Rencana Penerapan Pajak Karbon dan Ketidaksiapan Dunia Usaha

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon, seperti produk olahan minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Penerapan pajak karbon rencananya dimulai 2022.

Muhammad Ridwan & Rayful Mudassir

3 Okt 2021 - 13.40
A-
A+
Rencana Penerapan Pajak Karbon dan Ketidaksiapan Dunia Usaha

Suasana Kompleks PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (22/3/2019)./ANTARA-Widodo S Jusuf

Bisnis, JAKARTA — Ada berbagai cara yang bisa diterapkan untuk mengurangi emisi karbon yang diterapkan masyarakat dunia. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan serta penghentian proyek baru pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan minyak dan perlahan-lahan “mematikannya” adalah cara-cara yang ditempuh negara-negara di dunia.

Cara lainnya adalah penerapan pajak karbon. Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon, seperti produk olahan minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. 

Berkaitan dengan hal itu, pemerintah berencana mengenakan pajak karbon kepada wajib pajak orang pribadi dan badan atas emisi karbon dengan besaran tarif minimal Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Penerapan pajak karbon rencananya dimulai 2022. Pajak karbon merupakan salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau RUU KUP yang dibahas bersama DPR.

Seperti dikutip dari draf RUU KUP yang diterima Bisnis, subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.

Rencana ini belum sepenuhnya didukung oleh kalangan dunia usaha. Mereka meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali rencana pemberlakuan pajak karbon dan kenaikan royalti lantaran dinilai membebani pengusaha di tengah upaya menekan emisi karbon.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia mengatakan bahwa perusahaan perlu dukungan pemerintah agar bisa bertahan dalam menjalani transisi energi.

Alasannya, transisi ini juga perlu melibatkan perusahaan tambang untuk mengurangi emisi karbon. Oleh sebab itu, dukungan pemerintah menjadi salah satu kunci krusial dalam transformasi ini.

"Salah satunya adalah melalui penerapan emission trading system. Ini yang perlu diimplementasikan oleh pemerintah. Dan untuk beban ke depan antara lain carbon tax dan kenaikan tarif royalti dan lain-lain itu perlu dipertimbangkan oleh pemerintah," katanya, akhir pekan lalu.

Menurutnya, harga batu bara saat ini bergerak fluktuatif. Pada September tahun lalu, harga batu bara bergerak pada angka sekitar US$50 per ton. Namun, angka ini melonjak tajam hingga di atas US$150 per ton pada September 2021.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman menilai pengenaan pajak karbon kurang tepat jika dibebankan kepada industri dalam negeri. Hal ini akan berimbas pada daya saing industri tekstil terhadap gempuran produk impor.

“Industri dalam negeri akan tersiksa. Biaya beban kerja akan naik seiring dengan pemberlakuan pajak karbon yang diterapkan oleh pemerintah. Pengaruh tersebut akan berimbas pada kenaikan harga produk tekstil sebesar 20 persen,” katanya kepada Bisnis.com, Kamis (29/7/2021).

Dia juga menjelaskan bahwa industri tekstil menghasilkan emisi karbon dalam proses produksinya. Proses polimerisasi pada industri hulu dan penggunaan batu bara pada tiap-tiap pembangkit listrik industri akan terkena dampaknya.

Menurut Rizal, jika tujuannya untuk mengurangi emisi karbon dengan menggunakan instrumen pajak, skema tersebut salah besar.

Pasalnya, industri juga dituntut untuk menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, sedangkan investasi teknologi itu mahal dan memerlukan waktu untuk mengadopsi teknologi tersebut.

Dia juga menerangkan pajak karbon memiliki efek domino. Perusahaan listrik, minyak dan gas dalam negeri juga akan merasakan dampaknya dari pajak karbon ini. Kenaikan biaya listrik, minyak, dan gas akan dibebankan kepada pelaku usaha dan masyarakat.

"Pajak karbon ini perlu dikaji kembali oleh pemerintah. Kenaikan harga minyak, gas dan listrik juga tidak dapat dihindari kalau pajak karbon ini benar-benar diterapkan,” ujar Rizal.

PERKARA TIDAK MUDAH

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengakui bahwa transisi energi merupakan perkara yang tidak mudah. Upaya bersama ini, menurutnya, penuh dengan tantangan.

Meski begitu, kondisi tersebut dinilai menjadi sebuah kesempatan melakukan transformasi ekonomi. Misalnya, energi fosil mengekstraksi sumber dayanya untuk menjadi lebih bersih. 

“Dengan melakukan transisi energi ini sebenarnya, Indonesia bisa tumbuh dengan lebih tinggi ekonominya,” katanya. 

