Tren Investasi, Ramai-ramai Pindah ke Reksa Dana Pasar Uang

Kinerja reksa dana saham tak kunjung positif. Alhasil, investor memilih memindahkan dananya ke reksa dana pasar uang. 

1 Jun 2021 - 20.17
A-
A+
Tren Investasi, Ramai-ramai Pindah ke Reksa Dana Pasar Uang

ILUSTRASI REKSA DANA. Bisnis - Himawan L Nugraha

Bisnis, JAKARTA - Kinerja reksa dana sejak awal tahun berada dalam tekanan. Terutama oleh penurunan pasar saham dan pasar obligasi yang memiliki volatilitas tinggi. 

Meskipun data ekonomi dunia mulai membaik. Seperti data klaim pengangguran di Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan data yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS pada Kamis (27/5/2021), data pengangguran  untuk pertama kalinya turun ke level sebelum pandemi yaitu level 406.000. "Ini memberikan indikasi positif kesehatan pemulihan ekonomi. Selain itu, tingkat inflasi AS terus mengalami kenaikan," kata tim riset Infovesta Utama, dalam publikasi yang dikutip Bisnis pada Selasa (1/6/2021).

Perbaikan ekonomi tak hanya terjadi di AS, Eropa juga melaporkan jumlah pengangguran turun 209.000 dari bulan sebelumnya. Tingkat inflasi di Eropa juga mencatatkan level tertinggi sejak April 2019 di level 1,6 persen. 

Dari Asia, China berhasil mencatatkan inflasi bulanan tertinggi sepanjang 2021 sebesar 0,9 persen pada April 2021. Meski data global positif, imbal hasil reksa dana saham, pendapatan tetap, dan campuran tak kunjung membaik. 

Ada beberapa permasalahan yang mempengaruhinya, seperti kasus Covid-19 yang kembali meningkat, khususnya di Asia. Hal itu menyebbakan penutupan wilayah atau lockdown di sejumlah negara. 

Di sisi lain, tanda-tanda pemulihan ekonomi global seperti kenaikkan inflasi di AS menyebabkan aksi taperig off atau pengurangan stimulus yang berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang. 

"Jika hal itu terjadi, biasanya diikuti kenaikan tingkat suku bunga acuan, pada akhirnya memberikan tekanan tambahan untuk aset-aset invstasi berisiko," ujar Infovesta. 

 

Pengunjung berada di dekat papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (17/7/2020). Bisnis - Eusebio Chrysnamurti

 

Dengan kondisi tersebut, mayoritas reksa dana mencatatkan kinerja negatif sejak awal tahun. Berdasarkan data Infovesta Utama, reksa dana pendapatan tetap minus 0,53 persen sejak awal tahun (year to date/ytd). Adapun imbal reksa dana campuran dan saham masing-masing -1,84 persen dan -6,26 persen.

Hanya reksa dana pasar uang yang masih menunjukkan imbal hasil positif sebesar 1,4 persen. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan indeks acuan imabl hasil Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar 1,36 persen. 

Kondisi itu pun mendorong investor ramai-ramai berpindah dari aset berisiko ke aset yang lebih aman. Direktur Eksekutif Asosiasi Pelaku Reksa Dana dan Investasi (APRDI), Mauldy Rauf Makmur, menyebut investor mengalihkan dana mereka (switching) dari produk reksa dana berisiko tinggi seperti reksa dana saham ke reksa dana pasar uang. 

"Investor menyadari mereka tidak harus keluar, risky asset itu sangat berisiko, jadi dia pindahkan," kata Mauldy dalam sesi webinar, Selasa (1/6/2021).

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana kelolaan reksa dana pasar uang tumbuh 37 persen secara tahunan (year on year/yoy), dari Rp 69,17 triliun menjadi Rp 94,54 triliun.  Pada akhir April 2021, dana kelolaa reksa dana pasar uang turun tipis menjadi Rp 93,34 triliun.

Lebih lanjut, Mauldy menuturkan, di tengah kondisi pasar yang volatil saat ini reksa dana masih sangat disukai karena memberikan banyak pilihan bagi investor. Investasi reksa dana juga dapat disesuaikan dengan profil risiko dan tujuan investasinya masing-masing.

