Proyek Hotel Bintang 5 Melesat, tetapi Cuan Meleset

Perhotelan—khususnya segmen bintang lima—masih sulit keluar dari tekanan akibat pandemi. Anomalinya, jaringan hotel multinasional seperti Marriott, Hilton, InterContinental, Accor, dan Hyatt justru makin aktif menambah proyek baru dan jumlah kamar di tengah kelembaman bisnis akomodasi.

Rahmad Fauzan & Wike Dita Herlinda

30 Agt 2021 - 15.36
A-
A+
Proyek Hotel Bintang 5 Melesat, tetapi Cuan Meleset

Hotel Ritz Carlton Reserve di Ubud Bali/ritzcarlton.com

Bisnis, JAKARTA — Kendati Indonesia tercatat sebagai negara dengan proyek pengembangan hotel paling pesat di Asia Pasifik selama pandemi, iklim bisnis di sektor ini justru terus terjerembap. Tekanan paling berat dirasakan oleh segmen bintang lima.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan hotel bintang lima memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan segmen akomodasi lainnya, lantaran pangsa pasarnya relatif sempit.

"Jadi, belum tahu pasti strategi apa yang paling jitu bagi perhotelan di segmen ini karena masih menunggu membaiknya kondisi," ujar Hariyadi dalam konferensi pers daring, Senin (30/8/2021).

Dia menjabarkan pelaku bisnis hotel-hotel bintang lima saat ini pada umumnya menerapkan dua strategi dalam menghadapi kompetisi.

Pertama, menurunkan harga layanan. Kedua, mengecilkan kapasitas layanan kamar yang dijual.

Menurutnya, penurunan harga kamar yang dilakukan di sektor perhotelan memang sangat signifikan.

Pada momen peak season saja, PHRI mencatat harga rerata per kamar hotel masih di bawah 30%—40% dari harga rata-rata dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019.

Hal tersebut dilakukan oleh pelaku industri perhotelan nasional demi mengejar titik balik modal atau break even point (BEP) karena mereka masih berada di mode survival di tengah tingkat okupansi yang masih belum beranjak dari level 30%-an.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat okupansi hotel klasifikasi bintang di Indonesia pada Juni 2021 masih berada level 38,55%. Pada periode yang sama dua tahun lalu, tingkat okupansi hotel di Indonesia mencapai angka 52,27%.

Kendati demikian, Hariyadi menyebut hotel-hotel bintang lima memiliki keunikan yang bisa menjadi senjata dalam melewati masa pemulihan pandemi.

Hotel bintang lima, jelasnya, memiliki basis pelanggan yang berbeda dari segmen lain serta para konsumen loyal.

Di tengah kelesuan industri perhotelan nasional, Indonesia justru tercatat sebagai negara dengan proyek pengembangan bisnis akomodasi kelas bintang terbanyak di Asia Pasifik selain China.

Sejumlah jaringan hotel bintang lima multinasional juga aktif menambah proyek hotel di sejumlah negara. (Lihat infografik)

Anomali tersebut terungkap dalam laporan terbaru Lodging Econometrics bertajuk Global Hotel Construction Pipeline Trend Report, yang mengompilasi proyek pengembangan hotel dari negara-negara di berbagai kawasan di dunia.

Dari laporan tersebut, terpantau bahwa Indonesia merupakan negara dengan konstruksi pipeline perhotelan terbanyak per kuartal II/2021. Tercatat, negara ini memiliki 318 proyek hotel dengan total 51.197 kamar pada periode tersebut.

Dari sisi jumlah proyek, pengembangan hotel di Tanah Air melampaui India dengan 282 proyek, Vietnam 180 proyek, Thailand 135 proyek, dan Jepang 133 proyek.

Namun, dari sisi jumlah kamar dalam proyek-proyek tersebut, Vietnam mengungguli Indonesia dengan total 70.135 kamar. Sementara itu, pengembangan kamar hotel di India mencapai 37.617 unit, Thailand 32.135 kamar, serta Jepang 27.567 kamar.

Secara kumulatif,  kelima negara Asia Pasifik tersebut menguasai 62% pangsa pengembangan hotel di kawasan.

Di tingkat global, pipeline pengembangan hotel per kuartal II/2021 mencapai 13.420 proyek dengan total 2,53 juta kamar. Capaian tersebut menurun 9% dari sisi proyek dan 7% dari sisi kamar secara year on year (yoy).