Kunci keberhasilan transisi ini, menurut Fabby, dengan merencanakan dan membuat peta jalan yang baik sebagai acuan. Selain itu, regulasi pendukung dan kepastian hukum akan sangat penting dalam mencapai tujuan netral karbon.

Selain itu, investasi energi bersih disebut masih memerlukan investasi besar. Penelitian IESR menemukan bahwa investasi yang diperlukan untuk mencapai energi bersih mencapai US$20 miliar hingga US$30 miliar per tahun hingga 2030. Angka ini akan semakin besar pada tahun selanjutnya. 

Pakar otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan bahwa saat ini defisit keuangan pemerintah sudah sangat besar sehingga kebijakan tidak populer seperti ini menjadi jalan yang bisa ditempuh. Namun, hal ini tentunya juga menjadi bagian dari komitmen Indonesia dari Perjanjian Paris yang sudah disepakati.

"Pada 2029 Indonesia harus mulai membuahkan kinerja pengurangan emisi karbon. Untuk itu idealnya mulai dilakukan komunikasi yang jelas dan dibentuk institusi bersih berteknologi canggih sebagai pengawas agar tidak terjadi ketimpangan pungutan nantinya," kata Yannes kepada Bisnis, Senin (28/6/2021).

Meski kebijakan ini akan sulit, katanya, pemerintah masih bisa memberi skema penghargaan dan hukuman khususnya bagi industri. Hal itu mengingat struktur industri di Tanah Air kebanyakan adalah padat energi, padat karya, dan padat limbah.

Menurut Yannes, pengenaan nantinya juga bisa dilakukan secara bertahap dan dengan skema penandatanganan perjanjian komitmen usaha berikut dengan peghargaan yang bisa didapat jika terealisasi.

Dia menyebut bahwa pemerintah tidak boleh lupa 30 persen energi listrik yang dipakai di Indonesia berasal dari fosil dan dikelola oleh perusahaan pelat merah sendiri.

"Jadi, bisa dibayangkan nanti, sudah industri bayar energinya mahal kemudian ketika operasional pabriknya masih akan terkena pajak lagi. kebijakan ini akan kompleks karena menyangkut budaya dan sensitivitas sosial ekonomi yang tinggi," ujarnya.

Sementara itu, dari sisi pribadi masyarakat pengenaan wajib pajak ini akan semakin mahal bagi yang memiliki kendaraan tua. Dia mencontohkan pajak untuk kendaraan Toyota Hardtop akan sama dengan Mercedes seri atas.

Alhasil, Yannes menilai dengan berbagai pertimbangan di atas rasanya pemerintah tidak akan bisa membebani pungutan yang terlalu ekstrem dan dalam jangka pendek saat ini.

Dia hanya berharap jika diterapkan nantinya tidak terjadi hal-hal yang harus diselaraskan seperti kebijakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) baru-baru ini, ketika pemerintah harus mengubah diksi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) menjadi local purchase.

"Kalau local purchase itu kan sebenarnya masih barang impor yang diperdagangkan di sini karena TKDN yang disyaratkan dalam PPnBM terlalu tinggi waktu itu sekitar 70 persen," kata Yannes.

INSTRUMEN YANG TEPAT

Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai dalam penetapan pajak karbon untuk sektor pada karbon diperlukan instrumen yang tepat.

Ekonom Senior Indef Enny Sri Hartati menilai penerapan pajak karbon harus berlandaskan asas keadilan.

“Pemerintah harus mempunyai instrumen untuk menjaga lingkungan, itu yang harus diutamakan. Usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan usaha yang menimbulkan dampak negatif bisa diberikan instrumen pengendalian seperti carbon tax atau disinsentif,” ujarnya melalui keterangan resmi, beberapa waktu yang lalu.

Menurut dia, penerapan pajak karbon pada sektor industri padat masih perlu pengkajian mengingat aktivitasnya yang minim terhadap kerusakan lingkungan.

Menurut Enny, untuk penerapan pajak karbon pada industri semen harus dikaji ulang. Pemerintah diharapkan memberi kesempatan sektor ini bangkit dalam menghadapi krisis pandemi.

“Sektor ini, perlahan mulai bangkit dari krisis akibat pandemi Covid-19. Sebaiknya, industri ini harus pulih terlebih dahulu sebelum dibebani dengan berbagai tambahan beban seperti pajak karbon,” tuturnya.

Dia menambahkan bahwa semua pengaturan perpajakan kerangka kerjanya tidak hanya sebagai penerimaan negara sehingga diperlukan instrumen yang tepat dan mengendalikan dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi.

“Penerapan pajak karbon mestinya harus dilakukan secara proporsional. Jika aturan tersebut tidak tepat sasaran, pemerintah hanya mengambil sisi penerimaan untuk negara,” tuturnya. (A. Hamied Razak)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Zufrizal
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.