Tak Mau Senasib Seperti SVB, Ini Strategi BNI

PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BBNI berupaya terus melakukan diversifikasi aset di tengah keuruntuhan Silicon Valley Bank (SVB) dan kekhawatiran akan dampak yang mengikutinya.

Emanuel Berkah Caesario
15 Mar 2023 - 13.43
A-
A+
Tak Mau Senasib Seperti SVB, Ini Strategi BNI

Karyawan melayani nasabah di kantor cabang PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), Jakarta, Jumat (30/12). /Bisnis-Abdurachman

Bisnis, JAKARTA — PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BBNI menjamin fundamental perseroan berada dalam kondisi yang relatif kuat dan tidak terdampak oleh kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB). Meski begitu, perseroan belajar dari kasus tersebut untuk memitigasi risiko.

BNI berupaya terus melakukan diversifikasi aset di tengah keuruntuhan SVB dan kekhawatiran akan dampak yang mengikutinya. Seperti diketahui, keruntuhan SVB terjadi terutama karena bisnisnya yang kurang terdiversifikasi, yakni terlalu fokus pada pembiayaan industri startup teknologi.

Direktur Finance BNI, Novita Widya Anggraini, mengatakan bahwa secara eksposur, BNI memang tidak terkait bisnis dengan SVB. Alhasil, dampak bangkrutnya bank di Amerika Serikat (AS) itu terhadap kinerja perseroan minim.

"Namun, apa yang terjadi di SVB ini memang kita perlu belajar," kata Novita dalam konferensi pers rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) BNI pada Rabu (15/3/2023).

Menurutnya, BNI mempunyai fundamental bisnis yang kuat. Rasio kecukupan permodalan atau capital adequacy ratio (CAR) ada pada level 19,3 persen per 31 Desember 2022. "Angkanya lebih tinggi juga dibandingkan bank-bank global lainnya," kata Novita.


Likuiditas perseroan juga menurutnya dalam posisi yang stabil. Rasio kecukupan likuiditas atau liquidity coverage ratio (LCR) BNI per 31 Desember 2022 ada di level 219 persen. "Jauh di atas persyaratan aturan otoritas," ujarnya.

Dari sisi liabilitas, Novita juga mengatakan kepercayaan deposan di dalam negeri masih kuat terhadap kondisi perseroan.

Kemudian, dari sisi aset, perseroan berupaya tetap melakukan diversifikasi untuk mengurangi risiko konsentrasi. Ia mengatakan, 80 persen aset BNI terdiri dari kredit. Kemudian, hanya 20 persen aset BNI yang berupa obligasi.

Komposisi obligasi di BNI sendiri 94 persennya merupakan obligasi pemerintah. Ia mengatakan bahwa tenor obligasi itu pun pendek. "Jadi, risikonya rendah. Kami pun selalu lakukan mitigasi risiko," ujarnya.

Seiring dengan fundamental yang solid, BNI pun percaya diri untuk membagikan dividen sebesar Rp7,3 triliun tahun ini. Nilai dividen itu mencapai 40 persen dari total laba bersih tahun buku 2022 yang sebesar Rp18,31 triliun.

Rasio dividen BNI itu naik dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 25 persen dengan nilai dividen Rp2,72 triliun.

Gangguan risiko konsentrasi memang menjadi salah satu kendala pada bank AS yang baru-baru ini runtuh, SVB. Bank yang didirikan pada 1983 itu memiliki spesialisasi pembiayaan ke startup berbasis teknologi. Portofolio separuhnya dialokasikan ke startup dan layanan kesehatan Amerika.

Bangkrutnya SVB juga terimbas kenaikan suku bunga secara agresif. Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sejak tahun lalu untuk menekan lonjakan inflasi. Kenaikan suku bunga merupakan momok menakutkan bagi perusahaan rintisan yang menjadi portofolio andalan SVB.

Pemodal berpaling untuk menambah investasi di startup. Akibatnya, perusahaan menarik dananya di SVB untuk memenuhi likuiditas.

Bank ini akhirnya dilaporkan bangkrut pada Jumat (10/3/2023) pagi waktu setempat usai gagal mengumpulkan dana tambahan sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam.

(Reporter: Fahmi Ahmad Burhan)

Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar