Pernyataan Lex Fridman dalam episode siniarnya pekan lalu membekas di pikiran saya.
"Terkadang," kata Fridman, "sedih bagiku menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang enggan menghargai aspek gelap dari suatu kegilaan."
Saintis MIT yang konon punya IQ di atas 160 itu sedang membahas kehidupan Elon Musk.
Bersama Walter Isaacson, penulis biografi Musk dan eks redaktur Time, keduanya mendiskusikan tren sikap publik terhadap sisi buruk seorang tokoh.
Salah satu poin mengarah pada kesimpulan bahwa saat ini, kebanyakan orang belum menyadari betapa capaian Musk merintis enam perusahaan besar bukan semata karena dia jenius dan pekerja keras. Tetapi juga dibentuk oleh trauma, luka, dan sisi buruk kepribadian masing-masing.
Gagal paham itu, masih menurut Fridman, bikin orang-orang mengharapkan kesempurnaan. Padahal, justru ketidaksempurnaan-lah yang membuat sosok seperti Musk tadi mampu menghasilkan perubahan penting.
Pernyataan Fridman itu kemudian diafirmasi Isaacson yang duduk di hadapannya.
Selain Musk, Isaacson sebelumnya pernah menulis buku biografi Leo Da Vinci, Albert Einstein, Benjamin Franklin, hingga Steve Jobs. Menurutnya, ada satu kesamaan unik dari tokoh-tokoh tersebut.
"Mereka semua memiliki iblis di dalam diri masing-masing. Namun berbeda dengan aku atau kebanyakan orang, mereka sadar dengan keberadaan iblis itu, dan justru menjadikannya pendorong untuk mencapai tujuan besar."
Tumbuh di Afrika, kehidupan Musk memang menyimpan cerita gelap. Jadi langganan bullying sekolah hingga kekerasan fisik orang tua, membentuk bos Tesla tersebut tumbuh sebagai sosok arogan minim empati.
Pun, misalnya, dengan Steve Jobs. Mendiang pendiri Apple itu "dibuang" orang tua biologisnya setelah lahir. Trauma ini memicu sisi iblis Jobs, yang muncul dalam bentuk sikap egois, narsis, keras kepala, dan resisten.
Steve Wozniak, kawan Jobs saat merintis Apple, pun mengamini. Ada banyak hal buruk yang tidak dia suka dari mendiang koleganya.
"Bila saya yang saat itu memimpin Apple, saya akan lebih perhatian pada karyawan.
Berkomunikasi lebih baik, dan mau menerima masuan," kenang Woz dalam salah satu petikan wawancara.
Akan tetapi, Woz lantas meluruskan bahwa sikap malaikatnya itu justru akan berdampak pada kehancuran Apple.
"Namun jika saya yang memimpin Apple, tentu produk-produk hebat seperti Macintosh tidak akan pernah muncul ke dunia ini."
Saya dan Anda yang membaca naskah ini, agaknya, juga sama. Sadar atau tidak, kita punya sisi iblis yang barangkali berseberangan dengan segala "hal baik" dalam stigma masyarakat.
Tetapi pesan Fridman, Isaacson, dan Woz rasanya lebih dari cukup sebagai alarm. Suatu pengingat bahwa yang terpenting bukanlah menghilangkan iblis itu, melainkan bagaimana kita mesti memahami dan menjadikannya pendorong untuk mewujudkan segala yang kita impikan.