Preseden Bukalapak (BUKA) & Cederanya Optimisme IPO Unikorn

Rentetan kasus auto reject bawah (ARB) terhadap saham BUKA dituding sebagai pembuktian ekosistem startup di Indonesia belum cukup solid untuk bertarung di pasar efek. Lantas, bagaimana dengan sentimen unikorn lain yang akan menyusul langkah IPO Bukalapak?

23 Agt 2021 - 21.02
A-
A+
Preseden Bukalapak (BUKA) & Cederanya Optimisme IPO Unikorn

Ilustrasi Bukalapak, salah satu marketplace di Indonesia

Bisnis, JAKARTA — Rentetan auto reject bawah terhadap saham PT Bukalapak.com Tbk. menjadi preseden buruk terhadap industri startup, yang kini berbalik dinilai belum siap melantai di bursa efek.

Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura berpendapat ekosistem perusahaan rintisan (startup) di Indonesia belum cukup tangguh untuk melaju ke putaran penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO).

Menurutnya, mayoritas perusahaan rintisan di Tanah Air masih melakukan praktik bakar uang terhadap dana yang diperoleh dari pemodal guna mengejar valuasi besar supaya terlihat seksi di mata investor.

“Terutama perusahaan yang secara bisnis belum profit. Karena selama ini mereka bertahan karena investor yang terus menyuntikkan dana. Kebiasaan ini berbahaya jika terus dibawa sampai ke level IPO,” ujarnya, Senin (23/8/2021).

Lebih lanjut, Tesar mengatakan kasus lain yang merefleksikan ketidaksiapan startup RI melantai di bursa adalah kasus saham PT Bukalapak.com (BUKA) yang dalam beberapa waktu ke belakang terus mengalami kontraksi hingga menyentuh level auto reject bawah (ARB).

Dia meyakini perusahaan berbasis digital semestinya memiliki penanganan berbeda untuk melantai di bursa karena mayoritas asetnya tidak berwujud (intangible).

Dia berharap ke depan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa mengkaji ulang perusahaan rintisan yang akan melantai di pasar saham; khususnya melihat pendapatan perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) yang minimal positif dalam kurun dua hingga tiga tahun ke belakang.

“Meskipun valuasinya tidak terpaut tinggi, jika prospeknya baik seharusnya ini yang didorong untuk IPO. Bahkan, centaur yang keuangannya lebih terjaga lebih punya hak IPO dibandingkan dengan unikorn yang tengah merugi,” katanya.

Dia khawatir, ke depan pergerakan saham BUKA yang beberapa kali mencatatkan ARB akan berdampak keras pada perusahaan lain yang berencana mencatatkan penawaran perdana lantaran masyarakat telah hilang kepercayaan.

Tesar menyebut saat ini merupakan momentum baik bagi BEI untuk meminimalisir kasus serupa bagi perusahaan rintisan selanjutnya yang akan melantai di bursa.

“Sebaiknya, dikaji ulang jangan terlalu dimudahkan perusahaan teknologi untuk masuk bursa. Perketat saja. Potensi perusahaan digital baik, tetapi jangan terbawa arus,” katanya.

Sekadar informasi, Bukalapak menjadi startup unikorn Indonesia pertama yang melepas sahamnya ke publik.

Emiten berkode BUKA itu meraup dana Rp 21,9 triliun. Angka itu berasal dari jumlah penjualan 25,76 miliar saham baru dengan harga Rp 850 per saham.

Namun, beberapa waktu ke belakang, BUKA mencuri perhatian karena beberapa kali tercatat ARV.

Adapun, sejak awal IPO, saham BUKA hanya menghijau dua kali. Sementara itu, saham ini sudah 6 kali terkoreksi di mana 5 diantaranya merupakan ARB beruntun.

Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda juga memandang, dalam IPO perusahaan digital, akan ada fase hype teknologi di mana pada awal melantai, harganya akan terus meningkat. Namun, beberapa waktu kemudian akan flop.

“Itu terjadi di Lyft, Uber, dan Bukalapak di Indonesia. Masalahnya terdapat di keuangan perusahaan digital yang tidak begitu bagus dengan kinerja yang masih minus,” katanya.

Selain itu, Bukalapak juga dipandang akan sulit bersaing dengan Tokopedia dan Shopee sehingga respons ke depannya juga buruk.

Dengan demikian, Huda menilai opsi putaran pendanaan atau round investment lebih sesuai sebagai menjadi andalan utama unikorn mencari modal ketimbang IPO.

Menurutnya, opsi IPO makin diminati startup lantaran banyak yanh terpantik euforia peningkatan permintaan, terutama dari kalangan investor milenial.

Ke depan, Huda menilai, perusahaan digital yang berencana IPO harus bisa menjelaskan prospeknya dengan baik karena perusahaan digital menjual aset tidak berwujud (intangible asset) untuk mendukung masa depan.

“Jadi jualan masa depan harus bagus dengan data pendukung tentunya,” katanya.

TIDAK SURUT

Bagaimanapun, gairah IPO startup berstatus unikorn diramal tidak akan surut, meskipun sudah ada preseden saham Bukalapak yang beberapa kali mengalami ARB.

Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menjelaskan, kendati pergerakan harganya fluktuatif, saham BUKA nyatanya masih diminati oleh banyak investor sehingga menunjukkan saham tersebut mulai stabil.

