Hari ini, 22 November 2021, umur Otoritas Jasa Keuangan genap 10 tahun.
Satu dasawarsa bukan usia yang pendek untuk suatu lembaga. Namun, bukan umur yang panjang, karena pekerjaan rumah masih ada.
Secara yuridis, otoritas pengawas industri keuangan lahir pada 22 November 2011, setelah ketok palu UU No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, proses penyatuan pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap.
Pengawasan industri keuangan nonbank dan pasar modal, secara resmi beralih dari Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) ke OJK pada 31 Desember 2012.
Adapun pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013, dan lembaga keuangan mikro pada 2015. Banyak hal telah dilalui OJK dalam satu dasawarsa ini, baik dari sisi pro dan kontra.
OJK sebenarnya lahir dari amanat reformasi 1998. Sistem pengawas lembaga keuangan yang terpusat di Bank Indonesia, dinilai menimbulkan konflik kepentingan. Apalagi waktu itu bank sentral berada di bawah payung pemerintah.
Hal itu berbuntut pada skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dampaknya, utang rekapitulasi terhadap bank yang terpapar krisis moneter pada 1997&mdash;1998, masih membebani anggaran negara hingga saat ini. Berupa angsuran pokok beserta bunganya.
Namun, amanat reformasi itu baru terealisasi setelah 13 tahun. Itu pun karena ada pemantik tambahan. Pemangku kepentingan republik ini kembali tersadar setelah terjadi krisis keuangan global pada 2008.
Krisis keuangan global membuat perbankan nasional terdampak. Satu bank kolaps dan diselamatkan oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan.
Perdebatan dari soal pengawasan perbankan dan kelayakan bailout menjadi soal kala itu. Hingga menimbulkan semangat baru untuk melahirkan pengawasan keuangan secara terpisah dari Bank Indonesia.
Tekad anggota legislatif mengkristal sampai melahirkan UU No. 21/2011 untuk mendirikan OJK.
Setelah disahkan, sempat terjadi perdebatan, apakah pemisahan pengawasan menjadi langkah ideal, karena sejumlah negara, seperti Inggris mengembalikan pengasawan ke bank sentral.
Gerbong kereta terus bergerak. Pemilihan anggota dewan komisioner OJK dilakukan.
Pegawai yang dulu mengawasi lembaga keuangan dari Kemenkeu, Bapepam LK, dan Bank Indonesia digeser ke OJK secara bertahap. Pemisahan pengawasan berjalan mulus.
Banyak hal dilalui OJK dalam satu dasawarsa ini. Yang paling mencolok dalam dua tahun terakhir. Krisis kesehatan wabah Covid-19 memukul sendi-sendi perekonomian, termasuk industri jasa keuangan.
Sejumlah bank dan nonbank terpapar krisis tersebut. Sejumlah pihak pun mempertanyakan soal pengawasan satu atap yang tetap menimbulkan kebocoran. Hingga memunculkan ide agar pengawasan dikembalikan ke bank sentral.
Namun, setelah dilihat lebih dalam, munculnya masalah pada sejumlah lembaga keuangan adalah warisan lama yang belum tuntas. Seperti Jiwasraya dan Bumiputera. Adapun pengawasan di perbankan relatif terjaga.
Desakan untuk mengembalikan pengawasan ke bank sentral pun meredup. Beserta sejumlah langkah tegas yang diambil otoritas untuk menyelesaikan sejumlah masalah warisan pada industri jasa keuangan.
Lalu apakah tugas OJK saat ini menjadi lebih ringan? Menurut harian ini, tentu saja tidak. Otoritas tidak serta merta bisa berpangku tangan setelah desakan pengembalian fungsi pengawasan ke bank sentral meredup.
Pekerjaan berat otoritas masih menanti meskipun sejauh ini mampu melewati jalan terjal wabah Covid-19. Virus corona masih mengintai. Sewaktu-waktu kasus naik, bisa membawa sentimen negatif perekonomian, khususnya lembaga keuangan.
Selain itu, industri keuangan kian kompleks. Saat ini, OJK memegang kendali terhadap pengawasan sistem keuangan dengan total aset lebih dari Rp19.418 triliun per Mei 2021, yang terdiri dari sektor perbankan, industri keuangan non bank, dan pasar modal.
Perinciannya, sektor perbankan asetnya mencapai Rp9.431,42 triliun, industri keuangan nonbank Rp2.677,61 triliun, dan pasar modal Rp7.309,14 triliun.
Munculnya konglomerasi keuangan, baik yang berstatus konglomerat lama maupun baru menjadi pekerjaan tidak gampang bagi OJK dalam pengawasan.
Apalagi ragam konglomerat saat ini berstatus sebagai pembuat kebijakan&mdash;eksekutif yang berbisnis&mdash;sekaligus pemain. Harapannya OJK tetap dan bisa menjadi wasit yang independen, seperti visi dan misinya.

Munculnya masalah pada sejumlah lembaga keuangan adalah warisan lama yang belum tuntas

TAJUK : Refleksi Satu Dekade Otoritas Keuangan

Apabila terjerat pinjol ilegal, penting untuk segera melunasi utang. Selanjutnya, jangan gali lubang tutup lubang.

Kelompok Masyarakat Paling Banyak Terjerat Pinjol Ilegal

Kebijakan bank sentral menaikkan suku bunga tentu memberi dampak ke berbagai sektor. Kebijakan tersebut akan menghambat keinginan ekspansi dunia usaha yang pada kuartal I/2024 cukup bergairah karena semakin mahalnya akses pembiayaan perbankan.

Dampak Kenaikan BI Rate Jadi 6,25%, Ini Sektor Paling Terpukul

Kunjungan pejabat AS ke China untuk kesekian kalinya dibayangi dengan rentetan masalah yang menjadi alasan ketegangan hubungan belum reda. 

Kemelut di Balik Senyum AS-China

Emiten batu bara milik kongsi Grup Salim dan Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) merancang manuver untuk memperbaiki struktur ekuitas melalui kuasi reorganisasi. Pada saat yang sama, BUMI mempertajam strategi akselerasi kinerja pada 2024.

Momentum Akselerasi Kinerja BUMI

Subholding pelayaran Pertamina ini menyiapkan kapitalisasi pasar setara Rp64,8 triliun, nilai IPO pun rencananya lebih dari Rp8,1 triliun.

Bocoran IPO Jumbo Pertamina International Shipping pada 2025

Bakauheni Harbour City menjadi menjadi ikon baru warga Sai Bumi Ruwa Jurai yang dikembangkan oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).