Tantangan Transisi EBT di Indonesia, Energi Fosil Mendominasi

Untuk bisa melakukan transisi energi di Indonesia atau beralih menggunakan energi bersih dan ramah lingkungan, bukanlah yang mudah mengingat penggunaan energi fosil di Indonesia masih mendominasi.

Ibeth Nurbaiti

20 Feb 2023 - 19.44
A-
A+
Tantangan Transisi EBT di Indonesia, Energi Fosil Mendominasi

Foto udara kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Sabtu (5/3/2022). Dalam rencana penyediaan tenaga listrik 10 tahun ke depan, pengembangan EBT mendapatkan porsi paling besar yakni 51,6 persen, sedangkan porsi energi fosil 48,4 persen. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

Bisnis, JAKARTA — Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang sangat melimpah, mulai dari energi surya, bayu, hidro, bioenergi, panas bumi, hingga laut yang totalnya mencapai 3.686 gigawatt (GW).

Hanya saja, untuk bisa beralih menggunakan energi bersih dan ramah lingkungan tersebut bukanlah yang mudah, mengingat penggunaan energi fosil di Indonesia masih mendominasi. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahkan lebih dari 90 persen sumber energi di Indonesia adalah bahan bakar fosil.

Dalam keterangan resminya, Sri Mulyani menyebut ada dua tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah saat ini dalam mekanisme transisi energi, yakni bagaimana membangun infrastruktur energi yang berkeadilan dan terjangkau serta mengatasi masalah pembiayaan dalam hal investasi.

Baca juga: Batu Bara Masih Diandalkan, Target EBT Kian Jauh dari Harapan?

Dalam agenda Munich Security Conference bertajuk Power Shifts Geopolitics of the Green Transation, dia mengungkapkan bahwa banyak negara yang memiliki kebutuhan untuk terus tumbuh dan berkomitmen terhadap pengurangan emisi karbon tetapi terganjal dengan adanya kebutuhan energi yang sangat mahal.

“Di Indonesia, 62 persen energi kita berasal dari batu bara dan lebih dari 90 persen sebenarnya adalah bahan bakar fosil. Kami ingin meningkatkan energi terbarukan menjadi 23 persen,” ungkapnya dikutip dari keterangan resmi, Senin (20/2/2023). 

Baca juga: Optimalisasi Potensi Gas Bumi di Tengah Ancaman Resesi

Sebagai gambaran dalam rencana penyediaan tenaga listrik 10 tahun ke depan, pengembangan EBT mendapatkan porsi paling besar yakni 51,6 persen, sedangkan porsi energi fosil 48,4 persen. Kapasitas pembangkit EBT akan ditambah hingga 20.923 megawatt (MW), sedangkan total tambahan kapasitas pembangkit energi fosil adalah 19.652 MW. Secara keseluruhan, pemerintah membidik penambahan kapasitas listrik hingga 40.575 MW pada 2030.

Adapun, pemerintah telah berkomitmen akan mengurangi emisi CO2 sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional untuk mencapai net zero emission pada 2060, sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC).

Kendati demikian, persoalan pembiayaan, imbuh Sri, menjadi elemen yang sangat penting dalam mekanisme transisi energi, mengingat transisi dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan memerlukan kekuatan dari sisi keuangan dan teknologi.

Baca juga: Menanti Jalan Tengah Polemik Penjualan Sertifikat Energi Hijau

Hal-hal yang menjadi pertimbangan, antara lain besaran biaya, pihak yang akan membayar, insentif, serta subsidi yang akan disiapkan pemerintah.

“Ketika Anda dapat menghitung berapa biayanya, dari mana pembiayaan ini berasal? Apakah itu publik, lembaga multilateral, sektor bilateral atau swasta. Berapa biaya untuk setiap sumber pembiayaan, apalagi dengan situasi saat ini di mana suku bunga semakin tinggi, maka cost of fund akan semakin mahal,” ujar Sri. 

Baca juga: Secercah Harapan Indonesia Merajai Energi Hijau Dunia

Tak hanya itu, lanjutnya, energi terbarukan juga membutuhkan investasi, modal, dan teknologi yang berbeda di setiap negara. Namun, dia menegaskan perubahan iklim merupakan masalah publik global sehingga tidak dapat diselesaikan sendiri oleh masing-masing negara. Semua negara bicara tentang komoditas yang sama yaitu CO2, karbon. 

“Jika Anda melihat dunia, harga karbon berbeda. Beberapa negara sudah menerapkan pasar karbon dengan harga yang berbeda, bahkan beberapa negara tidak memiliki pasar karbon,” katanya.


Menurut dia, jika sebuah pemerintahan tidak memiliki posisi fiskal yang sehat maka akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, Indonesia pada Presidensi G20 tahun 2022 melakukan langkah nyata dengan meluncurkan mekanisme transisi energi dan mendapatkan perhatian dari banyak negara termasuk Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang.

“Itu sebabnya selama G20 di Indonesia, mereka mengumumkan bahwa kemitraan transisi energi berjanji akan dialokasikan hingga US$20 miliar untuk Indonesia dalam rangka mendukung transisi ini,” ujar Sri. 

Bagaimanapun, transisi energi merupakan suatu keharusan di mana semua negara saat ini sedang menghadapi dampak perubahan iklim. Bagi Indonesia, dengan melimpahnya dan dimanfaatkannya EBT dapat dijadikan modal utama dalam melakukan transisi energi.

Baca juga: Maju Mundur Pajak Karbon, Batas Emisi Belum Jelas

“Listrik Indonesia saat ini kurang lebih 81 GW. Bayangkan kita memiliki sumber 3.700 GW. Ini masih banyak sekali. Artinya apa, ini adalah modal kita yang lebih dari cukup untuk melakukan transisi energi dengan cara dimanfaatkannya,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana dalam keterangannya, belum lama ini.

Dia tidak menampik bahwa energi yang ada saat ini sebagian besarnya berasal dari fosil. Penggunaan batu bara pada pembangkit juga masih menjadi pilihan selama masa transisi energi berlangsung.


“Listrik yang kita nikmati itu 86 persennya datang dari energi fosil, dan energi fosil adalah energi yang mengeluarkan emisi lumayan tinggi. Terangnya lampu saat ini 64 persennya datang dari batu bara yang tentu saja itu penyumbang emisi yang paling besar di antara yang lain,” kata Rida.

Namun, imbuhnya, ketergantungan Indonesia terhadap batu bara bukanlah sebuah kesalahan atau hal yang perlu disesali, tetapi justru hal yang patut disyukuri sebab Indonesia dikaruniai batu bara yang berlimpah yang dimanfaatkan untuk pergerakan ekonomi.

“Itu tidak salah, yang salah adalah kalau kita tidak melakukan apa-apa. Kita kan punya batu bara banyak, itu tidak perlu disesali, malah harus disyukuri karena itu adalah anugerah,” tutur Rida. (Feni Freycinetia Fitriani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.