Bisnis, JAKARTA — Kebijakan pungutan ekspor dan bea keluar minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dinlai cukup efektif dalam mengendalikan anomali harga minyak goreng di dalam negeri pada paruh kedua tahun ini.
Kepala Subdirektorat Industri Hasil Perkebunan Nonpangan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Lila Harsyah Bakhtiar mengatakan dua kebijakan tarif itu berhasil menekan harga minyak goreng kendati CIF Rotterdam belakangan ini terkerek ke posisi US$1.375 per ton.
“Wajar saja harga minyak goreng naik karena harga CPO dunia yang naik. Namun, tarif pungutan ekspor dan bea keluar untuk meredam harga jual minyak goreng itu sebenarnya sudah jalan cukup efektif,” kata Lila saat dihubungi, Jumat (5/11/2021).
Lila menerangkan ketika CIF Rotterdam naik menjadi US$1.375 per ton, maka tarif pungutan ekspor yang dikenakan senilai US$175 per ton. Di sisi lain, tarif bea keluar ditetapkan US$200 per ton.
Dengan demikian, kata Lila, kebijakan tarif itu dapat membuat harga bahan baku minyak goreng mencapai sekitar US$900 per ton untuk industri hilir domestik.
Dia mengatakan industri hilir rata-rata mengutip margin sejumlah US$50 per ton dari olahan CPO untuk menjadi minyak goreng.
“Dikalikan, slalu dengan kurs saat ini, paling harga minyak goreng saat ini sekitar Rp15.000. Kalau tidak ada tarif pungutan ekspor dan bea keluar, harga minyak goreng bisa terlalu mahal,” kata dia.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan per 3 November 2021, harga eceran nasional untuk minyak goreng curah sudah berada di posisi Rp16.000 per liter atau naik mencapai 13,38 persen dari bulan lalu.
Di sisi lain, harga minyak goreng kemasan naik sebesar 7,88 persen menjadi Rp17.800 per liter dari pencatatan bulan lalu.
Dalam catatan kebijakan Kemendag yang diakses Bisnis, pemerintah berencana akan menghentikan ekspor minyak sawit mentah untuk meningkatkan nilai tambah produk turunan di dalam negeri.
Alasannya, kenaikan harga minyak goreng berpotensi bergerak relatif lama mengikuti harga CPO dunia. Selain itu, pasokan bahan baku itu juga dialokasikan untuk program B30 yang relatif meningkat belakangan ini.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan menyatakan tren kenaikan harga minyak goreng dalam negeri disebabkan harga CPO internasional yang sudah mencapai di atas US$1.400 per ton. Selain itu, produsen minyak goreng domestik belum sepenuhnya terintegrasi dengan produsen CPO.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan entitas bisnis produsen minyak goreng yang tidak terhubung dengan industri hulu mengakibatkan harga komoditas strategis itu mengikuti tren yang ada di pasar internasional.
“Produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri, yaitu KPBN Dumai yang juga terkorelasi dengan pasar internasional. Akibatnya, apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga CPO di dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional,” kata Oke melalui siaran pers, Kamis (4/11/2021).
Kemendag pun telah meminta baik asosiasi maupun produsen minyak goreng sawit untuk tetap memproduksi minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan sederhana untuk menjaga pasokan di dalam negeri dengan harga terjangkau.