Teka-teki Rezim CPO Tanpa Moratorium Sawit

Nasib perpanjangan moratorium perluasan lahan perkebunan kelapa sawit masih menjadi misteri setelah kebijakan terdahulu berakhir pada 19 September 2019. Jika mandatori itu tidak dilanjutkan, apa saja risiko dan peluang yang akan dihadapi Indonesia? Simak ulasannya.

Iim Fathimah Timorria

21 Sep 2021 - 19.27
A-
A+
Teka-teki Rezim CPO Tanpa Moratorium Sawit

Petani membawa kelapa sawit hasil panen harian di perkebunan milik PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk, di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Rabu (11/5). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Setelah berakhir pada 19 September 2021, moratorium perluasan lahan kelapa sawit tak kunjung mendapatkan kejelasan perpanjangan. Ketiadaan ekstensi kebijakan tersebut pun dikhawatirkan memengaruhi harga dan ekspor crude palm oil (CPO).

Penyebabnya, harga minyak sawit mentah diramal turun jika moratorium sawit tidak diperpanjang. Untuk itu, pemerintah juga disarankan melanjutkan kebijakan tersebut demi meminimalisir reaksi negatif pasar.

“Penghentian moratorium perluasan lahan sawit berpotensi kembali akan meningkatkan jumlah lahan sawit, dan memicu penambahan produksi dalam jangka panjang sehingga dapat menekan harga CPO,” kata ekonom Bank Permata Josua Pardede, Selasa (21/9/2021).

Terlepas dari itu, Josua juga menilai moratorium ekspansi lahan sawit perlu diperpanjang karena merupakan isu sensitif di tingkat internasional.

Dia pun menyoroti sejumlah hambatan nontarif yang digulirkan negara mitra dagang karena isu lingkungan yang menyertai komoditas tersebut.

“Jika pemerintah ingin meningkatkan kinerja ekspor CPO, sebaiknya dilakukan melalui intensifikasi, bukan ekstensifikasi melalui perluasan lahan. Masih banyak peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekspor CPO, di antaranya dengan peremajaan sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas kebun petani rakyat.”

Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro pun mengatakan kelanjutan moratorium izin perkebunan sawit di Indonesia akan menjadi perhatian dunia.

Selama tiga tahun berlakunya Instruksi Presiden (Inpres) 8/2018 yang mengatur perihal moratorium tersebut, penghentian pemberian izin baru untuk konsesi kelapa sawit dinilainya telah membuat produksi minyak sawit stabill.

Dia mengatakan moratorium yang tidak diperpanjang akan berdampak terhadap perekonomian, mengingat kontribusi komoditas tersebut ekspor nonmigas merupakan salah satu yang terbesar.

Sebagai eksportir minyak sawit terbesar di dunia, izin pembukaan perkebunan yang kembali diberikan bisa menjadi sinyal bahwa Indonesia siap menggelontorkan lebih banyak minyak nabati ke pasar.

Menurut Satria, hal tersebut dapat memicu koreksi harga CPO yang telah melonjak lebih dari 50% dalam setahun terakhir, padahal kenaikan harga CPO telah menopang neraca perdagangan dan rupiah di tengah kekhawatiran akan efek taper tantrum.

"Kami melihat perpanjangan kebijakan moratorium sebagai win-win solution, baik untuk lingkungan maupun ekonomi. Langkah ini merupakan upaya untuk melindungi lingkungan, serta meningkatkan tata kelola dan produktivitas perkebunan sawit skala menengah,” kata Satria.

Lain perspektif, ekonom pertanian dari IPB University Bayu Krisnamurthi mengatakan kebijakan moratorium sawit menyebabkan penambahan produktivitas relatif terbatas karena tidak ada izin baru untuk perluasan perkebunan.

Peningkatan produksi hanya bisa dilakukan melalui peningkatan produksi, termasuk lewat peremajaan, dan dengan pengelolaan lahan dari izin-izin yang terbit sebelum moratorium.

“Karena tambahan pasokan terbatas, pada pasar pasokan akan ketat. Akibatnya harga cenderung tinggi. Namun, moratorium sudah terjadi 10 tahun, sejak 2011. Selama itu produksi dan ekspor kita tetap tumbuh baik dalam jumlah maupun nilai,” kata Bayu.

OPTIMISME PENGUSAHA

Bagaimanapun, pelaku industri kelapa sawit meyakini harga CPO tetap akan terjaga sekalipun pemerintah tidak memperpanjang moratorium perluasan lahan.

Wakil Ketua Umum III Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan produksi minyak sawit masih menunjukkan kenaikan sejak moratorium digulirkan pada 2018.

Selama masa berlaku moratorium 3 tahun terakhir, pemerintah pun tidak mengeluarkan izin baru perkebunan sawit.

“Tanpa moratorium, sawit bisa expand karena masih banyak izin usaha perkebunan yang belum dikelola. Sejak moratorium pun produksi terus naik sampai sekarang, dan kalau PSR [peremajaan sawit rakyat] berhasil, anak naik lebih tinggi,” kata Togar.

