Refleksi G20, Iklim Butuh Solusi

KTT G20 Indonesia 2022 merupakan sebuah konferensi beranggotakan 19 negara dan satu kawasan uni eropa yang membahas pertumbuhan berbagai bidang termasuk ekonomi serta lingkungan.

Melynda Dwi Puspita

1 Apr 2022 - 00.00
A-
A+
Refleksi G20, Iklim Butuh Solusi

“Liar, alami, eksotis, panas (panas ekstrem), dan sangat cantik! Cinta Indonesia!”

Sepertinya pernyataan dalam bahasa Inggris pada caption media sosial Aleix Espargaro, seorang pembalap MotoGP asal Spanyol mampu mendeskripsikan identitas alam Indonesia.

Gelaran MotoGP di Mandalika memang sedang hangat dan menjadi desas-desus yang tak henti-hentinya diperbincangkan.  Sayangnya, saya mencoba untuk menggarisbawahi, agaknya panas ekstrem (extremely hot) yang diungkapkannya tersebut nampak perlu perhatian khusus.

Pergantian cuaca secara tiba-tiba, dari terik matahari yang terang benderang seketika menjadi hujan penuh petir menyambar atau sebaliknya begitu sering terjadi akhir-akhir ini. Bahkan, peristiwa tersebut cukup mengganggu hingga mampu menunda kompetisi balap motor tingkat dunia itu selama satu jam.

Fenomena temperatur panas udara luar biasa di Mandalika yang mencapai angka 44 derajat Celcius itu hanyalah satu dari sekian banyak gejala perubahan iklim (climate change). Ibarat sebongkah salju di puncak pegunungan Jayawijaya, masih ada lagi potret kisah tragis dari adanya ‘kekeliruan’ di alam, seperti banjir bandang, tanah longsor, ataupun kekeringan air yang berlangsung lama.

Berusaha memandang ke depan, saatnya kita mengesampingkan perhelatan MotoGP dengan berbagai cerita unik yang mengiringinya. Sebab Indonesia juga diberi mandat untuk menjadi tuan rumah beberapa acara besar di tahun 2022 ini, salah satunya G20 (Group Twenty). 

KTT G20 Indonesia 2022 merupakan sebuah konferensi beranggotakan 19 negara dan satu kawasan uni eropa yang membahas pertumbuhan berbagai bidang termasuk ekonomi serta lingkungan. 

Mengusung tema ‘Recover Together, Recover Stronger’, Indonesia ingin mengajak dunia dalam bekerja sama untuk pulih dari keterpurukan imbas pandemi Covid-19. Melalui G20, seluruh negara diharapkan dapat berkembang mengatasi persoalan, termasuk krisis iklim.

Indonesia dan Penyangkalan Isu Iklim Survei YouGov tahun 2020 menyebut Indonesia berada di peringkat pertama sebagai penyedia penduduk terbanyak yang menyangkal terjadinya perubahan iklim. 

21% responden yang tidak lain adalah masyarakat Indonesia sendiri merasa bahwa alam masih baik-baik saja dan tak perlu khawatir terhadap kerusakan lingkungan. Ini merupakan sebuah ironi di balik fakta bahwa Indonesia sebagai negara yang dikaruniai hutan hujan tropis terluas ketiga, hutan mangrove terbesar pertama, serta keanekaragaman hayati melimpah tingkat dunia.

Sayangnya, data tersebut juga disusul dengan taraf kerusakan alam yang tak kalah tinggi. Dari hasil penelitian yang dilakukan Forest Watch Indonesia, setiap tahun negara kita harus kehilangan 1,47 juta hektar hutan. Disusul dengan kondisi hutan mangrove yang memprihatinkan, yakni 600 ribu hektar lenyap di tahun 2021. 

Padahal berbagai jenis pepohonan yang mendiami hutan di daratan maupun di sisi pesisir laut itu berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Selain menyediakan oksigen secara cuma-cuma, hutan mampu menyerap emisi karbon yang notabene sebagai dalang pemanasan global (global warming). Belum lagi soal penambangan yang lebih banyak nelangsa daripada menghasilkan cerita gembira. 

