PPN 11% per 2022, Peritel Waswas Konsumsi Festive Season Anjlok

Pelaku industri ritel modern memperkirakan kenaikan PPN menjadi 11% bakal memengaruhi konsumsi rumah tangga. Terutama, jika melihat awal penerapannya yang jatuh pada momentum Ramadan dan Idulfitri 2022.

Iim Fathimah Timorria

7 Okt 2021 - 17.03
A-
A+
PPN 11% per 2022, Peritel Waswas Konsumsi Festive Season Anjlok

Gerai Matahari Department Store./Bisnis

Bisnis, JAKARTA — Per kuartal II/2022, pemerintah akan mematok pajak pertambahan dengan besaran tetap yaitu 11%, tanpa ada skema multitarif. Aturan dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang baru disahkan ini pun bakal berdampak langsung pada industri ritel modern.

Ketentuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang baru sebesar 11% akan diimplementasikan secara bertahap mulai 1 April 2022 dan naik menjadi 12% pada 2025.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly—yang mewakili pemerintah dalam rapat paripurna pengesahan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada Kamis (7/10/2021)—mengatakan penerapan tarif telah mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan situasi terkini.

Terlepas dari pernyataan tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey tetap mengharapkan ada penyesuaian dalam aturan teknis undang-undang terbaru itu.

Meski kenaikan tidak besar, dia mengatakan sentimen yang mengemuka dan dampaknya terhadap industri perdagangan eceran bisa sangat masif mengingat PPN menjangkau berbagai sektor.

"Karena itu kami berharap di petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis lewat peraturan menteri atau aturan lainnya bisa tetap mempertimbangkan perkembangan ekonomi. Meski berangsur membaik, pemulihan berjalan tidak serta-merta," kata Roy, Kamis (7/10/2021).

Selain itu, dia memperkirakan kenaikan PPN menjadi 11% bakal memengaruhi konsumsi rumah tangga. Terutama, jika melihat awal penerapannya yang jatuh pada momentum Ramadan dan Idulfitri 2022. Kenaikan ini berpotensi memicu inflasi akibat kenaikan harga dan permintaan.

"Karena ekonomi pulih perlahan, terutama di ritel, kami khawatir konsumsi rumah tangga akan tergerus," imbuhnya.

Namun, pelaku usaha turut mengapresiasi keputusan pemerintah dan badan legislatif untuk tak meloloskan usulan pemberlakuan multitarif di rentang 5%—15%.

Usulan ini sempat disepakati dalam pembahasan tingkat pertama di Komisi XI DPR. Namun, usulan kebijakan tersebut akhirnya berubah dalam keputusan akhir saat rapat paripurna.

KINERJA RITEL

Terkait dengan kinerja industri ritel modern, Roy sebelumnya menjabarkan, menurut catatan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), pada tahun kedua pandemi Covid-19 di Indonesia diperkirakan lebih dari 1.500 gerai ritel modern tutup secara permanen. 

Dia mengatakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menjadi batu sandungan bagi ritel modern yang perlahan mulai memperbaiki kinerja setelah tertekan pada 2020.

Dia mengatakan pada tahun terdapat sekitar 1.300 ritel modern yang mencakup toko swalayan, toko kelontong (minimarket), hypermarket, dan toserba (department store) yang menutup operasional.

“Tahun lalu, sekitar 1.300 toko yang tutup. Sementara itu, pada tiga bulan pertama ada 88 gerai yang tutup. Jika ditambah dengan dua bulan di kuartal selanjutnya kami perkirakan total bertambah 200 sepanjang 2021,” ujar Roy.

Roy mengatakan kerugian dari penutupan gerai bisa sangat signifikan jika merujuk pada nilai investasi pada setiap gerai.

Dia menuturkan bahwa rata-rata nilai investasi untuk satu gerai toko kelontong berada di kisaran Rp400 juta—Rp500 juta.

Sementara itu, untuk supermarket dan hypermarket berada di kisaran Rp20 miliar—Rp35 miliar yang mencakup gedung dan barang yang diperdagangkan.

“Pasar ritel modern Indonesia sejatinya sangat besar. Kalau sampai terdampak, begitu besar multiplier effect-nya. Jika ritel mati, mau di kemanakan produk makanan minuman yang dihasilkan industri?” kata dia.

Akan tetapi, dalam dua bulan terakhir geliat ekspansi perusahaan ritel modern mulai kembali berdetak seiring dengan dilonggarkannya aktivitas ekonomi oleh pemerintah.

Berlanjutnya pembukaan gerai-gerai baru ritel modern dinilai sebagai cerminan optimisme dunia usaha pada kondisi perekonomian. Kehadiran toko fisik baru juga menjadi upaya untuk mengamankan momentum kenaikan konsumsi tahun depan.

“Dengan dibukanya mal dan tempat belanja secara bertahap dengan level, dunia usaha terutama ritel terdampak. Meski masih ada beberapa pembatasan, pengusaha yakin ke depan akan direlaksasi lebih lanjut,” kata  Staf Ahli Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Yongky Susilo.

Yongky mengatakan kebijakan selama penanganan pandemi tersebut memberi sentimen bagi pengusaha ritel untuk melanjutkan investasi dan melanjutkan rencana bisnis lama yang tertunda, termasuk membuka gerai baru.

Hal ini sekaligus sebagai persiapan untuk menghadapi akhir tahun dan festive season pada semester I/2022.

“Ekonomi akan jump start pada awal 2022 dan puncaknya pada Lebaran. Namun, pelaku usaha harus belajar dari Lebaran 2021 yang saat itu diikuti dengan ledakan Covid-91,” imbuhnya.

Dia juga menuturkan bahwa ekspansi gerai merupakan cara bagi perusahaan untuk terus tumbuh. 

Di sisi lain, potensi konsumsi masyarakat Indonesia cukup besar dengan kehadiran kelas menengahnya.

“Karena itu inovasi produk dan layanan harus naik karena sasarannya akan lebih demanding ke depan,” kata dia.

Dia memberi catatan soal pentingnya digitalisasi yang lebih terukur, tak hanya sebatas aksi reaktif menghadapi pembatasan mobilitas selama pandemi.

“Kebanyakan berpendapat Covid-19 mengubah perilaku konsumen ke digital, tetapi tidak semudah itu. Belanja offline tetap akan dipilih karena mereka tidak diberikan kemudahan dari adopsi digital. Karena itu inovasi di toko fisik tidak bisa dikesampingkan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.