Titik Nadir Sengkarut Hulu Pergulaan

Biaya pokok produksi gula tani saat ini telah menembus Rp11.500/kg, berbanding terbalik dengan harga pokok petani gula yang hanya diketok Rp9.100/kg sejak 5 tahun lalu melalui Permendag No. 46/2016.

Wike D. Herlinda*

9 Nov 2021 - 19.52
A-
A+
Titik Nadir Sengkarut Hulu Pergulaan

Buruh memanen tebu untuk dikirim ke pabrik gula di Ngawi, Jawa Timur, Selasa (8/8)./ANTARA-Ari Bowo Sucipto

Bisnis, JAKARTA — “Sila ke-5 Pancasila itu berbunyi ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, tetapi [menurut] yang kami rasakan, sila tersebut seolah tidak berlaku bagi petani.”

Dengusan kesah Soemitro Samadikoen terdengar di seberang sambungan telepon. Suaranya bergetar tipis saat menceritakan kondisi industri hulu pergulaan, yang kian babak belur tahun demi tahun.

Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APRI) itu menumpahkan keprihatinannya melihat kondisi petani tebu, yang kontras dengan ingar-bingar pemberitaan di industri pergulaan hilir yang sebentar lagi akan bancakan investasi dari Al Khaleej Sugar Co asal Dubai.

“Kalau mau jujur, melihat kondisi petani gula saat ini, seharusnya [pemerintah] sangat bersedih. Harga eceran tertinggi [HET] sejak 2016 hingga sekarang tidak beranjak dari angka itu-itu saja,” tuturnya melalui sambungan telewicara, Selasa (9/11/2021).

Faktanya, HET gula memang dibanderol Rp12.500/kilogram (kg) sudah sejak 2016. Patokan tersebut termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 63/2016 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.

Batang tebu memenuhi Pabrik Gula (PG) Mojo di Sragen, Jawa Tengah, milik PT Perkebunan Nusantara IX (Persero)./JIBI-Pamuji Tri Nastiti

Lima tahun berlalu, harga acuan tidak kunjung direvisi, padahal kebutuhan konsumsi serta biaya pokok produksi (BPP) gula kristal putih (GKP) makin tahun makin melambung.

“Kenaikan biaya pupuk yang paling berpengaruh ke produktivitas. Sejak 2020, pupuk bersubsidi [untuk petani tebu] mulai langka. Memasuki musim tanam 2021, makin langka lagi. Akibatnya, kami terpaksa memakai 90% pupuk nonsubsidi yang menggunakan harga pasar,” tutur Soemitro.

Menurut pria asal Nganjuk, Jawa Timur itu; harga pupuk nonsubsidi—yang tadinya sekitar Rp3.800/kg—kini menembus antara Rp5.500/kg hingga Rp6.000/kg. Nominal tersebut tiga kali lipat lebih mahal ketimbang harga pupuk subsidi jenis ZA yang hanya Rp1.700/kg.

Dia beralasan kuota alias ‘jatah’ pupuk bersubsidi untuk petani tebu makin dipangkas tiap tahunnya. Akibatnya, barang modal tersebut kian sulit diakses produsen tebu rakyat dan memaksa mereka beralih ke penggunaan pupuk nonsubsidi.

“Jadi untuk biaya pupuk, yang tadinya pakai subsidi hanya Rp2 juta/hektare (ha), sekarang sudah naik menjadi lebih dari Rp4 juta/ha. Tenaga kerjanya juga pada 2016 hanya Rp50.000, sekarang sudah naik drastis lebih dari Rp100.000 seiring dengan kenaikan upah minimum.”

Situasi itu diperparah dengan karakteristik lahan tebu rakyat yang masih sangat bersifat padat karya lantaran petak kebunnya tidak seluas lahan-lahan sawah dengan status hak guna usaha (HGU) yang sudah bisa diautomasikan.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Soemitro mengeklaim BPP gula tani saat ini telah menyentuh Rp11.500/kg, berbanding terbalik dengan harga pokok petani (HPP) gula yang hanya diketok Rp9.100/kg sejak 5 tahun lalu melalui Permendag No. 46/2016.

Dari sisi harga jual, per 2020, petani hanya sanggup meraup Rp11.200/kg. Itu pun, hanya 15% dari total produksi tebu tani yang terserap pembelian kontrak dengan importir. Selebihnya terpaksa dijual bebas dengan harga bantingan senilai Rp10.600/kg alias di bawah BPP.