Koordinator Jaringan Tambang Merah (JATAM) melalui BBC News Indonesia menyebut “jika ada tambang, maka akan ada kerusakan lingkungan”. Sebab antara tambang dan lingkungan dianggap tidak bisa selaras berdampingan. Tak hanya soal bekas galiannya, tetapi fungsi ekologis ekosistemnya yang ditinggalkan berubah menjadi nestapa. 

Sementara itu, ada nama Jakarta dengan riwayat carut-marut kemacetan dan menempati posisi ke-4 kota pemilik indeks kualitas udara buruk secara global tahun 2021. Tak kalah mencengangkan, negara kita juga tidak pernah rela melepas gelar peringkat kedua penghasil sampah plastik ke laut terbanyak setelah China.

Kritik Pedas Suasana Memanas

Sejauh ini, frasa ‘gerakan cinta lingkungan’ kerap diidentikkan dengan turun ke jalanan meneriakkan tuntutan terhadap perubahan yang diorasikan oleh organisasi lingkungan. 

Memang publik juga banyak yang menyetujui dan beranggapan bahwa kegiatan kampanye cinta lingkungan lebih terlihat sebagai upaya mengkritik dan menagih keadilan.  

Masih membekas di ingatan mengenai kegiatan-kegiatan aktivis lingkungan yang terbilang aneh nan unik dalam hal menyuarakan pendapat. Misalnya memasang spanduk pada patung kebanggaan negara, menutupi gedung raksasa yang menjulang ke angkasa, berdiri di atas balok es sembari menggantungkan leher pada seutas tali, bahkan aksi vandalisme mengecat pesawat terbang.

Padahal kritik tidak harus beradu argumen ataupun berperilaku nyeleneh untuk menarik simpati. Lebih dari itu, teguran terhadap perubahan iklim idealnya wajib menghasilkan suatu produk sebagai bukti. 

Bukan juga masalah janji-janji yang dilontarkan untuk menghentikan laju deforestasi. Namun bagaimana sejumlah pihak tak lagi absen untuk menahan berbagai kegiatan pembangunan yang abai sustainability (keberlanjutan).

Melalui Presidensi G20 yang diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia begitu getol mencoba mengajukan tiga aspek prioritas di bidang lingkungan. Yakni mendukung pemulihan berkesinambungan, meningkatkan perlindungan daratan sampai lautan, dan menjunjung tinggi mobilisasi sumber daya alam yang ramah lingkungan. 

Tak lupa negara-negara anggota G20 berkomitmen untuk mengontrol kenaikan suhu bumi di angka maksimal 1,5 derajat Celcius sesuai Paris Agreement.

Bukan lagi waktunya ajang pamer prestasi atas keberhasilan menurunkan persentase kerusakan lingkungan oleh setiap negara. Namun sekarang saatnya tentang kerja nyata, kerja sama, dan kontribusi yang perlu direalisasi. Sebab Siti Nurbaya, Menteri KLHK dalam Kick Off G20 berujar, “negara G20 memimpin 80% perekonomian dunia, tetapi juga menyumbang 80% gas rumah kaca”. Sehingga nantinya hasil jajak pendapat G20 ini tidak hanya mengungkap kebijakan baru, tetapi memfasilitasi stakeholder untuk menekan jejak karbon (carbon footprint).

Mari Beraksi Lupakan Basa-basi

Selayaknya penggunaan vaksin untuk menumpas pandemi Covid-19, kunci untuk memulihkan alam ialah terletak pada kekebalan kelompok (herd immunity). Mengaplikasikan istilah herd immunity ini dirasa tepat sebagai perwujudan percepatan rehabilitasi lingkungan.

Jangan lagi angkuh berdiri di atas kaki sendiri dan merasa mampu menumpas permasalahan perubahan iklim secara mandiri. Saling bahu membahu menjalin kemitraan global mengatasi perubahan iklim dalam G20 Indonesia 2022 perlu dilaksanakan sedari sekarang.

