Skema Pelik Prosposal Restrukturisasi Utang GIAA

Proposal restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. sudah rampung. Berdasarkan proposal perdamaian komprehensif ini, GIAA ingin mengubah struktur utangnya. Namun, tantangan untuk melaksanakan prosposal ini masih akan sangat berat dan masih akan melewati diskusi alot.

Rinaldi Mohammad Azka

9 Nov 2021 - 21.01
A-
A+
Skema Pelik Prosposal Restrukturisasi Utang GIAA

Garuda Indonesia/istimewa

Bisnis, JAKARTA — Kementerian BUMN dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. telah merilis proposal restrukturisasi utang yang akan diberikannya kepada kreditur. Emiten maskapai BUMN ini ingin memangkas liabilitasnya hingga US$7,18 miliar atau setara Rp102,02 triliun.

Wakil Menteri II Kementerian BUMN, Kartiko Wirjoatmodjo mengungkapkan bahwa restrukturisasi keuangan Garuda Indonesia akan dilakukan dengan menghilangkan ekuitas negatif saat ini yang mencapai US$2,82 miliar.

"Neraca negatif tak ada cara lain selain menurunkan liabilitas secara bersama-sama. Dengan cara itu diharapkan berhasil restrukturisasi keuangan, aset dan laibilitas seimbang lagi, dan mulai ada ekuitas positif," ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi VI DPR, Selasa (9/11).

Kementerian BUMN menargetkan negosiasi mengurangi jumlah utang atau dalam istilah perbankan disebut haircut dengan menurunkan liabilitas perseroan per kuartal III/2021 yang sebesar US$9,75 miliar atau setara Rp138,53 triliun menjadi hanya US$2,57 miliar atau setara Rp36,5 triliun.

Saat ini, Garuda Indonesia memiliki utang kepada lessor atau pemberi sewa pesawat sebesar US$6,35 miliar, utang bank US$967 juta, utang terhadap OWK, sukuk, KIK EBA sebesar US$630 juta, utang vendor BUMN US$595 juta, utang vendor swasta US$317 juta, dan liabilitas lain-lain US$751 juta.

Melalui restrukturisasi, liabilitas Garuda akan menyusut menjadi US$2,57 miliar dengan perincian US$1,025 miliar utang baru yang diambil ditambah zero coupon bond, US$609 juta liabilitas lainnya, dan US$937 juta utang lessor.

Melalui penurunan liabilitas secara signifikan tersebut, jumlah aset emiten berkode saham GIAA ini juga akan tergerus dari US$6,92 miliar menjadi US$2,75 miliar.

"Kunci utama restrukturisasi Garuda adalah persetujuan kreditur. Tidak mungkin pemegang saham tanpa persetujuan kreditur bisa bergerak. Kami tekankan nasib Garuda bukan hanya di pemegang sahamnya, tapi di krediturnya," urainya.

Berdasarkan proposal perdamaian komprehensif untuk seluruh krediturnya, GIAA ingin mengubah struktur utangnya. Bagi utang pajak dan karyawan tidak ada perubahan, tetapi dilunasi secara bertahap.

Kemudian, kreditur secured dilunasi melalui collateral settlement tanpa pengurangan utang, kemudian obligasi wajib konversi atau OWK dikonversi seluruhnya menjadi ekuitas.

Sementara itu, bagi utang Bank Himbara, Pertamina, Airnav, dan Gapura dikonversi menjadi zero coupon bound (ZCB) dan ekuitas yang diterbitkan baru oleh GIAA dengan nominal nilai yang akan sama dengan nominal saat ini.

"Contohnya, utang Rp1 triliun kami issue nominalnya menjadi Rp200 miliar, tapi nominalnya di 20 tahun mendatang menjadi Rp1 triliun. Kami negosiasikan dengan Pertamina sehingga persepsi kerugian negara tidak ada, dikonversi jadi ZCB 20 tahun dari sekarang, tidak ada pemotongan langsung dalam jangka pendek untuk BUMN-BUMN ini," urainya.

Untuk utang sukuk, KIK EBA, akan dibuat pengajuan utang baru dengan bunga rendah ditambah ekuitas pada Garuda. Adapun, tawaran pinjaman baru tersebut dengan porsi sekitar 20% dan sisanya dikonversi menjadi ekuitas.

"Kreditur yang pegang global sukuk, KIK EBA, LPE, bank swasta, harapannya mereka konversi ke ekuitas," paparnya.

Utang terhadap Angkasa Pura I, Angkasa  Pura II, vendor usaha lainnya, serta lessor diharapkan dapat dikonversikan menjadi ekuitas jangka panjang pula dengan kupon utang baru.

