Tenaga Lemah Debut Blibli (BELI) di Pasar Saham

Saham PT Global Digital Niaga Tbk. atau Blibli (BELI) ditutup stagnan di hari pertama perdagangannya di pasar saham, Selasa (8/11). Potensi penguatan sahamnya pun masih belum menentu, meski bukannya tak ada harapan sama sekali.

Emanuel Berkah Caesario

8 Nov 2022 - 18.59
A-
A+
Tenaga Lemah Debut Blibli (BELI) di Pasar Saham

Karyawan Blibli.com siap mengantarkan barang ke pelanggan, di sela-sela peluncuran BlibliMART, di Jakarta, Senin (9/4/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis, JAKARTA —  Kinerja saham PT Global Digital Niaga Tbk. atau Blibli di hari pertama pencatatan sahamnya hari ini, Selasa (8/11), tampak tidak begitu cemerlang. Harga sahamnya ditutup stagnan di level Rp450. Meski begitu, investor asing tercatat masuk senilai Rp18,32 miliar hari ini.

Emiten berkode saham BELI ini telah menuntaskan proses initial public offering (IPO) dan kini resmi berstatus sebagai perusahaan publik. BELI menambah daftar startup dari kalangan e-commerce di pasar modal setelah PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO).

Dalam IPO ini, Blibli melepaskan 17,7 miliar saham baru dengan harga Rp450 per saham dan mengantongi dana segar Rp7,99 triliun. Manajemen BELI mengeklaim bahwa minat investor cukup tinggi selama proses IPO. Namun, kondisi di pasar sekunder hari ini belum menunjukkan hal tersebut.

Manajemen Blibli menyebutkan bahwa saham BELI memperoleh minat yang solid dari investor domestik maupun internasional dari berbagai institusi keuangan.

Minat yang tinggi ini terlihat dari pemesanan saham yang mengalami oversubscribed 4,4 kali saat pooling sehingga terjadi pooling penjatahan meningkat dari 2,5 persen menjadi 5,0 persen dari saham yang ditawarkan.

Dengan kapitalisasi pasar yang mencapai Rp53,3 triliun, BELI menjadi satu-satunya unikorn di sektor internet yang menjadi perusahaan tercatat di Asia Pasifik sejak Mei 2022. Nilai IPO Blibli juga menjadi yang terbesar kedua sepanjang 2022 untuk perusahaan unikorn internet di Asia Pasifik.

Di Indonesia, IPO Blibli menjadi yang terbesar kedua sepanjang 2022 dan terbesar kelima sepanjang sejarah pasar modal. Manajemen Blibli menyebutkan proses penawaran umum perdana saham Blibli berjalan lancar di tengah volatilitas pasar dan aksi jual saham sektor teknologi.

“Dengan menjadi perusahaan tercatat, kami berharap kepercayaan investor di sektor teknologi dapat meningkat dan memberi dampak positif bagi ekonomi digital Indonesia,” kata Presiden Komisaris Blibli Martin Basuki Hartono dalam siaran pers, Selasa (8/11).

Lesunya daya tarik saham Blibli di pasar sekunder hari ini boleh jadi ada hubungannya dengan sentimen yang dihadirkan oleh penggunaan dana IPO Blibli. Mayoritas dana IPO yang dikantongi Blibli bakal digunakan untuk membayar utang.

Sekitar Rp5,5 triliun atau hampir 70 persen dana akan digunakan untuk melunasi utang kepada T Bank Central Asia Tbk. (BBCA) dan PT Bank BTPN Tbk. (BTPN), masing-masing senilai Rp2,75 triliun.

Sementara itu, sisa dana IPO akan digunakan Blibli dan entitas anak sebagai modal kerja untuk mendukung kegiatan usaha utama dan pengembangan usaha perseroan. Rinciannya, sekitar 57 persen digunakan oleh Blibli, dan 43 persen akan digunakan untuk PT Global Tiket Network (GTNe).

Sentimen penggunaan dana IPO untuk melunasi utang ini setidaknya disoroti oleh Nilzon Capital.

Nilzon Capital memandang penggunaan dana hasil IPO BELI menjadi yang paling tidak menarik jika dibandingkan dengan perusahaan teknologi lain seperti BUKA dan GOTO.

Dua perusahaan yang lebih dulu melantai di BEI itu mengalokasikan dana hasil IPO untuk aksi bisnis seperti investasi dan akuisisi, serta modal kerja untuk produk bisnis utama mereka.

Valuasi BELI juga cenderung lebih murah daripada BUKA dan GOTO. Berdasarkan estimasi Nilzon Capital, valuasi saham BELI saat ini berada di 3,85x mengacu pada forward EV/Revenue. Di sisi lain, valuasi BUKA mencapai 42,9x dan GOTO 82,90x ketika IPO.

“Namun, untuk sekarang valuasi BELI setara dengan BUKA yang kini berada di 3,56x. Artinya, investor bakal sulit menikmati kenaikan investasi di BELI, selama peers diperdagangkan dengan valuasi yang setara dan tidak ada perubahan signifikan pada kondisi bisnis,” tullis Nilzon Capital dalam keterangan yang diterima Bisnis, Selasa (8/11).