“Untuk tahun ini, holding RNI dan holding PTPN berkomitmen mau membeli seharga Rp10.500/kg. Ternyata saat delivery order [DO], mereka tidak membayar sesuai janji. Sepekan sekali kami menerbitkan DO, mereka tidak langsung bayar, nunggak-nya bisa 1—2 bulan.”

Masalah pelik lain yang menjerat industri hulu pergulaan adalah isu akses kredit usaha rakyat (KUR) yang makin sulit, biaya pengairan yang membengkak, produksi yang kian anjlok akibat serangan hama tikus, hingga produktivitas lahan yang terus stagnan.

Bagaimana tidak? Pertambahan musim tanam selalu diiringi dengan penyusutan lahan akibat petani yang putus asa bercocok tebu. Kata Soemitro, mereka banting setir menanam padi atau komoditas lain yang perputaran cuan serta penghasilannya lebih menjanjikan.

Refleksi dari kondisi di hulu pergulaan itu kontras rasanya jika dibandingkan dengan gereget wacana investasi pabrik gula dari Uni Emirat Arab (UEA) yang dielu-elukan karena nilainya ditaksir menembus US$2 miliar atau sekitar Rp28,68 triliun.

“Hari ini kita bicara investasi [pabrik gula] dari Dubai [Al Khaleej Sugar Co]. Coba lihat, di sana [kawasan Teluk Persia] itu tidak ada tanaman tebu. Mereka bisa sebesar itu [produksinya] karena bahan bakunya impor semua. Kalau mau bikin pabrik gula di Indonesia, wajibkan mereka untuk tanam [tebu] dahulu. Jangan pola impor bahan baku diterapkan juga di Indonesia,” ujar Soemitro.

INDEKS BIAYA

Kompleksitas isu ketimpangan yang membelit industri hulu pergulaan diamini oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila) itu menyebut indeks biaya produksi gula di Indonesia jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. 

Pemicunya adalah kebijakan pemerintah yang minim berfokus pada peningkatan produksi gula dalam negeri.

Menyitir data International Trade Center, Bustanul mengatakan indeks biaya produksi gula Indonesia berada di level 192 atau hampir dua kali lipat dari milik Brasil di level 100. 

“[Kebijakan pergulaan di Indonesia] saling bertentangan. Di satu sisi kita ingin mengejar swasembada gula, tetapi pada saat yang sama mengembangkan [dikotomi dengan industri] gula rafinasi. Ini analoginya agak sulit,” kata Bustanul di sela seminar daring Modernisasi Gula Negara, belum lama ini.

Dikotomi pasar gula itulah, menurutnya, yang pada akhirnya membuat impor gula Indonesia membengkak dibandingkan dengan negara lain. Indonesia memilki indeks 4,1 untuk impor gula; jauh di atas China dengan indeks 3,4 dan Amerika Serikat dengan 2,9. 

“Industri makan dan minuman [mamin] dalam negeri juga berkembang pesat belakangan ini. Akibatnya, kita jadi importir terus,” urainya. 

Petani Tebu. Survei kelayakan telah dilakukan terhadap petani mitra pabrik gula di wilayah Madiun, Magetan, dan Ngawi selama 2 hari, yakni pada Rabu-Kamis (18-19/11/2020). /PTPN XI

Bagaimanapun, pemerintah sebenarnya juga sedang berjuang mengharmoniskan efisiensi industri hilir dengan produktivitas industri hulu pergulaan.

Pembentukan holding BUMN pabrik gula di bawah naungan PT Sinergi Gula Nusantara atau SugarCo, misalnya, menjadi salah satu celah solusi penaikan pendapatan petani tebu, yang akan bermuara pada tercapainya asa swasembada GKP.

Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara (PTPN III) Mohammad Abdul Ghani belum lama ini menjelaskan peningkatan produksi gula tidak bisa dicapai tanpa memperkuat kemitraan dengan petani.

Dalam konteks tersebut, dia mencatat sisa hasil usaha (SHU) petani tebu saat ini hanya sekitar Rp3,7 juta/ha/tahun. Nilai itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan SHU petani padi yang mencapai Rp11 juta juta/ha/tahun.

“Kalau petani [tebu] tidak disentuh, sia-sia upaya menaikkan produksi nasional karena makin banyak yang beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Dalam 5 tahun terakhir, areal petani [tebu] turun terus karena memang pendapatannya tidak menarik,” kata Abdul.