“Kasus Bukalapak ini sangat case by case dari sisi dana yang digalang, besaran persentase, dan tipe investor yang dicari. Semua ini sangat berpengaruh terhadap pergerakan harga saham setelah IPO, tetapi sekarang ini justru mulai memperlihatkan arah stabil,” katanya.

Tidak hanya itu, dia menilai untuk prospek jangka panjang, Bukalapak masih potensial untuk dikoleksi.

Hal ini mengingat saham-saham teknologi masih dipengaruhi sentimen positif ke depannya.

Penyebabnya, Bukalapak memiliki basis pasar yang sangat kuat, yaitu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Menurutnya, potensi UMKM ini bisa dimaksimalkan sehingga tercipta pasar baru di pinggiran Indonesia yang selama ini belum terjamah.

Edward melanjutkan, bila pelaku usaha kecil sudah melek teknologi dan masif untuk menuju digital, maka akan tercipta ekosistem baru yang cukup menjanjikan bagi masa depan perusahaan.

Dia pun berpendapat kasus yang terjadi pada Bukalapak tidak akan berimbas signifikan terhadap calon-calon startup yang valuasinya masih kecil dan memiliki rencana untuk melantai di bursa.

 “Strategi IPO sangat lekat dari masing-masing emiten dan partner sekuritas sebagai underwriter, dan masing-masing emiten dan sekuritas mempunyai strategi yang berbeda-beda. Prospeknya masih baik untuk pemain [startup] lain melakukan IPO,” ujarnya.

 Dia menambahkan daya tarik calon-calon emiten yang valuasinya tidak setinggi perusahaan startup tetap akan memiliki peminat yang tinggi.

Meski demikian, perusahaan juga harus mampu menetapkan harga (pricing) yang optimal serta rencana bisnis yang komprehensif untuk dapat menarik minat para investor.

CONTOH KASUS

Di sisi lain, sebagian kalangan masih percaya startup berstatus unikorn lebih siap melakukan IPO dengan melihat Bukalapak sebagai contoh kasus.

Vice President of Investments MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai, merupakan hal wajar apabila masyarakat pesimistis melihat pergerakan saham BUKA beberapa waktu ke belakang.

“Ini masa transisi karena orang belum terbiasa investasi ke perusahaan unikorn teknologi yang memang masih naik turun. Namun, ke depan jangka panjang masih lebih baik,” ujarnya.

Jika melihat lebih jauh pada kasus Bukalapak, sambungnya, kontraksi saham lebih dipicu oleh investor berbasis ritel yang bukan main buyer yang melakukan penjualan saham secara besar sehingga hal tersebut membuat adanya gerakan panic selling di tengah investor.

Namun, Aldi justru melihat kejadian tersebut sebagai cikal bakal kesiapan perusahaan rintisan di Indonesia menjadi lebih matang untuk melantai di bursa.

Sebab, pemain akan lebih konservatif untuk memberikan tingkat rata-rata pertumbuhan bisnis, margin, valuasi perusahaan.

“Ke depan, mereka [startup] akan lebih seimbang, tidak sekadar mengikuti gaya bursa Amerika Serikat yang berfokus terlalu growth-rate factory, tidak bermasalah apabila belum profit, atau profitabilitasnya belum jelas. Mereka akan lebih matang,” katanya.

Direktur Utama PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) Rachmat Kaimuddin dan Komisaris Utama Bukalapak Bambang P.S. Brodjonegoro menunjukkan sertifikat pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia, Jumat (6/8/2021)/Istimewa

Tidak hanya itu, Aldi meyakini meskipun perusahaan unikorn selanjutnya akan memilih harga yang agresif untuk ditujukan ke pasar, mereka akan memberikan dukungan data akan pertumbuhan bisnis yang terjaga dan narasi bisnis yang lebih terpantau sehingga investor dan masyarakat lebih percaya.

Dia mengimbau, agar masyarakat ke depan juga tidak melihat IPO sebagai exit strategy dari perusahaan rintisan, tetapi merupakan tonggak pencapaian dan opsi untuk menghimpun dana tambahan untuk keberlangsungan perusahaan sehingga terbangun katalis positif antara kedua pihak.

Selanjutnya, dia menyarankan agar perusahaan rintisan lebih mempersiapkan diri sebelum melantai di bursa.

Hal ini dikarenakan banyak opsi untuk menghimpun dana selain IPO, seperti lewat round investment dari para pemodal ventura yang populer untuk perusahaan rintisan.

“Bisa juga ikut akselerator, inkubator untuk pendampingan, cari pendanaan dan pendampingan untuk kesuksesan mereka. Bisa juga akuisisi dan merger,” katanya.

Lebih lanjut, Aldi melihat untuk jangka menengah dan panjang, gairah perusahaan rintisan untuk melantai di bursa saham masih terjaga.

Bahkan, masyarakat masih wait and see melihat pergerakan saham dari perusahaan rintisan dengan status unikorn sehingga masih potensial untuk pemain lain untuk bergabung di bursa saham Indonesia.

“Bukalapak menjadi contoh untuk melancarkan strategi untuk meminimalisir kesalahan dan ke depan perusahaan akan makin happening,” tuturnya.

Reporter : Akbar Evandio

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.