Telisik Penyebab Ketertinggalan Industri Pergulaan Nasional

Rata-rata kenaikan produksi gula Indonesia hanya sebesar 2,4 persen dalam kurun 1960 sampai 2015. Sebagai perbandingan, Brasil mencatatkan pertumbuhan sekitar 4 persen dan Thailand sebesar 7 persen.

Iim Fathimah Timorria

26 Nov 2021 - 14.28
A-
A+
Telisik Penyebab Ketertinggalan Industri Pergulaan Nasional

Buruh memanen tebu untuk dikirim ke pabrik gula di Ngawi, Jawa Timur, Selasa (8/8)./ANTARA-Ari Bowo Sucipto

Bisnis, JAKARTA — Ketertinggalan industri pergulaan nasional dibandingkan dengan negara produsen lainnya ditengarai lebih dipicu oleh masalah di sisi on farm.

CEO dan Founder Independent Research Advisory Indonesia (IRAI)  Lin Cha Wei mengatakan permasalahan on farm mencakup produktivitas dan rendemen yang rendah, serta rasio area penanaman dan kapasitas giling yang tidak seimbang.

“Indonesia punya gap yang lebar dalam hal pertumbuhan produksi dan produktivitas gula dibandingkan dengan negara lain. Kita lihat beberapa negara seperti Thailand, Brasil, dan Australia bisa terus meningkatkan kapasitas produksi,” kata Lin, Kamis (25/11/2021).

(BACA JUGA:  Darurat Revitalisasi Industri Gula, Ini Problem Krusialnya)

Data yang dihimpun IRAI menunjukkan rata-rata kenaikan produksi gula Indonesia hanya sebesar 2,4 persen dalam kurun 1960 sampai 2015. Sebagai perbandingan, Brasil mencatatkan pertumbuhan sekitar 4 persen dan Thailand sebesar 7 persen.

Sejumlah faktor yang memicu rendahnya produksi Indonesia, kata Lin, mencakup kualitas bibit yang rendah, praktik pertanian tradisional, dan perkebunan tebu yang tersebar milik petani kecil.

“Di sisi off farm, pemicu produktivitas yang rendah adaah mesin berusia tua yang minim penanganan serta operasional dan manajemen transportasi yang terbatas. Hal ini bisa [diselesaikan dengan] mengadopsi digitalsasi sebagai solusi,” katanya.

Dengan luas area mencapai 485.000 hektare (ha), rendemen gula Indonesia juga hanya sekitar 7,4 persen. Sementara itu, di Brasil mencapai 15 persen dan Thailand 11 persen.

Sebanyak 63 persen pabrik gula menghadapi ketidakseimbangan rasio luas area tanam dan kapasitas giling. Hal ini tak lepas dari makin berkurangnya area penanaman karena alih fungsi, terutama di Pulau Jawa.

“Melihat masalah-masalah ini, usaha harus mengarah pada penyelesaian masalah prioritas. Jadi yang punya dampak besar dan usaha yang relatif kecil sebenarnya bagaimana meningkatkan produktivitas tebu,” katanya.

Peningkatan produktivitas, sebut Lin, bisa ditempuh dengan memperbaiki kualitas tebu, pengembangan sumber daya manusia, memperbaiki teknik menanam, dan pengembangan perkebunan di wilayah klaster. Dengan demikian, biaya logistik bisa ditekan.

“Selain itu integrated factories juga akan meningkatkan stabilitas dan efisiensi usaha,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Holding Mohammad Abdul Gani menilai peningkatan produktivitas tebu dan kesejahteraan petani menjadi aspek paling mendesak dalam upaya merevitalisasi industri pergulaan nasional.

Penyebabnya, kedua isu tersebut merupakan pemicu Indonesia selalu gagal mencapai target swasembada gula.

Abdul menjabarkan rata-rata produktivitas gula Indonesia saat ini hanya berkisar 5 ton per ha per tahun.

Jumlah tersebut hanya sepertiga dari produktivitas pada 1930-an ketika produksi gula menembus 2,9 juta ton. Abdul mengatakan Indonesia menjadi eksportir gula terbesar kedua setelah Kuba dengan luas area hanya sekitar 196.000 ha.

“Dengan luas area saat ini sekitar 400.000 hektare, Indonesia hanya bisa memproduksi sekitar 2 juta ton per tahun. Produktivitas 5 ton per hektare per tahun. Maknanya produktivitas saat ini sepertiga dari produktivitas pada 1930. Sejak 1970-an kita sudah jadi net importer,” ujarnya.

Dia mengemukakan ndustri gula nasional, terutama pabrik-pabrik kelolaan PTPN, menghadapi masalah yang kompleks. Permasalahan dia sebut tak hanya pada tataran sisi on farm, tetapi juga off farm yang lantas berdampak pada tingkat produktivitas dan efisiensi yang rendah.

Dia meyakini kunci swasembada gula terletak perbaikan produktivitas tebu petani di Pulau Jawa. Hal tersebut, lanjutnya, menjadi salah satu perhatian utama perusahaan ke depan.

Abdul Gani berpendapat ekosistem gula domestik perlu ditata ulang dengan menempatkan petani tebu sebagai subjek yang harus diberdayakan. Kesejahteraan petani yang membaik bakal diiringi dengan perbaikan produksi.

“Revitalisasi industri gula tidak mungkin dapat tercapai tanpa memperhatikan petani. Revitalisasi gula tanpa memperhatikan petani merupakan kebijakan yang absurd,” kata dia.

PTPN sendiri menargetkan produksi gula perusahaan mencapai 1,8 juta ton pada 2024.  Untuk mewujudkan target tersebut, perusahaan melakukan perluasan lahan tebu dengan  menggandeng PT Perhutani dan pemerintah daerah untuk optimasi lahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.