Seluruh skema kupon utang baru ini dapat mengurangi beban utang dari lini tersebut antara 70% hingga 85%. Pembelian pesawat baru juga akan menggunakan kupon utang baru dan ekuitas di Garuda.

"Secara individual berbeda, antara lessor Boeing 737, Boeing 777 akan beda rumusan konversi tergantung kebutuhan kami akan pesawatnya, akan dibayar 30 sen, 20 sen, ada yang tidak dibayar sama sekali. Itu sangat kompleks," paparnya.

DUA OPSI

Tiko mengatakan bahwa tengah mempertimbangkan dua opsi restrukturisasi yakni melalui pengadilan (in court) atau di luar pengadilan (out court). Namun, pemerintah memprioritaskan untuk menggiring proses restrukturisasi keuangan ke pengadilan dan masuk melalui mekanisme PKPU.

Dia juga menekankan terdapat salah persepsi yang menyebut Kementerian BUMN ingin mempailitkan Garuda, karena sebenarnya mekanisme pengadilan ditujukan untuk mendapatkan perdamaian.

"Di PKPU kami akan ajukan proposal perdamaian, sebagai pemegang saham dan perusahaan, kemudian di-voting. Kalau setuju dengan proposal akan jadi homologasi mengikat semua pihak," terangnya.

Jika gagal dan para kreditur tidak setuju, Garuda akan dinyatakan pailit secara hukum. Persepsi publik yang salah yakni pemerintah ingin mempailitkan Garuda Indonesia. Padahal, pemerintah ingin menyelamatkan Garuda melalui skema pengadilan dengan tujuannya homologasi perdamaian.

Ketika PKPU dilakukan, lessor luar negeri harus mendaftarkan diri di Indonesia agar dapat tunduk terhadap yurisdiksi di Indonesia, walaupun harus mendaftarkan lagi hasilnya di Pengadilan Niaga London.

"Ini pelik, karena ada masalah waktu yang mesti dipercepat, tidak mungkin negosiasi satu-satu 60 kreditur bisa 2 tahun tak selesai," ungkapnya.

Dengan demikian, pemerintah sebagai pemegang saham pengendali cenderung memilih restrukturisasi melalui jalur hukum. Dalam proses ini pemerintah dapat melakukan restrukturisasi seluruh kreditur secara sekaligus.

Salah satu tantangan utama yakni kreditur Garuda 70% diantaranya merupakan kreditur asing sehingga dinamikanya berbeda dengan BUMN lain. Sulit pula melakukan permohonan moratorium karena tidak semua pemberi sewa atau lessor mau moratorium.

Selain itu, posisi ekuitas GIAA juga menjadi tantangan karena likuiditas yang tidak cukup saat ini. Belum lai adanya risiko tuntutan hukum karena yurisdiksi yang berbeda. Walau di Indonesia mereka mau moratorium, bisa digugat yuridiksi di Inggris.

"Oleh karena itu, kami cenderung mendorong menjadi restrukturisasi in court. Opsi utamanya jadi restrukturisasi in court. Bagusnya apapun hasilnya mengikat seluruh kreditur," katanya.

Ketika hasilnya mengikat seluruh kreditur, termasuk untuk kreditur luar negeri, semua mesti mendaftar terlebih dahulu di Indonesia. Begitu pula hasilnya, nanti perlu didaftarkan di Pengadilan Niaga di London agar dapat diratifikasi oleh kreditur lainnya atau melalui UK scheme.

"Lewat ini bisa beri kemampuan akhiri dan negosiasi ulang semua perjanjian perdamaian ini 75% setuju, 25% tak setuju tetap bisa diputus setuju dengan voting. Sementara, tanpa court harus ada 100% persetujuan. Kalau ada yang tak setuju bisa gagal perjanjiannya," urainya.

Namun, tantangan berat menghadang dari para lessor yang pesawatnya sudah pasti dilepas oleh Garuda Indonesia. GIAA berencana mengurangi jumlah pesawatnya dari 208 pesawat menjadi hanya 134 pesawat dengan menyisakan 7 jenis pesawat dari 13 jenis yang digunakan saat ini.

Bagi lessor yang pesawatnya dilepas oleh GIAA, akan menjadi situasi tidak menguntungkan karena pesawat dilepas dan utang ingin dibayar. Dengan demikian, perlu ada pemanis agar dapat disetujui.

"Ini semua akan sangat membutuhkan waktu dan kompleks, karena secara legal ini ada yurisdiksinya di Indonesia, di London, dan mungkin sebagian di Singapura. Kami akan gunakan yurisdiksi utama untuk menyelesaikan isu legalnya," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.