Terkait dengan harga CPO di pasar global, Togar menyatakan pergerakan harga tidak akan lepas dari pengaruh harga minyak nabati lain seperti minyak kedelai atau minyak biji rapa.

Soal potensi naiknya pasokan minyak nabati global dan risiko koreksi harga jika moratorium tidak diperpanjang, Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono menyebut hal tersebut wajar dan hanya bersifat sementara.

“Ini juga akan sama kalau produktivitas nasional meningkat dan menyebabkan pasokan meningkat,” kata Eddy.

Di sisi lain, Eddy juga menekankan permintaan minyak nabati dunia cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Gapki  mengestimasikan kenaikan kebutuhan minyak nabati per tahun mencapai 5 juta ton.

“Inilah yang akan diperebutkan masing-masing minyak nabati. Jadi potensi mengisi pasar minyak nabati dunia masih ada, masalah harga tetap akan tergantung dengan supply dan demand,” tambahnya.

Dia memastikan Gapki tetap fokus pada upaya peningkatan produktivitas, salah satunya dengan mendukung pemerintah mempercepat peremajaan sawit rakyat.

Selain itu, pelaku usaha berkomitmen untuk taat pada aturan, termasuk mematuhi wajib sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagaimana berlaku saat ini.

“Selama moratorium ISPO juga bersifat wajib. Di sisi lain aspek keberlanjutan juga menjadi concern konsumen,” kata Eddy.

Kebun Sawit. /Sinar Mas Agribusiness

Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo mengatakan pengusaha siap mengantisipasi potensi produktivitas minyak sawit yang bertambah jika moratorium sawit tidak diperpanjang.

Salah satu antisipasi tersebut adalah dengan mendorong penghiliran produk sawit.

Dia meyakini keputusan mengenai kelanjutan atau berakhirnya moratorium bakal banyak dipengaruhi oleh aspek lingkungan. Namun, tegasnya, produksi minyak sawit nasional tetap bisa optimal sekalipun tidak ada izin baru pembukaan kebun sawit.

“Dengan moratorium pun, melalui perbaikan kualitas hasil perkebunan seperti replanting dan best practices tentu dapat meningkatkan produksi CPO kita,” kata Bernard, Selasa (21/9/2021).

Dia tidak memungkiri laju pertumbuhan produksi bisa lebih cepat jika moratorium tidak diperpanjang.

Meski demikian, Bernard mengatakan industri sudah siap menampung produksi untuk diproses menjadi produk turunannya.

“Dari stabilitas pasokan, Indonesia telah membuktikan melalui program B30 bisa menaikan jumlah konsumsi dalam negeri yang juga bisa digunakan sebagai instrumen kebijakan dalam menjaga stabilitas harga. Singkatnya, produksi naik, harga turun, tetapi program B30 bisa ditingkatkan misalkan ke B40 atau B50,” kata Bernard.

SIKLUS SUPER

Pada perkembangan lain, pemerintah menyebutkan momentum commodity supercycle yang memicu harga tinggi CPO dioptimasi dengan penghiliran minyak sawit. Normalisasi harga komoditas diyakini berdampak minim pada ekspor minyak sawit.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menjelaskan fenomena commodity supercycle turut mengakselerasi kinerja ekspor sawit karena memicu tren positif pada harga. Fenomena ini diperkirakan bertahan cukup lama.

“Saat ini ketika ada limpahan revenue yang dinikmati oleh eksportir sawit maka ada tambahan sumber daya yang dapat dialokasikan untuk melakukan penghiliran dan membangun basis produksi produk-produk yang bernilai tambah tinggi,” kata Kasan.

Data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor minyak nabati pada kode HS 15 mencapai US$20,64 miliar selama kurun Januari sampai Agustus 2021, naik 70,14% dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya.

Minyak sawit menjadi kontributor terbesar terhadap ekspor nonmigas dengan sumbangan 15,39%.

Data Kemendag juga memperlihatkan bahwa ekspor produk minyak sawit telah didominasi oleh produk hilir. refined, bleached, deodorized (RBD) palm oil menyumbang sekitar 67% dari total ekspor, sementara crude palm oil atau minyak mentah hanya 8%.

“Sehingga ke depan pergerakan harga CPO tidak terlalu memengaruhi kinerja ekspor secara agregat karena porsi ekspor produk hilir sawit sudah makin mendominasi pangsa ekspor kita,” tambahnya.

Dia juga menjelaskan kebijakan pemerintah saat ini telah didesain untuk menjaga momentum penghiliran sawit, di antaranya adalah penetapan bea keluar dan pungutan ekspor yang berlaku progresif mengikuti pergerakan harga internasional.

“Dengan momentum penghiliran yang ditopang oleh kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor, maka kita boleh optimisis bahwa harga CPO akan memiliki dampak yang minimal bagi kinerja ekspor Indonesia,” kata Kasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.