Terhantam Aral PPKM & China, Kinerja Dagang Meriang Sementara

Sentimen PPKM yang menghambat basis produksi di dalam negeri serta terpelantingnya permintaan besi baja dari China menjadi pelatuk kelembaman kinerja ekspor pada Juli 2021. Namun, isu tersebut diyakini bersifat temporer.

18 Agt 2021 - 19.23
A-
A+
Terhantam Aral PPKM & China, Kinerja Dagang Meriang Sementara

Kapal pengangkut peti kemas untuk ekspor impor./istimewa

Bisnis, JAKARTA — Sesuai ekspektasi, kinerja ekspor pada Juli 2021 mulai menunjukkan perlambatan. Akan tetapi, performa lembam tersebut diestimasikan hanya akan terjadi secara temporer mengingat peluang optimasi ekspor ke sejumlah pasar masih terbuka lebar.

Menyitir laporan Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor Indonesia pada Juli bertengger di leverl US$17,7 miliar. Realisasi tersebut melandai 4,53% secara month to month (mtm), tetapi menguat 29,32% secara year on year (yoy.

Penurunan ekspor pada Juli 2021—sebagaimana diprediksi kalangan ekonom dan pengusaha—terjadi di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di dalam negeri.

Adapun, pasar tujuan ekspor dengan penurunan terbesar mencakup China dengan nilai pengurangan US$566,4 juta secara bulanan, Jepang sebesar US$169,2 juta, dan Filipina turun US$136,4 juta.

Dari sisi kelompok produk penyumbang penurunan terbesar, besi dan baja menyumbang penurunan sebesar US$409,5 juta, disusul penurunan ekspor kendaraan dan bagiannya sebesar US$177,6 juta, dan mesin dan peralatan mekanis turun US$106,2 juta.

Merespons laporan tersebut, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan penurunan bulanan ekspor tidak lepas dari faktor China sebagai pasar utama besi dan baja Indonesia.

“Sekitar 75% ekspor besi dan baja Indonesia ke China dan 25% ekspor ke China adalah besi dan baja. Jadi memang signifikan jika terjadi penurunan permintaan di sana,” kata Yose, Rabu (18/8/2021).

Dia menjelaskan bahwa turunnya permintaan besi dan baja dari China tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Negeri Panda untuk mulai menerapkan pemangkasan kapasitas dan produksi komoditas tersebut.

Hal ini merupakan langkah Beijing untuk menjalankan komitmen pengurangan emisi, mengingat industri besi dan baja dianggap sebagai salah satu aktivitas dengan jejak karbon dan dampak lingkungan yang besar.

Mengutip laporan Biro Statistik Nasional China, produksi besi dan baja pada Juli turun 7,6% dibandingkan dengan Juni 2021 menjadi 86,79 juta ton. Angka ini juga turun 8,4% dibandingkan dengan produksi pada Juli 2020 yang mencapai 93,36 juta ton.

Selain faktor di atas, Yose menyebutkan penurunan ekspor turut dipicu oleh situasi produksi nasional yang terkendala akibat kebijakan PPKM.

Pembatasan kapasitas industri manufaktur lantas berdampak pada volume barang yang bisa diekspor.

“Jadi ada faktor sisi produksi dan permintaan, terutama di negara seperti China dan negara Asia lainnya mulai memperlihatkan penurunan pada Juli di tengah kehatian-hatian terhadap pandemi,” lanjutnya.

Pun demikian, Yose memproyeksikan situasi ini cenderung bersifat sementara waktu jika negara tujuan bisa mengendalikan penyebaran virus Covid-19 dan meningkatkan level vaksinasi.

Dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Amerika Utara, tingkat vaksinasi di mitra dagang utama di Asia Timur dan Asean cenderung memiliki tingkat vaksinasi yang belum tinggi.

“Ini tergantung bagaimana aspek kesehatan, apakah bisa ditanggulangi atau tidak di Indonesia. Jika jawabannya bisa, tinggal bagaimana permintaan di negara sekitar kita. Kelihatannya penurunan hanya temporer karena masih perlu waktu untuk meningkatkan vaksinasi,” kata Yose.

Dihubungi secara terpisah, pelaku usaha menilai penurunan kinerja bulanan ekspor dan impor pada Juli 2021 lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi domestik dengan adanya pemberlakuan PPKM, alih-alih dipicu oleh faktor eksternal seperti kondisi pasar China.

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani tak memungkiri jika Indonesia harus menaruh perhatian pada kondisi pasar China karena pangsanya yang besar terhadap total ekspor.

Namun, dia menilai China tetap memiliki potensi pertumbuhan ekonomi dan permintaan yang baik selama gelombang lonjakan kasus Covid-19 tak terjadi.

“Hal ini terlihat dari fakta bahwa ekspor ke China untuk produk lainnya masih relatif baik. Saya kira satu-satunya faktor yang berkontribusi pada penurunan adalah ekspor kita ke China adalah tuduhan dumping atas produk besi dan baja Indonesia beberapa bulan lalu,” kata Shinta.

Mengingat China merupakan salah satu pasar terbesar ekspor besi dan baja, Shinta mengatakan pengenaan tarif tambahan pada produk tersebut bakal berimbas ke kinerja perdagangan ke Negeri Panda.