Selain itu, reksa dana juga menjadi instrumen investasi yang sangat cocok bagi orang yang baru mulai berinvestasi atau pemula karena memiliki tingkatan risiko yang berjenjang. Sehingga investor dapat mempelajari investasi secara bertahap. 

“Dengan kondisi market seperti ini, yang volatil sekali itu, pada redeem, ternyata tidak. Yang terjadi sebaliknya, investor reksa dana malah tumbuh pesat dan sebagian besar investor yang baru masuk ke reksa dana pasar uang, sudah tepat,” pungkasnya.

ILUSTRASI REKSA DANA. Bisnis - Himawan L Nugraha


Reksa Dana Pasar Uang Stabil 

Sedangkan Infovesta mengatakan investor masih perlu wait and see pada reksa dana pendapatan tetap karena masih terdapat kekhawatiran aksi tapering off. Hal itu dapat berdampak negatif pada kinerja pasar obligasi.

Untuk reksa dana saham, investor masih dapat melakukan average down ketika IHSG sedang melemah dengan harapan pemulihan ekonomi dalam jangka panjang. Adapun reksa dana pasar uang dengan kinerjanya yang stabil dapat menjadi alternatif penempatan dana sambil menanti momen untuk kembali masuk ke jenis reksa dana yang lebih berisiko.

Hal senada juga diungkapkan Direktur MNC Asset Management Edwin Sebayang yag menuturkan sepanjang semester I/2021, mayoritas investor lebih menggemari reksa dana pasar uang. Itu karena volatilitas yang cukup tinggi terjadi di reksa dana berbasis saham dan obligasi. 

Money market, rata-rata [masuk] ke money market karena mungkin mereka juga sedang mencari aman, sambil mereka lihat-lihat kondisi pasar. Kalau nanti stabil saya rasa akan mulai shifting,” kata Edwin kepada Bisnis, Selasa (1/6/2021). 

Dia mengatakan, sejauh ini reksa dana pasar uang memang mencetak kinerja paling tinggi di antara jenis reksa dana lainnya. Namun, kondisi ini diyakini akan mulai berubah pada paruh kedua 2021 seiring pasar obligasi dan saham yang berbalik menguat.

Edwin memperkirakan investor bakal mulai kembalih mengalihkan dananya ke aset yang lebih berisiko pada kuartal III dan kuartal IV mendatang seiring kondisi pasar yang diharapkan mulai kondusif dan bergerak naik. 

“Pasti akan terkejar [kinerjanya] karena reksa dana pasar uang juga lama-lama akan semakin turun. Saat ini ketersediaan obligasi di bawah 1 tahun semakin sulit dicari, suku bunga juga makin turun. Kinerja money market [full year] mungkin paling tinggi 4,6 persen,” tuturnya. 

Lebih lanjut dia menuturkan, reksa dana pendapatan tetap kemungkinan akan lebih dulu menyusul kinerja pasar uang mengingat saat ini kinerjanya terpaut paling dekat. Adapun, kinerja reksa dana berbasis obligas ini akan terdorong penurunan yield US Treasury tenor 10 tahun yang akan menyeret yield SBN 10 tahun untuk ikut turun sehingga harga obligasi dalam negeri akan naik. 

“Ada peluang US Treasury ini yield-nya turun sehingga kemungkinan pendapatan tetap bakal mulai perform,” imbuhnya.

Menurutnya, reksa dana pendapatan tetap berbasis SBN akan lebih dulu rebound. Itu lantaran obligasi korporasi cenderung tengah rentan. Mengingat kasus penundaan bayar dan gagal bayar yang makin marak terjadi.

Sementara itu reksa dana saham juga diproyeksi akan berbalik menguat, khususnya untuk produk-produk yang memiliki saham dari sektor tambang seperti saham batubara atau nikel yang diperkirakan akan naik di semester II nanti.

 “Jadi untuk saat ini money market dulu sambil wait and see, baru nanti mulai switching ke Pendapatan Tetap yang SBN dulu, kalau nanti sudah selesai kasus-kasus [gagal bayar obligasi] bisa masuk ke corporate, baru mulai ke [reksa dana] saham,” pungkasnya.

(Reporter : Dhiany Nadya Utami)
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.