Tuntutan Ganti Rugi Kerusakan Alam Jadi Fokus COP27

Negara berkembang akan menuntut kompensasi yang disebut dengan loss and damage untuk pertama kalinya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP27 di Mesir, atas bencana dan kerusakan alam yang disebabkan negara kaya penghasil emisi terbesar dunia.

Nindya Aldila

7 Nov 2022 - 16.30
A-
A+
Tuntutan Ganti Rugi Kerusakan Alam Jadi Fokus COP27

Kepala Komunikasi dan Jaringan Perubahan Iklim PBB Alexander Saier, Kepala Perubahan Iklim PBB Simon Stiel, dan Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry dalam acara KTT Perubahan Iklim COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir pada Minggu (6/11/2022). (Twitter)

Bisnis, JAKARTA - Negara berkembang akan menuntut kompensasi yang disebut dengan loss and damage untuk pertama kalinya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP27 di Mesir, atas bencana dan kerusakan alam yang disebabkan negara kaya penghasil emisi terbesar dunia.

Mereka telah menuntut diskusi mengenai kompensasi kerusakan iklim sejak KTT COP pertama dimulai pada awal 1990-an.

Namun, negara-negara industri kaya berulang kali menghalangi upaya untuk memasukkan pembahasan agenda tersebut karena mereka khawatir tuntutan kompensasi bisa mencapai miliaran dolar.

Banjir di Pakistan, kekeringan di Eropa dan India, hingga Badai Ian di Florida telah memicu pembicaraan mengenai loss and damage.

Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mengatakan terobosan itu dicapai setelah 48 jam pembicaraan intens yang diakhiri dengan kompromi. Diskusi COP27 akan fokus pada “kerja sama dan fasilitasi” bukan kewajiban atau kompensasi.

“Dimasukkannya agenda ini mencerminkan rasa solidaritas dan empati terhadap penderitaan para korban,” kata Shoukry setelah menjabat sebagai presiden COP27, dikutip dari Bisnis.com, yang melansir Bloomberg (7/11/2022).

Baca juga: Menagih Komitmen Dekarbonisasi Negara Adidaya di COP27

Delegasi akan berdiskusi untuk mencapai keputusan mengenai dana kompensasi loss and damage selambat-lambatnya tahun 2024.

Negara-negara berkembang dan negara-negara pulau kecil menyumbang sejumlah kecil emisi gas rumah kaca namun mengalami dampak yang jauh lebih besar. Mereka telah meningkatkan tuntutan dalam beberapa pekan terakhir agar masalah ini dibahas. Sementara itu, negara seperti Amerika Serikat dan kawasan Eropa telah mendominasi produksi emisi di dunia.

 

Sebelumnya, Kepala Perubahan Iklim PBB yang baru, Simon Stiell mengatakan negara berkembang akan berekspektasi tinggi dalam penyusunan fasilitas pendanaan untuk menanggung kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh negara-negara kaya yang menjadi penghasil emisi terbesar.

"Negara yang paling rentan sudah lelah, mereka frustrasi. Ini saatnya untuk melakukan diskusi yang terbuka dan jujur soal kerugian dan kerusakan," katanya, dikutip dari South China Morning Post pada Minggu.

Dalam KTT tersebut, Indonesia yang diwakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyerukan upaya pengurangan efek gas rumah (GRK) kaca harus lebih ambisius.

Pasalnya, hingga saat ini baru 38 negara dari sekitar 190 negara yang sudah memperbarui dan menyampaikan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) terbarunya ke sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change.

"Adanya laporan tersebut dan adanya iptek terbaru harus menjadi referensi bagi negara-negara pihak untuk memperkuat ambisi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan sarana implementasinya," kata Siti saat menyampaikan pidato kunci pada sesi panel di Paviliun Indonesia COP-27 di Sharm el-Sheik, Mesir pada Minggu (6/11) waktu setempat.

Indonesia telah mengumumkan peningkatan target pengurangan emisi GRK pada 2030 dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri atau dari 41 persen menjadi 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari Dartmouth College, salah satu anggota kumpulan universitas elite Ivy League, mengungkap bahwa ada hubungan secara langsung pemanasan global suatu negara terhadap kerugian dan kerusakan ekonomi negara lainnya.    

Baca juga: Paradoks Kampanye Perubahan Iklim yang Rugikan Negara Miskin

Studi ini menemukan bahwa dua ekonomi terbesar di dunia, yakni Amerika Serikat dan China bertanggung jawab terhadap kerugian pendapatan global masing-masing lebih dari US$1,8 triliun sepanjang periode 25 tahun sejak 1990.

Penelitian ini berusaha membeberkan bahwa negara kaya sebenarnya mendapat keuntungan dari perubahan iklim dan negara miskin yang terpukul akibat produksi emisi gas rumah kaca.

(Aprianto Cahyo Nugroho)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Nindya Aldila

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.