Rem Surplus Dagang dari Moratorium Ekspor Batu Bara

Kinerja produk nonmigas lainnya juga diprediksi tidak naik signifikan dan tidak bisa menambal risiko defisit dagang akibat penghentian ekspor batu bara.

Iim Fathimah Timorria

4 Jan 2022 - 14.00
A-
A+
Rem Surplus Dagang dari Moratorium Ekspor Batu Bara

Proses pengapalan batu bara dari conveyor belt ke kapan tongkang./abm-investama.com

Bisnis, JAKARTA — Kebijakan larangan ekspor batu bara sepanjang Januari 2022 diyakini bakal menggerus neraca dagang yang telah menikmati surplus selama 19 bulan terakhir.

Kinerja produk nonmigas lainnya juga diprediksi tidak naik signifikan dan tidak bisa menambal risiko defisit dagang akibat penghentian ekspor batu bara.

“Melihat kinerja terakhir, defisit perdagangan memang dapat terjadi pada Januari 2022 jika ekspor batu bara dihentikan total,” kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, Senin (3/1/2022).

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor batu bara per Oktober 2021 mencapai US$4,94 miliar dan pada November 2021 bernilai US$4,13 miliar. 

Penurunan ekspor bulanan pada batu bara diikuti dengan turunnya surplus dari US$5,74 miliar pada Oktober menjadi US$3,51 miliar pada November 2021.

“Selain itu, sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional ke depan, nilai impor juga berpotensi meningkat,” tambahnya.

Impor pada November 2021 yang mencapai US$19,33 miliar tercatat naik 18,62 persen secara bulanan. Josua mengatakan tren kenaikan impor berpotensi terus berlanjut.

Dia menilai peluang untuk menambal risiko defisit dagang yang timbul dari larangan ekspor batu bara pada Januari relatif kecil. 

Dia memperkirakan hanya segelintir produk manufaktur yang bisa menaikkan kinerja pada awal tahun, di antaranya adalah produk terkait feronikel dan stainless steel.

“Kalau melihat tren harga nikel sampai awal tahun ini masih meningkat. Potensi kenaikan volume ekspor juga ada karena tren peningkatan kapasitas smelter belakangan ini,” katanya.

Ekspor bahan bakar mineral dalam kode HS 27 dalam kurun Januari-Oktober 2021 tercatat bernilai US$25,45 miliar dan impor senilai US$2,51 miliar. Komoditas batu bara masih menjadi salah satu penyumbang positif perdagangan nonmigas dengan surplus mencapai US$22,94 miliar.

Adapun, sejumlah komoditas diyakini bisa tetap memberi sumbangsih bagi neraca perdagangan, meski ekspor batu bara dihentikan untuk sementara pada Januari 2022.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan ekspor alas kaki bisa tetap tumbuh secara bulanan pada awal tahun.

Ekspor alas kaki pada Januari disebut Firman tetap naik dibandingkan dengan Desember pada tahun sebelumnya. Hal ini berbeda dengan tren ekspor nonmigas yang secara historis turun secara bulanan pada Januari dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

“Trennya belum langsung turun pada Januari, kemungkinan mulai turun pada Mei low season di alas kaki,” kata Firman.

Ekspor alas kaki pada Januari 2021 bernilai US$490,11 juta, tumbuh dibandingkan dengan kinerja ekspor Desember 2020 yang bernilai US$461,94 juta. Kenaikan serupa juga terlihat pada Januari 2020 yang bernilai US$424,22 juta dari US$366,90 juta pada Desember 2019.

Namun, dia tidak bisa memastikan kinerja ekspor alas kaki bisa memberi kontribusi signifikan pada neraca perdagangan sebagaimana batu bara. Firman hanya menyebutkan bahwa larangan tersebut bisa mendukung upaya pemenuhan pasokan listrik bagi pabrik.

“Kalau [batu bara] tidak dilarang ekspor beberapa anggota yang pakai batu bara pasti juga akan kesulitan,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan ekspor produk minyak sawit secara historis cenderung turun pada awal tahun. Namun dia mengatakan tren tersebut bisa berubah.

“Tidak ada yang tahu pastinya seperti apa, termasuk dari sisi harga dan volume,” kata Togar.

Produk sawit menjadi komoditas penyumbang ekspor nonmigas terbesar sepanjang 2021. Sampai November 2021, nilai ekspor produk sawit mencapai US$29,85 miliar. 

Gapki memperkirakan nilai ekspor minyak sawit mentah dan turunannya bisa menembus US$35 miliar pada 2021. Harga diperkirakan masih berkisar di level US$1.300 per ton dan stok yang bisa diekspor pada November dan Desember mencapai 6,4 juta ton.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai larangan ekspor batu bara perlu dilihat dari sisi kepentingan pemulihan ekonomi nasional, tak hanya pada kontribusi komoditas tersebut pada kinerja ekspor. 

Dia menilai pasokan batu bara untuk kebutuhan listrik penting untuk menjamin aktivitas manufaktur dan ekonomi di dalam negeri tetap berjalan.

Di samping itu, Faisal mengatakan potensi ekspor dari batu bara yang hilang bisa digantikan dengan ekspor produk lainnya seperti minyak sawit dan besi dan baja. Dia mencatat surplus perdagangan dalam beberapa bulan terakhir telah melampaui besaran ekspor batu bara.

“Kalau kita asumsikan ekspor batu bara di kisaran US$2 miliar sampai US$3 miliar, sementara surplus di atas US$4 miliar per bulannya, masih ada surplus. Untuk ekspor manufaktur dan komoditas lain seperti besi dan baja dan CPO masih bisa meredam kehilangan yang mungkin timbul dari hilangnya ekspor batu bara,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.