Berdasarkan estimasi Nilzon Capital, utang modal kerja dari BBCA dan BTPN setidaknya memberi beban bunga tahunan kepada Blibli sebesar 7,2 persen, lebih tinggi daripada beban bunga pada kuartal IV/2021 ketika pinjaman diberikan yakni 5,10 persen.

Bunga pinjaman 7,2 persen ini menempatkan BELI setara dengan bisnis lain yang memiliki performa positif dengan peringkat kredit obligasi single A Indonesia, sekalipun kinerja bottom line Blibli masih negatif.

“Sangat disayangkan pinjaman murah tersebut harus dilunasi dan ditukar dengan modal ekuitas yang lebih mahal,” lanjut Nilzon Capital.

Nilzon Capital berpandangan keputusan Blibli menjadi perusahaan terbuka tidak dipicu oleh risiko jatuh tempo utang, mengingat pinjaman dari kedua bank tersebut diberikan dalam rangka pemenuhan modal kerja.

“Pada dasarnya pinjaman tersebut tidak memiliki jatuh tempo selama BELI dan kreditur sepakat untuk memperpanjang perjanjian. Tipe pinjaman ini memiliki jatuh tempo formal, tetapi hanya untuk perpanjangan atau terminasi,” tulis Nilzon Capital dalam riset yang diterima Bisnis, Selasa (8/11).

Nilzon Capital justru berpandangan bahwa utang bank tersebut lebih baik dipertahankan, alih-alih dilunasi. BELI dinilai bisa tetap mengamankan pinjaman dengan peringkat A mengingat statusnya sebagai salah satu entitas Grup Djarum, terlepas dari posisi bottom line yang negatif.

Namun, BBCA dan BTPN merupakan bank yang beroperasi di bawah regulasi yang ketat. Kedua bank ini tidak bisa menyalurkan pinjaman berisiko dalam jangka panjang. Di sisi lain, Bank Indonesia juga melarang perbankan untuk menyalurkan pembiayaan dengan persentase tertentu ke bisnis terafiliasi.

“Posisi kas BELI sampai akhir Juni 2022 hanya mampu menutup EBITDA yang negatif selama 6 bulan, sehingga risiko makin besar untuk kedua bank tersebut. Keduanya juga mempertimbangkan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia yang tentunya tidak sepadan dengan pembayaran bunga utang [dari Blibli],” tulis Nilzon Capital.

Sampai akhir Juni 2022, BELI mencatatkan EBITDA negatif Rp2,3 triliun dengan sisa kas sebesar Rp1,97 triliun. Artinya, BELI telah kehilangan sekitar Rp383 miliar setiap bulannya.

Sisa dana IPO sekitar Rp2,25 triliun yang dialokasikan untuk modal kerja Blibli.com dan Tiket.com, tulis Nilzon Capital, setidaknya hanya cukup untuk menutupi EBITDA negatif tidak lebih dari 6 bulan jika BELI tidak melakukan perbaikan signifikan pada kinerja keuangannya.

“Jadi, di semester I/2023, BELI setidaknya harus mengurangi pengeluaran, menaikkan rasio ekuitas terhadap utang, melakukan divestasi pada portofolionya, atau kombinasi dari semua opsi tersebut,” tulisnya.

Namun, sebagaimana tercantum dalam prospektus, BELI tidak berencana untuk menerbitkan saham dilutif tambahan dalam kurun 12 bulan sejak pernyataan efektif IPO.

Dengan demikian, opsi yang paling mungkin diambil dalam waktu dekat adalah pemangkasan biaya, peningkatan pendapatan yang agresif, penerbitan utang, atau divestasi aset.

“Kami melihat burn rate ke depan untuk BELI agak terbantu dengan pemulihan bisnis Tiket.com. Kami memperkirakan kemungkinan besar Tiket.com akan ditawarkan sebagai bisnis terpisah melalui IPO lain dalam waktu dekat. Ada antusiasme yang kuat untuk Tiket.com seiring dengan pemulihan bisnis perjalanan,” kata Nilzon Capital.

Sebelumnya, Analis Investindo Nusantara Sekuritas, Pandhu Dewanto, juga mengatakan bahwa rencana penggunaan dana IPO Blibli yang sebagian besar digunakan untuk melunasi utang dapat membuat IPO Blibli memiliki kekurangan dan kelebihan di mata investor.

"Investor cenderung lebih menyukai jika digunakan untuk ekspansi yang dapat berdampak signifikan terhadap masa depan perusahaan, sehingga biasanya berani membayar lebih mahal karena memiliki potensi pertumbuhan yang kuat," kata Pandhu kepada Bisnis.

Namun, lanjut dia, sisi positifnya dari pelunasan utang ini dapat memperbaiki struktur permodalan calon emiten berkode saham BELI ini menjadi lebih sehat. Hal ini dapat meminimalkan beban dan diharapkan dapat meningkatkan profitabilitas.

"Jika memang demikian artinya BELI akan cenderung konservatif dan mementingkan efisiensi dan profitabilitas di masa mendatang," ujar dia.

Pandhu memproyeksikan kinerja Blibli akan membaik setelah IPO, tetapi tidak akan secepat para pesaingnya.

(Reporter: Iim Fathimah Timorria & Annisa Saumi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.