Mengacu pada target PTPN, pada 2024 petani mitra setidaknya bisa mencapai SHU sejumlah Rp21,2 juta per ha per tahun. Nilai tersebut diharapkan bisa menembus Rp36,5 juta pada 2030.

“Selama perkebunan PTPN tidak bisa menaikkan pendapatan petani di atas Rp11 juta [atau setara dengan SHU petani padi], jangan harap petani mau menanam tebu. Jadi, patokan kami [SHU petani tebu] harus di atas Rp11 juta,” tambahnya.

Abdul meyakini peningkatan produksi gula bisa dicapai dengan penguatan kemitraan dengan petani. Perusahaan bahkan berkomitmen menyediakan varietas bibit tebu unggul bersertifikasi pada tahap awal.

Dengan demikian, target mengejar produksi gula dari sekitar 800.000 ton pada 2020 menjadi 2,6 juta ton pada 2030 bisa tercapai.

Dia juga mengemukakan perbaikan produksi bisa mengurangi paritas harga gula nasional dengan harga internasional.

Tidak hanya itu, dia menjabarkan selama ini konsumen Indonesia harus membeli gula dengan harga 1,5 kali lebih mahal dibandingkan dengan harga dunia.

“Artinya, inefisiensi PTPN dan inefisiensi di petani ditimpakan ke konsumen. Ini tidak adil. Target kami ke depan petani sejahtera sehingga harga [GKP] bisa turun, harga di konsumen turun,” ujarnya.

Sampai dengan Juni 2021, perusahaan melaporkan produktivitas tebu mencapai 73,3 ton/ha, naik 107,01% dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara itu, produksi gula berjumlah 270.000 ton atau naik 128,57% secara tahunan.

Untuk diketahui, SugarCo secara resmi didirikan pada 17 Agustus 2021 dengan 51% sahamnya dimiliki oleh PTPN yang mewakili pemerintah dan 49% oleh investor swasta.

Sekitar 35 pabrik gula yang sebelumnya berada di bawah naungan beberapa PTPN nantinya akan dimasukkan ke dalam SugarCo sebagai satu entitas usaha pergulaan. 

PEMBERDAYAAN HULU

Pemangku kepentingan pergulaan di Tanah Air sepakat produksi gula konsumsi bisa naik jika pemberdayaan petani di sisi hulu terus dilanjutkan, sebagaimana telah menjadi komitmen dari holding pabrik gula SugarCo.

Mengacu pada taksasi tengah masa giling yang dirilis pada 9 September 2021, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat mengatakan potensi produksi gula konsumsi tahun ini bisa mencapai 2,4 juta ton.

Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada 2020 yang hanya sebesar 2,13 juta ton.

“Kalau melihat laporan tengah giling dari Direktorat Jenderal Perkebunan [Kementerian Pertanian], produksi bisa 2,4 juta ton pada akhir giling. Angka ini yang harus dikawal,” kata Budi.

Budi mengemukakan produksi gula hasil olahan pabrik gula BUMN menunjukkan penurunan sejak 2019. Hal ini diperkirakan kembali terulang pada 2021 jika mengacu pada taksasi yang dirilis oleh pemerintah.

Data taksasi menunjukkan potensi produksi GKP dari perusahaan swasta sampai dengan akhir masa giling adalah 1,33 juta ton, lebih tinggi dari pada pabrik BUMN yang diproyeksi hanya menghasilkan 1,08 juta ton.

Keunggulan volume produksi pabrik gula swasta tidak lepas dari luas areal hasil tebu yang lebih luas.

Kementerian Pertanian memperkirakan luas area panen tebu untuk pabrik BUMN adalah 199.930 ha, sementara luas swasta adalah 244.902 ha.

“Apakah target SugarCo untuk mengejar swasembada akan tercapai? Tentunya akan lebih jelas ketika para investor sudah masuk,” kata Budi.

Kini, perburuan mencari pemodal yang mau mengucurkan Rp23 triliun untuk mengembangkan SugarCo terus digalakkan. Upaya mengharmoniskan ketimpangan di hulu dan hilir industri pergulaan pun dipertaruhkan di sini.

Dengan demikian, khitah sila ke-5 Pancasila benar-benar dapat terjelma secara paripurna hingga ke jenjang paling pangkal dari misi kedaulatan pangan Indonesia, yaitu para petani. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.