Farash memaparkan, investor dapat berinvestasi di obligasi pemerintah dengan jumlah investasi tidak besar, tetapi dengan biaya transaksi yang rendah. Menurutnya, insentif ini akan sulit diperoleh bila investor membeli SBN secara langsung.

Ke depannya, Farash mengatakan Avrist AM akan tetap mencari SBN yang menarik sesuai dengan profil produknya. Sejauh ini, Avrist AM masih melihat permintaan yang cukup tinggi dari investor untuk instrumen berbasis obligasi pemerintah.

Selain itu, pihaknya juga akan memberikan nilai tambah yang dapat diberikan kepada investor antara lain dari kinerja investasi yang lebih baik, manajemen risiko pasar dan risiko likuiditas.

“Kemudian, pilihan strategi seperti short atau long duration juga kami berikan kepada investor,” pungkasnya.

Direktur Utama PT Trimegah Asset Management Antony Dirga sepakat bahwa pemangkasan tariff PPh bunga obligasi untuk investor domestik tentu bakal berdampak pada tekanan AUM dalam jangka pendek. Kendati demikian, menurutnya kebijakan akan baik manfaatnya untuk jangka panjang.

 “Menurut kami, hilangnya tax break ini sebenarnya sehat untuk industri reksa dana dalam jangka panjang. Namun, dalam jangka pendek hilangnya tax break ini akan menyebabkan reksa dana obligasi kehilangan competitive advantage-nya,” ungkap Antony.

Menurutnya relaksasi PPh bunga obligasi dari 15% menjadi 10% tersebut dapat mengakibatkan redemption yang besar dari reksadana obligasi dan menyebabkan turunnya dana kelolaan atau AUM reksa dana di Tanah Air.

Jika diurutkan, ungkap Antony, salah satu dampak terbesar relaksasi PPh tersebut ke pasar obligasi adalah perpindahan tangan pemilik obligasi dari perbankan dan reksadana ke investor ritel ataupun institusi lainnya.

Besar kemungkinan, lanjut Antony, dalam jangka pendek net additional demand yang real sebenarnya terbatas. Di mana investor mengalihkan uang yang sebelumnya diperuntukkan untuk konsumsi atau kebutuhan lainnya menjadi investasi obligasi akibat adanya relaksasi ini.

Net additional demand yang real, ungkapnya, lebih didorong oleh pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk.

“Karena net additional demand yang terbatas dan relaksasi ini hanya memicu perpindahan kepemilikan, dampak terhadap pasar obligasi menurut kami adalah netral,” lanjut Antony.

Kendati demikian, untuk jangka panjang menurutnya tentu saja perluasan partisipasi kepemilikan obligasi akan berdampak positif untuk negara. Semakin besar kepemilikan SBN oleh investor ritel dan institusi dalam negeri tentunya mengurangi ketergantungan pada investor asing.

Namun, Antony mengingatkan bahwa meluasnya partisipasi investor ritel tersebut juga harus disertai pengawalan atau edukasi yang baik terhadap investor-investor baru.

“Investor-investor baru ini harus mengerti resiko dalam berinvestasi pada obligasi, salah satunya tolak ukur durasi atau sensitivitas harga obligasi terhadap pergerakan suku bunga,” ujar Antony.

Dia mengungkapkan bahwa investor ritel tentu memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai investasi obligasi dibandingkan dengan investor perbankan ataupun reksa dana yang sebelumnya biasa berinvestasi pada obligasi.

Antony mengatakan kurangnya edukasi untuk para investor ritel sebelumnya pernah mengakibatkan krisis di pasar obligasi di tahun 2005. Oleh karena itu, agar kejadian tersebut tidak berulang dia menegaskan pentingnya edukasi terhadap investor-investor baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.