Hal tersebut, lanjutnya, merupakan salah satu konsekuensi dari kurangnya diversifikasi produk ekspor ke China.

Dia memberi catatan pula mengenai posisi China sebagai negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, yakni sebesar 21,35% pada Juli 2021.

Artinya, jika China mengalami kontraksi perekonomian, dampaknya akan secara langsung dirasakan Indonesia.

“Karena itu, meskipun kontraksi kinerja ekspor Juli lalu lebih disebabkan oleh PPKM, kami terus mendorong agar kita tetap melakukan diversifikasi pasar ekspor dan diversifikasi produk ekspor unggulan nasional sehingga kinerja ekspor nasional bisa lebih stabil dengan menurunkan ketergantungan pada pasar atau komoditas ekspor tertentu,” paparnya.

Shinta mencatat ndonesia memiliki alternatif pasar yang beragam dengan kehadiran perjanjian perdagangan bebas atau dengan tarif preferensi.

Namun, pelaku usaha dihadapkan pada kendala untuk melakukan penetrasi, di antaranya dari sisi biaya dan kondisi pasar.

“Jika ingin ada diversifikasi pasar ekspor segera, harus ada stimulus dan fasilitasi perdagangan yang lebih besar dari pemerintah agar beban diversifikasi pasar lebih rendah,” tambahnya.

Selain itu, menurut Shinta, kontraksi pada Juli 2021 juga diperkirakan tidak berlangsung lama, seiring dengan relaksasi PPKM.

Namun, perbaikan kinerja tetap akan dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung seperti efisiensi dan kelancaran logistik perdagangan, serta perluasan akses pendanaan ekspor.

“Kalau hanya PPKM saja yg direlaksasi, peningkatan kinerjanya akan lambat,” kata dia.

PERMINTAAN EKSPOR

Sisi lain, para industriawan melihat prospek ekspor nonmigas masih diwarnai ketidakpastian dari sisi permintaan, terutama untuk ekspor dengan China sebagai pasar utama.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Azis Pane mengutarakan penurunan kinerja bulanan ekspor pada Juli adalah hal yang lumrah mengingat permintaan cenderung tak terjadi secara merata.

Di sisi lain, tak semua industri di dalam negeri bisa beroperasi penuh selama PPKM.

“Ekspor masih sulit karena pasar dipenuhi ketidakpastian. Kami sudah sampaikan ekspor tidak akan stabil,” kata Azis.

Hal ini tecermin dari ekspor karet dan barang dari karet yang sempat turun drastis pada Mei 2021 menjadi hanya US$512,39 juta, setelah dalam 4 bulan sebelumnya terus tumbuh dari US$584,63 juta pada Januari menjadi US$686,84 juta pada April 2021.

Sementara itu, eskpor pada Juni kembali naik menjadi US$605,15 juta.

Adapun selama semester I/2021, ekspor ke China justru turun tipis dibandingkan dengan semester paruh pertama tahun lalu. Nilai ekspor terkoreksi dari US$254, 89 juta menjadi US$253,40 juta.

“Kami perkirakan pada Juli turun lagi karena tidak semua pabrik bisa beroperasi selama pembatasan. Saat tidak bisa produksi kami tidak bisa memenuhi komitmen ekspor,” kata dia.

Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, di Petajen, Batanghari, Jambi, Jumat (11/12/2020)./ANTARA FOTO-Wahdi Septiawan

Situasi berbeda terlihat pada produk minyak sawit.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memperkirakan ekspor pada Juli kembali naik setelah pada Junii sempat terkoreksi. Dia juga menyebutkan pengiriman ke China cenderung dalam kondisi baik.

“Kami perkirakan ekspor naik pada Juli, pengiriman ke China juga oke. Dari sisi produksi kami tidak terkendala meskipun PPKM,” katanya.

Gapki melaporkan bahwa nilai ekspor produk sawit Juni turun 30,1% menjadi US$2,11 miliar, lebih rendah sekitar US$945 juta dibandingkan dengan ekspor pada Mei 2021.

Dari segi volume, ekspor produk sawit  mencapai 2,02 juta ton atau turun 926.000 ton dari pada ekspor Mei 2021. Meski demikian, volume ekspor tetap lebih tinggi secara tahunan.

Asosiasi dalam siaran pers pada Rabu (18/8/2021) menyebutkan bahwa devisa dari ekspor produk sawit berhasil menyumbang 11,4% dari total devisa ekspor meskipun ekspor mengalami kontraksi

“Hal ini menunjukkan tetap pentingnya ekspor sawit bagi perolehan devisa negara,” kata Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono.

Dia menjelaskan turunnya harga merupakan salah faktor penyebab penurunan, selain kemungkinan penurunan importasi dari negara importir karena masih tersedianya stok minyak nabati.

Adapun, rerata harga pada Juni adalah US$1.054 per ton jauh lebih rendah dari harga Mei yang mencapai US$1.241/ton.

Penurunan volume ekspor terbesar terjadi dengan tujuan Uni Eropa sebesar 151.000 ton, diikuti dengan Timur Tengah yang turun 124.000 ton, India berkurang 105.000 ton, dan Pakistan 108.000 ton.

Secara tahunan, penurunan terbesar sampai dengan Juni mencakup ekspor ke India yang berkurang 475.000 ton dibandingkan dengan tahun lalu.

Reporter : Iim F. Timorria

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.