RI Juara Dunia Soal Safeguard, Sudahkah Industri Terproteksi?

Menurut data World Trade Organization (WTO), Indonesia menerapkan 24 kebijakan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) atau safeguard selama rentang Januari 1995—Desember 2020. Jumlah itu merupakan yang tertinggi di dunia. Namun, sudahkah faedahnya dirasakan industri domestik?

Iim Fathimah Timorria

5 Sep 2021 - 19.56
A-
A+
RI Juara Dunia Soal Safeguard, Sudahkah Industri Terproteksi?

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)./Istimewa

Bisnis, JAKARTA — Organisasi Perdagangan Dunia mencatat Indonesia sebagai negara nomor wahid di dunia yang paling banyak menerapkan instrumen bea masuk tindak pengamanan alias safeguard untuk membendung impor sebagai mekanisme proteksi industri lokal.

Menurut data World Trade Organization (WTO), Indonesia menerapkan 24 kebijakan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) selama rentang Januari 1995—Desember 2020.

Ketua Komita Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan Mardjoko mengatakan capaian tersebut merupakan yang tertinggi di dunia, disusul India dengan 22 BMTP dan Turki dengan 18 BMTP.

“Menurut data WTO, Indonesia justru merupakan negara anggota WTO yang paling aktif menggunakan safeguard measures sejak diberlakukannya safeguard sebagai salah satu instrumen trade remedies pada 1995 sampai dengan sekarang,” kata Mardjoko kepada Bisnis, Sabtu (4/9/2021).

Mardjoko menjelaskan tindakan pengamanan perdagangan bertujuan untuk memulihkan atau mencegah terjadinya kerugian serius bagi industri dalam negeri.

Tindakan pengamanan juga diterapkan untuk memberi kesempatan bagi industri terkait untuk menjalankan penyesuaian struktural agar dapat bersaing dengan barang impor.

“Meskipun dikenakan safeguard measures, produk impor tetap dapat masuk ke pasar Indonesia asalkan importir membayar tambahan bea masuk—yaitu BMTP—di luar bea masuk MFN [most-favored nation] yang telah disepakati oleh semua negara anggota WTO,” paparnya.

Selain menerapkan 24 safeguard  dalam 25 tahun terakhir, KPPI menerapkan pula instrumen pengamanan melalui mekanisme kuota, seperti pada komoditas tepung gandum sejak 2014. 

Lebih lanjut, KPPI juga telah mengajukan rekomendasi tindak pengamanan untuk impor pada produk pakaian dan aksesoris pakaian, kertas sigaret, expansible polystyrene (EPS), dan perpanjangan BMTP pada ubin keramik.

Selain instrumen BMTP, Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang paling banyak menginisiasi penyelidikan antidumping.

Namun, aktivitas pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) bukan dimaksudkan untuk melarang impor, melainkan untuk mendukung pemulihan industri di dalam negeri.

Ketua Komite Antidumping (Kadi) Kemendag Donna Gultom menjelaskan lewat instrumen trade remedies yang diizinkan WTO, negara dapat memberlakukan bea masuk tambahan atas produk impor yang bermuatan subsidi atau dumping jika impor terbukti mengakibatkan kerugian bagi industri di dalam negeri.

“Sering sekali pengenaan BMAD dan BMI [bea masuk imbal] disalahartikan untuk menutup keran impor dan mengenakan bea masuk terhadap seluruh negara impor, itu sangat salah. BMAD dan BMI dimaksudkan untuk mengobati kerugian akibat praktik dumping maupun pengenaan subsidi oleh negara pengekspor,” kata Donna kepada Bisnis, Sabtu (5/9/2021).

Sejak berdiri pada 1996, Kadi tercatat telah menyelidiki 80 kasus di mana 46 di antaranya berakhir dengan pengenaan BMAD.

Sementara itu, berdasarkan data WTO, Indonesia secara kumulatif telah menyelidiki 140 kasus, merujuk pada jumlah negara yang menjadi sasaran penyelidikan.

BEDA MEKANISME

Donna mengemukakan mekanisme penyelidikan dan penerapan kebijakan antidumping maupun antisubsidi di Indonesia berbeda dengan negara lain.

Di Indonesia, penyelidikan praktik dumping dan subsidi dilakukan oleh Kadi, sedangkan yang menetapkan bea masuk—baik BMAD maupun BMI—adalah pemerintah berdasarkan hasil penyelidikan dan rekomendasi.

“Namun, tidak selamanya apa yang direkomendasikan oleh Kadi diputuskan untuk tidak dikenakan oleh pemerintah. Indonesia menjadi inisiator tertinggi di Asean, tetapi hasilnya banyak yang tidak diterapkan,” tutur Donna.

Rekomendasi Kadi akan di bahas di tingkat kementerian atau lembaga (Pertimbangan Kepentingan Nasional) sehingga tidak selalu berujung pada pengenaan bea masuk.

“Pelarangan impor tidak diperbolehkan oleh WTO. [Instrumen] yang diperbolehkan hanyalah bea masuk berupa tarif MFN untuk semua negara anggota WTO atau tarif dalam rangka FTA [free trade agreement],” kata Donna.

Sebelumnya, dalam paparan mengenai implementasi hambatan nontarif di hadapan Komisi VII DPR RI, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan produk luar negeri mudah masuk ke dalam negeri akibat rendahnya implementasi trade remedies.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Indonesia tercatat hanya menerapkan 102 tindakan pengamanan. Sementara China sebanyak 1.020 safeguard, Thailand sebanyak 226, dan Filipina 307.

“Di Indonesia hanya 102. Telanjang kita. Begitu gampang produk luar negeri masuk ke Indonesia,” kata Agus.

