Pro Kontra Izin Ekspor Pasir Laut Setelah 20 Tahun Disetop

Sejak masa Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut, telah menghentikan ekspor pasir laut.

Ibeth Nurbaiti

29 Mei 2023 - 17.25
A-
A+
Pro Kontra Izin Ekspor Pasir Laut Setelah 20 Tahun Disetop

Ilustrasi aktivitas kapal penambang pasir laut. Istimewa-Bisnis.com

Bisnis, JAKARTA — Keputusan pemerintah yang akhirnya membuka kembali keran ekspor pasir laut menuai pro dan kontra, mengingat selama hampir 20 tahun terakhir komoditas tambang yang masuk dalam golongan pertambangan mineral dan batu bara itu tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan ke luar negeri.

Sejak masa Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut, telah menghentikan ekspor pasir laut.

Alasan utama dilarangnya ekspor pasir laut karena aktivitas tersebut dinilai merusak lingkungan laut, seperti tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir laut.

Baca juga: AS Jawara PLTN Terbesar di Dunia, China Terbanyak Reaktor Nuklir

Alasan lainnya yang juga disebutkan dalam beleid tersebut adalah dengan belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura, maka dianggap perlu untuk menghentikan sementara ekspor pasir laut.

Terlebih, proyek reklamasi di Singapura ketika itu juga mendapatkan bahan baku pasir lautnya dari perairan Riau, selain dari Malaysia. Hal itu dikhawatirkan akan memengaruhi batas wilayah kedua negara.

Baca juga: Ambisi Besar Penghiliran di Pusaran Tambang Ilegal

“Dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir laut, serta belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura, maka dianggap perlu menghentikan sementara ekspor pasir laut guna penataan kembali pengusahaan dan ekspor pasir laut,” demikian isi poin ‘a’ Kepmenperindag tersebut.

Begitu pentingnya penataan kembali pengusahaan penambangan dan ekspor pasir laut, larangan ekspor yang ditegaskan dalam Pasal 2 Kepmen yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M. Sumarno Soewandi pada 28 Februari 2003 tersebut tidak hanya berlaku di wilayah Kepulauan Riau tetapi juga untuk seluruh wilayah Indonesia.

Kemudian, pemerintah melalui Peraturan Menperindag No. 02/M-DAG/PER/1/2007 kembali menegaskan larangan ekspor pasir laut, mengingat makin maraknya penambangan serta ekspor pasir ilegal.

Baca juga: Langkah Mantap Indonesia Mengebut Pengembangan Nuklir untuk PLTN

Aturan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada masa Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono pada 22 Januari 2007, bahkan juga melarang ekspor tanah dan top soil, termasuk tanah pucuk dan humus.

Namun, Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, tiba-tiba kemudian memperbolehkan kembali ekspor pasir laut meskipun dengan menetapkan sejumlah persyaratan.

Baca juga: Menghitung Sanksi Denda Keterlambatan Pembangunan Smelter

Sejumlah persyaratan bagi pelaku usaha yang diperbolehkan melakukan ekspor pasir laut, di antaranya menyangkut perizinan, syarat penambangan pasir laut, hingga ketentuan ekspor menyangkut bea keluar.

“Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut,” ujar mantan menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti dalam akun Twitter @susipudjiastuti, dikutip Senin (29/5/2023).

Susi mengkhawatirkan kerusakan lingkungan di Indonesia bisa makin parah jika kebijakan larangan ekspor pasir laut itu dicabut.

Namun, menurut Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak ekspor pasir laut dihentikan oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan pada 2003 lalu, kegiatan eksplorasi pasir laut sudah jauh berkurang. 

Pada akhir Januari 2022 dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan Komisi VII DPR RI, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin ketika itu memaparkan bahwa minimnya kegiatan reklamasi di dalam negeri berdampak pada banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) pasir laut yang tidak beroperasi.

Baca juga: Daftar Harga Patokan Ekspor Komoditas Pertambangan yang Kena BK

Dari 59 IUP yang ada, imbuhnya, hanya 12 IUP (eksplorasi) yang aktif berproduksi, sedangkan 33 IUP lainnya (operasi produksi) tidak beroperasi  dan 15 lainnya adalah wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).

“33 IUP tidak aktif beroperasi karena tidak ada pembeli serta minimnya kegiatan reklamasi. Sebelumnya ada untuk proyek pembangunan nasional di Utara Jakarta, termasuk reklamasi dan refinery di Tuban, Jawa Timur,” kata Ridwan ketika itu.

Baca juga: Pantang Mundur di Proyek Masela, RI Siap Adu Kuat dengan Shell

Adapun, tambang pasir laut yang di atas 12 mil laut tersebar di wilayah Riau, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau, Banten, dan Sulawesi Selatan.


Sebagai gambaran, salah satu ketentuan yang diatur dalam beleid anyar PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut adalah pemanfaatan pasir laut untuk ekspor. Aturan yang mulai berlaku sejak 15 Mei 2023 ini menetapkan bahwa hasil sedimentasi di laut yang bisa dimanfaatkan, yakni berupa pasir laut maupun material sedimen lain berupa lumpur.

Nantinya, material tersebut dapat dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan, salah satunya ekspor. “Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan/atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 26/2023, dikutip Senin (29/5/2023).

Baca juga: Babak Baru Larangan Ekspor Mineral dan Kewajiban Bangun Smelter

Terkait dengan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk ekspor, Jokowi mewajibkan para pengusaha untuk mendapatkan perizinan berusaha. Hal itu bertujuan untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

“Perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor diterbitkan setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri dan dikenakan bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Pasal 15 ayat (4).

Namun, pelaku usaha yang akan melakukan pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut wajib memiliki izin pemanfaatan pasir laut. Pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dilakukan melalui pengambilan, pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan/atau penjualan hasil sedimentasi di laut. 

Baca juga: Ironi Negeri Kaya Gas: Pasokan Melimpah, Impor LPG Jalan Terus

Penjualan pasir laut dapat dilakukan setelah pelaku usaha mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan. Izin tersebut dijamin penerbitannya oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batu bara atau gubernur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengunjuk rasa dari WALHI Bali memajang tulisan dalam aksi menolak alokasi ruang tambang pasir laut dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Bali (RZWP3K Bali) di Denpasar, Bali, Sabtu (12/9/2020). Aksi tersebut mendesak Gubernur dan DPRD Bali untuk menghapus alokasi ruang tambang pasir laut dalam RZWP3K yang dinilai memberi potensi rusaknya lima kawasan pantai di Bali dengan luas total 1.297,87 hektare. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo


Sementara itu dalam pengangkutan hasil sedimentasi di laut, pelaku usaha diwajibkan untuk melapor realisasi volume pengangkutan dan penempatan di tujuan pengangkutan, dan menerima petugas pemantau di atas kapal. 

Adapun, pelaku usaha yang melakukan pengangkutan hasil sedimentasi di laut wajib menggunakan kapal pengangkut. Kapal wajib menggunakan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia, tetapi bila tidak tersedia dapat menggunakan awak kapal berkewarganegaraan asing.

Dengan berlakunya aturan anyar ini, maka Keputusan Presiden No. 33/2022 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 61), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (Ni Luh Anggela)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.