Pertama, negara-negara maju harus menyadari bahwa produksi emisi karbon paling banyak dihasilkan oleh dalam negeri mereka. Kita sebut saja China yang berada di posisi puncak dengan 9,9 miliar metrik ton karbon dioksida terhitung tahun 2020. 

Kemudian disusul oleh Amerika Serikat yang melepas 4,5 miliar metrik ton karbon dioksida ke atmosfer. Keduanya merupakan anggota G20 yang mau tidak mau harus menjalankan peran menangkal krisis iklim. 

Negara-negara maju diwajibkan membayar denda atau dapat dikatakan mengganti rugi sebesar 100 miliar dolar Amerika setiap tahun untuk penanganan dan adaptasi dampak perubahan iklim di negara berkembang sesuai Perjanjian Paris. 

Pendanaan ini disalurkan untuk beberapa sektor meliputi konservasi laut, pemulihan degradasi lahan, pengendalian satwa terancam punah, sampah, dan pengelolaan air berkelanjutan.

Kedua, memaksa anggota G20 agar lebih bijak mendorong industrialisasi yang ramah lingkungan. Sebab selama ini penggunaan energi fosil yang masif saat memacu pembangunan sangatlah bertolak belakang dengan misi net zero emission. Hasil riset International Energy Agency (IEA) memaparkan 70% emisi karbon berasal dari konsumsi energi fosil. 

Transisi energi bersih yang lebih mengedepankan ekonomi hijau harus disegerakan. Misalnya mengurangi ketergantungan negara maju terhadap pembangkit listrik tenaga batu bara dan beralih ke energi terbarukan. Kita bisa mencontoh Islandia (bukan anggota Uni Eropa) yang berhasil menyuplai 73% kebutuhan listrik dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air).

Ketiga, setali tiga uang dengan dunia industri, bidang IT (information and technology) juga sangat berpengaruh terhadap melonjaknya jumlah emisi gas rumah kaca. 

Laporan dari Gartner dan Greenpeace menjelaskan bahwa IT membutuhkan listrik 1,817 miliar kWh atau setara 2% dari keseluruhan jumlah emisi karbon dunia. Lagi-lagi negara anggota G20 seperti China, Amerika Serikat, India, Brasil, Jepang, dan Indonesia berada diurutan 6 teratas pemakai internet. 

Maka sudah sepatutnya para penjunjung teknologi yang konon katanya berhubungan erat dengan negara maju ini untuk cepat-cepat mawas diri.

Keempat, mengumumkan kebijakan revolusioner terhadap tindakan pengrusakan alam yang berpotensi memperparah perubahan iklim. 

Mereplikasi peraturan pajak karbon di Singapura, Indonesia akan memulai menetapkan tarif sebesar 30 rupiah per kilogram karbon dioksida dalam penggunaan listrik pada 30 April 2022. Selanjutnya anggota G20 juga harus bersiap diri untuk adaptasi pajak karbon di negaranya masing-masing, mengikuti Jepang.

Terakhir, melibatkan segala lini kehidupan untuk berperan aktif dalam implementasi perundang-undang. Mulai dari lembaga lingkungan, swasta, ataupun masyarakat itu sendiri.

Sebab selama ini, telah kita ketahui bersama bahwa lembaga pecinta lingkungan hampir selalu berseberangan pendapat dengan pemerintah. Jalan terbaik untuk mengatasi ketimpangan ini ialah memperkuat ikatan sosial (chemistry).

Akhir kata, mengutip pernyataan Mattie Stepanek, “Persatuan adalah kekuatan. Ketika ada kerja sama dan kolaborasi, hasil yang indah akan tercapai”. Begitu pula dengan urusan iklim, jangan lagi menepis tangan, tetapi saatnya merangkul pundak kawan maupun lawan. 

Diawali dari anggota G20, sampai semua populasi manusia bersinergi. Sejenak menyisihkan egois diri dan tertuju pada ambisi keselamatan bumi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.