Hal serupa, lanjut Agus, terlihat pada penerapan antidumping di mana Indonesia hanya menerapkan pada 48 produk. Sementara itu, India sebanyak 280 dan Filipina 250.

INDUSTRI DOMESTIK

Di sisi lain, pelaku usaha berpandangan Indonesia perlu lebih melindungi industri dalam negeri dari praktik curang negara lain dan menciptakan daya saing  dengan menggunakan instrumen trade remedies, khususnya antidumping.

Namun, hal ini harus diiringi dengan pembenahan industri di dalam negeri.

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengemukakan penggunaan trade remedies Indonesia cenderung menunjukkan anomali.

Hal ini terlihat dari lebih banyaknya penerapan BMTP ketimbang BMAD atau BMI, yang lebih banyak diterapkan oleh negara-negara lain dengan frekuensi perdagangan tinggi.

“Indonesia menggunakan instrumen safeguard lebih sering dibandingkan dengan negara-negara BRICS atau AS dan Uni Eropa. Ini perbedaan yang signifikan karena safeguard adalah instrumen perlindungan terhadap impor dalam kondisi adanya emergency terhadap balance of payment,” kata Shinta, Minggu (5/9/2021).

Menurutnya, BMTP menjadi instrumen yang tidak bisa dipertahankan terlalu lama dan harus diakhiri setelah kurun tertentu.

Dia juga berpandangan trade remedies secara umum tidak ideal karena hanya bisa diterapkan ketika ada kerugian atau ancaman bagi industri terkait.

Trade remedies, kata Shinta, tidak selalu menciptakan efek peralihan substitusi impor ke produk lokal atau berkontribusi meningkatkan daya saing.

Kinerja penjualan industri substitusi impor lokal secara riil juga tidak otomatis terkerek.

“Justru lebih sering yang terjadi ketika instrumen trade remedies diterapkan, industri hilir atau pengguna produk impor kehilangan daya saing di pasar ekspor karena harga produk yang jadi sasaran kebijakan menjadi lebih mahal,” lanjutnya.

Karena itu, Shinta mengatakan pemerintah sebaiknya fokus pada pembenahan daya saing industri dalam negeri.

Daya saing pasokan lokal untuk bahan baku perlu diteliti kembali untuk menjawab penyebab lebih banyak impor bahan baku lebih tinggi.

“[Penyelesaian] kelemahan-kelemahan tersebut harus menjadi prioritas sebelum kita gencar menggunakan instrumen trade remedies agar daya saing ekonomi Indonesia secara keseluruhan terus naik dan tidak ada backlash untuk industri yang sudah berdaya saing,” ujarnya.

EFEKTIVITAS

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta, di sisi lain, mengatakan pelaku industri di dalam negeri merasakan penerapan trade remedies efektif dalam membendung lonjakan impor dan impor produk yang bermuatan dumping atau subsidi.

Efektivitas ini dirasakan salah satunya oleh produsen serat dan benang di Tanah Air. Beberapa produk serat dan benang yang dikenai bea masuk antidumping di antaranya adalah polyester staple fiber (PSF) asal China, India, dan Taiwan serta Spin Drawn Yarn (SDY) yang dipasok China.

“Untuk PSF kami rasa efeknya cukup baik bagi industri. Saat ini sedang dalam proses perpanjangan ketiga kali karena sebagian perusahaan masih merasakan injury dan ancaman dumping masih ada,” katanya, Minggu (5/9/2021).

Redma menjelaskan ancaman dumping masih dirasakan lantaran para eksportir memiliki pasokan yang surplus untuk produk tersebut.

Dia menyebutkan pula bahwa China menerapkan export rebate untuk produk-produk tersebut.

“Produksi PSF mereka sampai 25 juta ton, sementara kebutuhan domestik mungki 10 juta ton. Otomatis mereka akan mendorong ekspor murah sehingga kami masih merasakan ancaman,” imbuhnya.

Roll forming adalah proses pengrolan dingin dengan tujuan pembentukan suatu profil baja (lapis paduan zinc atau zinc & aluminium atau zinc, aluminium, dan magnesium) menjadi produk akhir seperti atap gelombang, genteng metal, rangka atap, rangka plafon dan dinding. /ARFI 

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim mengatakan pemberlakuan trade remedies berupa BMAD pada sejumlah produk besi dan baja telah memicu perbaikan produktivitas industri di dalam negeri.

Indonesia tercatat menerapkan BMAD atas produk hot rolled plate (HRP), besi dan baja I dan H section, dan hot rolled coil (HRC).

“Kehadiran trade remedies sangat efektif dan membuat industri baja menjadi lebih sehat karena produsen asing tidak bisa lagi curang,” katanya.

Namun, dia memberi catatan bahwa pengenaan BMAD membutuhkan proses yang panjang dan melibatkan berbagai pihak, termasuk institusi independen dalam membuktikan adanya praktik dumping.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat instrumen trade remedies belum dimanfaatkan RI dengan maksimal. Terutama pada barang-barang konsumsi impor dengan harga yang jauh lebih murah.

“Terlebih di tengah bergesernya perdagangan dari tradisional ke nontradisional lewat platform e-commerce. Respons pemerintah dalam hal ini masih minim. Penyesuaian kebijakan untuk menekan injury pada industri terkait belum optimal,” kata Bhima.

Karena itu, Bhima mengatakan penyelidikan untuk membuktikan terjadinya praktik curang perlu diperkuat, sejalan dengan langkah perbaikan industri di dalam negeri sehingga daya saing membaik.

“Saat daya saing membaik belum tentu produktivitas naik signifikan jika tidak ada upaya perlindungan seperti safeguard dan antidumping dari praktik dagang yang tidak fair,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.