Dari jumlah di pipeline tersebut, proyek yang sudah memulai konstruksi mencapai 6.197 proyek dengan 1,14 juta kamar. Capaian tersebut turun 10% dari sisi proyek dan 7% dari sisi kamar secara yoy.

Adapun, pengembangan perhotelan yang dijadwalkan mulai dalam 12 bulan ke depan mencapai 3.623 proyek dengan 527.392 kamar, melorot 21% dari sisi proyek dan 19% dari sisi kamar secara yoy.

Sementara itu, proyek yang sudah memasuki tahap awal pada kuartal II/2021 mencapai 3.600 proyek alias turun 8 proyek dibandingkan dengan kuartal terakhir 2019, alias periode pembangunan hotel tertinggi sepanjang sejarah.

Perhotelan menawarkan paket menginap dengan fasilitas tambahan gratis sarapan dan layanan laundry./Foto: Istimewa

KINERJA MEMBAIK

Dari sisi emiten perhotelan, PT Sahid Jaya International Tbk. optimistis tingkat hunian hotel yang perlahan pulih sepanjang semester I/2021 akan berlanjut hingga akhir tahun ini. 

Memasuki fase pemulihan pada semester II/2021, perusahaan telah menyiapkan sejumlah strategi dan target bisnis.

Wakil Direktur Utama perusahaan berkode saham SHID Ratri Sryantoro Wakeling mengatakan strategi disiapkan demi memulihkan profitabilitas, dengan mempertahankan EBITDA di atas 33% dan menutup pertumbuhan pendapatan tahun ini 51% lebih tinggi secara tahunan.

Perusahaan memiliki 4 strategi a.l. pertama, optimasi pendapatan melalui perluasan varian produk dan jasa di luar kamar, makanan dan minuman, pemanfaatan ruang di seluruh aset, kegiatan dan acara di ruang terbuka, serta berkolaborasi dengan pihak ketiga untuk formulasi produk dan jasa baru.

Kedua, digitalisasi dengan meningkatkan layanan perhotelan low contact yang dinilai memberikan kenyamanan dan kebersihan para tamu serta penggunaan aplikasi e-Concierge untuk meningkatkan pengalaman kostumer selama masa penginapan.

Ketiga, meningkatkan kualitas aset secara berkelanjutan melalui langkah renovasi, implementasi rencana pembaruan dan perbaikan properti, standardisasi desain dan interior, serta digitalisasi proses pemantauan aset.

Keempat, memulai langkah menuju zero net carbon dengan meningkatkan kontrol dan pemantauan konsumsi sumber daya, aktif mendorong operasi low carbon, melakukan transisi ke energi rendah emisi, serta menjelajahi offset bersertifikat.

"Perusahaan memperluas metrik utama dengan mencari solusi lain untuk mengoptimalkan utilitas dan menyesuaikan perkembangan permintaan pasar," ujar Ratri dalam konferensi pers daring RUPST Sahid Jaya, Senin (30/8/2021).

Perusahaan pun menargetkan okupansi kamar yang cukup signifikan. Pada penutupan tahun ini, Sahid menargetkan tingkat okupansi bisa mencapai 41%.

Tahun lalu, tingkat okupansi hotel hanya sebesar 20% dengan harga rerata kamar senilai Rp608.000. Terpaut 14% dari masa sebelum pandemi.

Sementara itu, PT Eastparc Hotel Tbk. berharap penurunan level Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah provinsi bisa memberikan pengaruh positif terhadap bisnis perusahaan pada masa mendatang.

Direktur Pemasaran Eastparc Hotel Wahyudi Eko Sutoro mengatakan diturunkannya tingkat ketetatan PPKM dari level 4 ke level 3 di empat wilayah aglomerasi besar Pulau Jawa-Bali diharapkan bisa menambah tingkat hunian kamar hotel perusahaan.

"Mudah-mudahan akan membawa dampak positif terhadap tingkat hunian kamar untuk  Eastparc Hotel," ujar Wahyudi saat dihubungi, belum lama ini.

Dia menjelaskan tingkat okupansi kamar hotel milik perusahaan dengan kode saham EAST tersebut mencapai sekitar 32% selama pemerintah menerapkan PPKM level 3—4 pada Juli 2021.

Dengan perkembangan kondisi penanganan Covid-19 yang cenderung membaik, sambungnya, diharapkan tingkat okupansi perusahaan bisa membaik.

Kendati demikian, dia menilai masih sulit untuk memprediksi berapa kenaikan yang bisa dialami.

"Sebab, semuanya sangat bergantung dengan kebijakan pemerintah pusat dan daerah," ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.