Simalakama Turisme di Tengah Rencana Penaikan PPh

Williningness to spend masyarakat menengah atas akan tertahan karena pengeluarannya digunakan untuk menambal ongkos pajak pada masa depan. Sektor tersier seperti pariwisata pun akan menjadi sasaran pemangkasan belanja kelompok yang PPh-nya bakal dinaikkan.

26 Mei 2021 - 20.30
A-
A+
Simalakama Turisme di Tengah Rencana Penaikan PPh

Ilustrasi pajak/Istimewa

Bisnis, JAKARTA — Rencana pemerintah menaikkan tarif pajak penghasilan bagi wajib pajak berpenghasilan minimal Rp5 miliar per tahun dinilai memiliki dampak berganda bagi industri pariwisata.

Di satu sisi, kenaikan pajak penghasilan (PPh) dari 30% menjadi 35% dikhawatirkan menahan belanja masyarakat kelas menengah atas untuk kebutuhan tersier seperti pariwisata.

Di sisi lain, rencana kebijakan tersebut menjadi angin segar bagi para pelaku industri turisme lokal.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) sekaligus Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi mengatakan rencana pemerintah tersebut akan mengacaukan ekspektasi kelompok menengah ke atas yang menguasai hampir 50% dari total konsumsi, menurut data World Bank.

"Williningness to spend mereka akan tertahan karena pengeluarannya digunakan untuk menambal ongkos pajak pada masa depan. Sektor tersier seperti pariwisata pun akan menjadi sasaran pemangkasan belanja," ujarnya, Rabu (26/5/2021).

Sayangnya, lanjut Fithra, rencana tersebut diumumkan oleh pemerintah pada saat kecenderungan konsumsi membaik.

Hasil survei penjualan eceran Bank Indonesia (BI) mengindikasikan peningkatan kinerja secara bulanan pada Maret 2021. Tren penjualan eceran juga diperkirakan kembali membaik pada April 2021.

Menurut data bank sentral, indeks penjualan riil pada Maret 2021 tumbuh 6,1% secara bulanan, meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar -2,7%.

Pekerja menggunakan alat pelindung diri saat melayani wisatawan di Hotel Puri Santrian, Sanur, Denpasar, Bali./Antara-Nyoman Hendra Wibowo

Peningkatan tersebut pada seluruh subkelompok sandang, barang buadaya dan rekreasi, dan bahan bakar kendaraan bermotor.

Masing-masing mengalami pertumbuhan bulanan sebasar 8,4% untuk subkelompok sandang, 2,5% barang budaya dan rekreasi, serta 8,1% bahan bakar kendaraan bermotor.

"Ketika [rencana kenaikan PPh] ini diumumkan saat ini, tentunya akan mengacaukan ekspektasi kelompok menengah ke atas," kata Fithra.

Dengan kata lain, momentum perbaikan konsumsi yang sedang berlangsung terdistraksi oleh rencana menaikkan tarif pajak tersebut. Hal ini tentunya akan memperburuk kondisi di industri pariwisata.

Pada masa pandemi, industri pariwisata bisa dikatakan masih berharap dari wisatawan domestik seiring dengan belum dibukanya pintu masuk bagi turis asing.

Sementara itu, geliat wisatawan domestik dari masyarakat pendapatan menengah ke bawah seperti yang terjadi pada momen Idulfitri kemarin tidak memberikan dampak signifikan, dan, belanja dari orang-orang kaya memang menjadi salah satu tumpuan bagi pemulihan ekonomi saat ini.

Namun, kondisi bisa saja tidak seburuk yang dibayangkan. Mengingat kemungkinan secara psikologis ada orang kaya yang menganggap berwisata adalah kebutuhan primer.

ANGIN SEGAR

Berbeda pendapat, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai rencana tersebut justru berpotensi meningkatkan penerimaan pajak.

Walhasil, kebijakan tersebut berpotensi memberikan ruang yang lebih luas kepada pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk membantu pemulihan sektor industri terdampak pandemi, terutama pariwisata.

"Pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling urgen karena paling terdampak. Pemerintah tinggal mencari terobosan agar rencana tersebut bisa diiringi dengan penerimaan pajak yang maksimal. Bisa dilakukan melalui penerapan reward and punishment, serta memperkuat integritas pemerintah itu sendiri," ujarnya.

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Djunaedi juga berpendapat penerapan rencana kebijakan tersebut justru berpeluang memberikan sedikit angin segar bagi industri pariwisata, terutama pelaku usaha perhotelan.

Dia mengatakan pemangkasan yang dilakukan oleh masyarakat yang terkena efek kenaikan tarif pajak penghasilan akan mendorong mereka untuk memindahkan alokasi belanja wisata dari yang sebelumnya dihabiskan di luar negeri ke destinasi dalam negeri.

"Saya melihat masyarakat berpenghasilan tinggi pasti akan memangkas belanja untuk berwisata. Namun, belanja yang dipangkas adalah yang dialokasikan untuk berwisata di luar negeri. Sebaliknya, mereka akan berpikir bahwa lebih baik pergi berwisata ke destinasi di dalam negeri saja," ujar Didien.

Objek wisata Grojogan Sewu, Tawangmangu, Karanganyar ramai dikunjungi wisatawan lokal Jumat (14/5/2021). JIBI/Solopos-Candra Putra Mantovani

Tren tersebut, sambungnya, akan memberikan sedikit angin segar bagi pelaku industri perhotelan. Dari sisi okupansi, tren tersebut bisa mendongkrak okupansi hotel hingga ke level 50% untuk peak season jika kenaikan pajak diterapkan.

Selama pandemi Covid-19, Didien mengatakan rata-rata okupansi di hotel bintang lima sebagai salah satu indikator kunjungan wisata masyarakat berpenghasilan tinggi berada di level 30%, di mana 10% di antaranya masih diisi oleh warga negara asing (WNA).

Sekadar informasi, BPS mencatat tingkat penghunian hotel berbintang di Tanah Air pada Maret 2021 berada di level 36,07%, naik dari bulan sebelumnya dengan okupansi sebesar 32,40%, serta Januari 2021 dengan okupansi 30,35%.

Kondisi di sektor perhotelan sendiri sampai dengan saat ini masih sangat sulit. Dibandingkan dengan 2019, tingkat okupansi hotel berbintang pada periode yang sama berada di level 52,88%.

Bahkan, pergerakan wisatawan pada masa lebaran Idulfitri lalu tidak memberikan dampak signifikan terhadap sektor perhotelan kendati diperkirakan naik di kisaran 25%—30%.

Pertumbuhan tersebut tidak diiringi dengan average zoom rate (harga rata-rata per kamar) yang sejauh ini masih rendah.

Periode Idulfitri, average zoom rate hotel diperkirakan masih di bawah 30%—40% dari harga rata-rata dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019. Hal tersebut dilakukan oleh sektor perhotelan untuk mengejar break event poin (BOP) karena masih berada di mode survival.

BISNIS PERHOTELAN

Di sisi lain, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi Sukamdani menilai rencana pemerintah menaikkan tarif PPh tidak akan berpengaruh terhadap geliat industri pariwisata terkait.

"Mereka mau belanja, tetapi kalau dibatasi susah juga. Jadi, semuanya kembali lagi kepada pelonggaran pergerakan masyarakat. Sampai dengan saat ini, perjalanan wisata masih tertahan," ujar Hariyadi.

Selain itu, sambungnya, pergerakan wisatawan di segmen masyarakat menengah ke atas juga masih sulit untuk mengalami perbaikan dengan belum pulihnya rasa percaya diri untuk berwisata karena cukup tingginya ketakutan akan tertular Covid-19. 

Sekadar catatan, dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) RAPBN Tahun Anggaran 2022, pemerintah memang berencana menambah lapisan tarif pajak.

Terkait dengan hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah saat ini sedang mempertimbangkan rencana untuk menambah besaran tarif pajak penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan Rp5 miliar per tahun sebesar 35% dari awalnya 30%. (Rahmad Fauzan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.