Tantangan Transisi Energi Indonesia: Listrik dan Investasi Mahal

Transisi energi dari fosil ke EBT bukanlah hal yang mudah karena penuh dengan sejumlah tantangan. Keamanan pasokan hingga risiko mahalnya biaya energi yang harus dikeluarkan masyarakat untuk beralih ke energi yang lebih bersih ini menjadi isu penting yang harus segera dicarikan solusinya.

Ibeth Nurbaiti

15 Nov 2022 - 18.00
A-
A+
Tantangan Transisi Energi Indonesia: Listrik dan Investasi Mahal

Pekerja melakukan perawatan panel surya yang terpasang pada atap Pabrik Bogasari Cibitung saat peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (9/9/2022). Pengoperasian PLTS ini menjadi pilot project untuk 3 pabrik Bogasari lainnya yang berlokasi di Jakarta, Surabaya dan Tangerang, dan merupakan bagian dari komitmen perusahaan dalam menjalankan konsep Green Industry atau Industri Hijau. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis, JAKARTA — Transisi energi menjadi suatu keharusan yang mutlak dilakukan oleh setiap negara-negara di dunia untuk mengatasi perubahaan iklim. Hal itu pula yang dilakukan Indonesia dengan terus menggencarkan kebijakan transisi energi dengan mengedepankan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).

Namun, transisi energi dari fosil ke EBT bukanlah hal yang mudah karena penuh dengan sejumlah tantangan. Keamanan pasokan hingga risiko mahalnya biaya energi yang harus dikeluarkan masyarakat untuk beralih ke energi yang lebih bersih ini menjadi isu penting yang harus segera dicarikan solusinya. 

Baca juga: Mengurai Tantangan Target Nol Emisi Karbon Jelang Puncak KTT G20

Belum lagi persoalan investasinya yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang diperkirakan bisa mencapai sekitar US$5,7 miliar per tahun untuk mendanai transisi energi. Kondisi itu kemudian diperparah dengan rendahnya ketertarikan perbankan untuk berinvestasi di bidang EBT, dengan dalih bauran energi bersih dinilai masih berisiko tinggi.

Di sisi lain, dalam rencana penyediaan tenaga listrik 10 tahun ke depan pengembangan EBT mendapatkan porsi paling besar yakni 51,6 persen, sedangkan porsi energi fosil 48,4 persen. Kapasitas pembangkit EBT akan ditambah hingga 20.923 megawatt (MW), sedangkan total tambahan kapasitas pembangkit energi fosil adalah 19.652 MW. Secara keseluruhan, pemerintah membidik penambahan kapasitas listrik hingga 40.575 MW pada 2030.

Baca juga: B20 Lahirkan Kawasan Industri Hijau Pertama di Asia Tenggara

Adapun, pemerintah telah berkomitmen akan mengurangi emisi CO2 sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional untuk mencapai net zero emission pada 2060, sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC).

Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya ada tiga hal menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani yang bisa dilakukan yakni pertama, meningkatkan dan memanfaatkan lebih banyak energi terbarukan; kedua, pengurangan penggunaan bahan bakar fosil; dan ketiga, pemanfaatan teknologi untuk mengurangi emisi karbon, misalnya dengan menerapkan carbon capture and storage.

Namun demikian, ketiga langkah tersebut juga memiliki tantangan tersendiri. Dalam upaya penerapan fasilitas penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization and storage (CCUS), misalnya, untuk menekan gas buang pada seluruh infrastruktur pembangkit fosil milik PT PLN (Persero) saja membutuhkan biaya yang mencapai US$700 miliar atau setara dengan Rp10.714 triliun dengan kurs Rp15.306.

Sementara itu, untuk melakukan phase out atau menghentikan secara bertahap operasional PLTU sampai dengan kapasitas 15 gigawatt (GW) dan menggantinya dengan kapasitas yang sama pembangkit listrik EBT, menurut Menteri BUMN Erick Thohir, dibutuhkan biaya sekitar US$600 miliar. 

Baca juga: Cerita Pensiun Dini PLTU Batu Bara Segera Meluncur di KTT G20

Di sisi lain, Wakil Menteri BUMN I Pahala N. Mansury membeberkan bahwa perbankan serta pemberi pinjaman komersial masih ragu-ragu untuk mendanai program pensiun dini PLTU berbasis batu bara lantaran menghindari portofolio fosil dalam kegiatan pembiayaan mereka.

Menurutnya, perbankan telah menghindar untuk membiayai seluruh program yang berkaitan dengan PLTU guna menjaga portofolio mereka, meskipun untuk membiayai program pensiun dini PLTU yang berkontribusi cukup signifikan terhadap penurunan gas buang. 

Baca juga: Lampu Hijau, Program Biodiesel B40 Siap Melaju

Terkait dengan biaya energi yang harus dikeluarkan masyarakat untuk beralih ke energi yang lebih bersih, PLN berharap agar program pensiun dini PLTU batu bara tetap menjamin ketersediaan listrik murah bagi pelanggan yang mayoritas berasal dari konsumsi rumah tangga bersubsidi.

Bagaimana pun, kata EVP Operasi Pembangkitan PLN Suwarno, perusahaan setrum pelat merah itu menaruh perhatian serius terkait dengan isu harga kelistrikan pada tingkat konsumen setelah program pensiun dini PLTU mulai terlaksana lewat skema energy transition mechanism (ETM) untuk PLTU Cirebon-1 dengan kapasitas 660 megawatt (MW) yang berlokasi di Jawa Barat.


“Tentunya ke depan harus sejalan dengan harapan pelanggan yaitu harga terjangkau oleh pelanggan ke depan, pengembangan energi baru terbarukan harus mempertimbangkan masalah terkait dengan harga,” kata Suwarno saat Dialogue on IPP Just Energy Transition Initiatives di Bali disiarkan lewat zoom, Selasa (15/11/2022).

Suwarno berharap agar pensiun dini PLTU secara masif dapat diikuti dengan pemasang kapasitas baru pembangkit berbasis EBT dengan daya dan harga yang relatif sama dengan pembangkit fosil.

Baca juga: Pensiun Dini PLTU dan Keraguan Pendanaan Perbankan RI

“Untuk pensiun dini harus ada sinkronisasi kecukupan daya untuk melayani pelanggan, baik itu masuknya transmisi atau pembangunan EBT, kami harapkan cadangan harus tetap ada sehingga pelanggan tetap terlayani dengan baik,” ujarnya. (Nyoman Ary Wahyudi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.