Bisnis, JAKARTA — Indonesia diharapkan bisa mempercepat pencapaian nol emisi karbon (net zero emission/NZE) pada 2050 atau 10 tahun lebih awal dari target yang dipatok pemerintah pada 2060.
Dengan adanya dukungan dari dunia internasional, termasuk dari kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP), upaya net zero emission di Indonesia diyakini kian bertenaga.
Baca juga: Di Balik ‘Semangat’ AS-Jepang ‘Suntik Mati’ PLTU Batu Bara RI
Setidaknya, dukungan internasional tersebut bisa membantu Indonesia memenuhi kebutuhan biaya untuk mendanai transisi energi yang diperkirakan mencapai sekitar US$5,6 miliar per tahun.
Adapun, pemerintah telah berkomitmen akan mengurangi emisi CO2 sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional untuk mencapai net zero emission pada 2060, sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC).
Baca juga: Tantangan Transisi Energi Indonesia: Listrik dan Investasi Mahal
Dalam acara puncak pertemuan G20 di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022), JETP menyampaikan komitmennya untuk mempercepat target nol emisi karbon di Indonesia, dengan memobilisasi pendanaan awal senilai US$20 miliar atau setara dengan Rp310,7 triliun (asumsi kurs Rp15.535 per US$).
Komitmen pendanaan itu nantinya akan digunakan untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara serta peralihan menuju sumber listrik energi baru terbarukan (EBT).
Kemitraan JETP dipimpin oleh Amerika Serikat-Jepang, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
Sementara itu, pendanaan US$20 miliar yang akan dihimpun selama 3—5 tahun mendatang lewat kemitraan JETP tersebut terdiri atas US$10 miliar berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Baca juga: World Bank Dukung Upaya Transisi Energi Indonesia
Dari kerja sama itu, Indonesia diminta untuk mengurangi emisi karbon dari sektor energi sampai 290 megaton sampai 2030.
“Kemitraan bersejarah ini akan mendukung komitmen ambisius Indonesia untuk mengejar target iklimnya melalui JETP lewat investasi mitra internasional termasuk memobilisasi pendanaan awal US$20 miliar dari pembiayaan publik dan swasta,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat konferensi pers peluncuran JETP di sela-sela KTT G20 di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022).
Baca juga: Kucuran Deras Pembiayaan Hijau untuk Transisi Energi PLN
Selanjutnya, pemerintah bakal menyusun rencana aksi dengan mitra investor untuk menindaklanjuti kesepakatan kemitraan tersebut selama 6 bulan mendatang, terutama strategi konkret untuk memadamkan PLTU batu bara secara masif sembari memasukkan sumber daya EBT ke dalam sistem kelistrikan nasional.
Upaya meringankan ongkos pensiun dini PLTU sebelumnya dilakukan pemerintah dengan melibatkan BUMN tambang PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) dengan mengambil alih aset PLTU Pelabuhan Ratu kapasitas 3x350 MW di Jawa Barat milik PLN melalui aksi korporasi.
Dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, juga disepakati komitmen percepatan penghentian masa operasional PLTU batu bara Cirebon-1 berkapasitas 660 MW di Jawa Barat yang dimiliki oleh pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) dengan skema pendanaan gabungan berupa Energy Transition Mechanism (ETM) dari Asian Development Bank (ADB).
Baca juga: Memantapkan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Batu Bara Capai NZE
Skema pendanaan ETM ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Asian Development Bank (ADB), Indonesia Investment Authority (INA), dan pemilik PLTU Cirebon-1 yakni Cirebon Electric Power (CEP).
Terkait dengan roadmap atau peta jalan transisi energi, Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku Chair of Energy Transitions Working Group (ETWG) Yudo Dwinanda menyebutkan bahwa Presidensi G20 Indonesia berhasil merumuskannya.
Peta jalan tersebut akan menjadi kerangka aksi dalam proses percepatan transisi energi yang diinisiasi Indonesia, dan diharapkan dapat berlanjut oleh Presidensi G20 berikutnya. “Bali Energy Transitions Road map disusun berdasarkan tiga hal, yaitu prinsip percepatan transisi energi yang ada dalam Bali Compact, prioritas aksi energi berkelanjutan, dan tiga isu prioritas yakni akses, teknologi, dan pendanaan,” tuturnya, Senin (14/11/2022).
Baca juga: Mencari Dalang Sulitnya Pembiayaan Transisi Energi di Indonesia
Yudo menjelaskan 'Bali Compact' yang merupakan kesepakatan bersama Forum Transisi Energi G20 bisa menjadi warisan dari Indonesia kepada G20. Hal ini karena Bali Compact yang terdiri atas sembilan prinsip lahir dari kesepakatan bersama para anggota G20 dalam meningkatkan ambisi menuju transisi energi yang adil, terjangkau dan inklusif bagi semua.
Menurut Yudo, dalam mewujudkan transisi energi terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi, terutama menyangkut pendanaan dan teknologi. (Nyoman Ary Wahyudi/MG Noviarizal Fernandez)