Bisnis, JAKARTA – Sektor properti residensial diterpa angin segar di tengah berbagai tekanan mulai dari ekonomi global, perekonomian dalam negeri dan tensi Pemilu 2024. Ditambah lagi pada pekan lalu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) menetapkan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) naik 25 basis poin (bps) menjadi 6%. Kenaikan suku bunga acuan ini untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global dan sebagai langkah preventif dan forward looking memitigasi dampaknya kepada imported inflation.
Di sisi lain, merujuk data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang dikeluarkan Bank Indonesia, penjualan properti residensial yang masih terkontraksi 12,30% (YoY) pada kuartal II tahun 2023, lebih dalam dari kontraksi pada kuartal sebelumnya yang sebesar 8,26% (YoY). Penjualan pada kuartal II tahun 2023 tersebut dipengaruhi oleh belum kuatnya penjualan rumah tipe kecil yang terkontraksi 15,81% (YoY) dan tipe menengah yang menurun 15,17% (YoY). Sementara itu, penjualan rumah besar terpantau mengalami peningkatan sebesar 15,11% (YoY), setelah terkontraksi 6,82% (YoY) pada kuartal sebelumnya.
Adapun terdapat sejumlah faktor yang menghambat penjualan properti residensial primer, antara lain masalah perizinan/birokrasi sebesar 30,40 persen, suku bunga KPR 29,52 persen, proporsi uang muka yang tinggi dalam pengajuan KPR sebesar 22,79 persen, dan perpajakan sebesar 17,29 persen.
Presiden Joko Widodo kembali memberikan insentif berupa Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) terhadap properti residensial komersial atau non subsidi di bawah Rp2 miliar. Adapun pada saat pandemi Covid-19 dari 2021 hingga September 2022, pemerintah memberikan insentif PPN DTP untuk sektor properti dengan harga di bawah Rp2 miliar. Pemerintah juga memberikan insentif untuk perumahan yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan memberikan bantuan uang adminsitrasi senilai Rp4 juta.