UU Cipta Kerja 'Keok' di MK, Investor Tuntut Kepastian Soal Upah

Investor saat ini tengah menuntut kepastian dalam pengupahan yang sudah disediakan di dalam UU Cipta Kerja dan turunannya setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan beleid sapu jagat itu idak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi & Iim Fathimah Timorria

26 Nov 2021 - 18.52
A-
A+
UU Cipta Kerja 'Keok' di MK, Investor Tuntut Kepastian Soal Upah

Suasana sidang putusan gugatan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021)./Antara

Bisnis, JAKARTA — Investor membutuhkan kepastian hukum terkait dengan aturan pengupahan yang telah menggunakan acuan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang baru saja dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengatakan sistem pengupahan di Indonesia masih dianggap sebagai salah satu kendala investor untuk berinvestasi.

Dia mengakui investor saat ini tengah menuntut kepastian dalam pengupahan yang sudah disediakan di dalam UU Cipta Kerja dan turunannya. 

"Upah minimum merupakan jaring pengaman. Namun demikian, kita membutuhkan upah yang berbasis kinerja yang akan menaikkan produktivitas sehingga baik pengusaha maupun pekerja atau buruh sama-sama mendapatkan manfaat dan kenaikan produktivitas perusahaan," kata Putri, Jumat (26/11/2021). 

(BACA JUGA: Putusan MK Soal UU Cipta Kerja, Iklim Investasi Terdampak?)

Putri menjelaskan pengupahan yang adil dan berdaya saing ditujukan untuk menciptakan sistem pengupahan yang sehat bagi dunia usaha dan industri dengan memperhitungkan kendala dan tantangan di era Revolusi Industri 4.0 dan bonus demografi. 

Sistem pengupahan yang sehat, kata dia, bersifat adil antarwilayah dan antarpekerja dalam suatu unit usaha, serta antara pekerja dengan pengusaha. 

(BACA JUGA: Serapan Pekerja Makin Timpang dari Realisasi Investasi)

"Dengan keadilan upah, maka akan tercipta kondusivitas hubungan industrial. Kondusivitas hubungan industrial akan menciptakan produktivitas. Dengan produktivitas yang tinggi, dunia usaha akan mampu bersaing di dunia internasional," kata dia. 

Di sisi lain, dia menambahkan, sistem pengupahan berdaya saing mesti fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, adaptif sesuai tantangan zaman dan sederhana untuk diimplementasikan. 

"Karena dengan meningkatkan implementasi pengupahan berbasis produktivitas, akan berdampak pada peningkatan penghasilan pekerja atau buruh sehingga meningkat pula kesejahteraan," tuturnya. 

Lain pihak, Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) meminta pemerintah menunda implementasi kebijakan upah minimum (UM) 2022 menyusul keputusan MK.

Sekretaris Jenderal OPSI Timboel Siregar mengatakan pemerintah mesti menjalankan amanat MK itu untuk meredam rencana mogok nasional yang telah disiapkan oleh serikat pekerja.

Timboel mencontohkan, pemerintah dapat memulai dengan menunda pemberlakuan upah minimum yang telah ditetapkan pekan lalu. 

“Upah minimum itu kan program strategis nasional maka dia bagian dari kebijakan strategis yang mesti ditangguhkan dulu, sampai ada pembicaraan lebih lanjut bersama serikat pekerja,” katanya.

Timboel berharap pemerintah bersedia untuk menjalankan amanat MK itu untuk menangguhkan sejumlah kebijakan strategis dan berdampak luas kepada masyarakat.

Dia mengatakan buruh bakal mengurungkan rencana mogok nasional apabila pemerintah menangguhkan sejumlah isu sensitif terkait ketenagakerjaan di akhir tahun ini. 

“Kami mengharapkan demonstrasi mogok yang akan dirancang karena menolak upah minimum bisa turun tensinya. Artinya, kami minta pemerintah yang proaktif karena pemerintah yang diminta untuk menjalankan keputusan itu dengan melibatkan pekerja,” kata dia. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan pembentukan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.” 

MK juga menyatakan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan. 

"Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 [dua] tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen," tutur Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan amar putusan, Kamis (25/11/2021). 

Selanjutnya, amar putusan menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan undang-undang, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja, harus dinyatakan berlaku kembali. 

Amar putusan uji formil dan materiil juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

JAGA SITUASI

Di sisi lain, kalangan pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) meminta serikat pekerja tetap menjaga situasi yang kondusif selepas keputusan MK terkait dengan uji materi UU Cipta Kerja.

“Konsen kami terkait dengan kepastian berusaha, beberapa rekan investor kami baik dari dalam maupun luar negeri mempertanyakan keputusan MK itu,” kata Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman, Jumat (26/11/2021). 

Adhi menerangkan UU Cipta Kerja tetap berlaku bersama dengan sejumlah aturan turunnya yang sudah ditetapkan sebelum keputusan MK. Dengan demikian, dia meminta serikat pekerja untuk tidak membuat kesimpulan yang melenceng jauh dari putusan MK tersebut. 

“Kami mendukung DPR supaya ini bisa segera direvisi sesuai dengan legal formal yang diinginkan sehingga kita bisa mendapatkan kepastian hukum dari perubahan UU Cipta Kerja ini,” kata dia. 

Di sisi lain, sambungnya, kalangan pengusaha belakangan ini tengah berfokus untuk mempercepat pemanfaatan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah disahkan, sembari tetap menjaga iklim usaha yang kondusif bagi investor. 

Ditemui di tempat terpisah, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan pemerintah akan melaksanakan segela keputusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja.

"Saya sebagai warga negara meski saya bagian dari pemerintahan, memandang kita harus menghormati keputusan MK sebagai negara hukum dan demokrasi. Jadi saya berharap sesuai dengan tugas  pemerintahan, kita akan menyelesaikan semua yang perlu diselesaikan," kata Lutfi kepada Bisnis, Jumat (26/11/2021).

Meski dinyatakan inskonstitusional, Lutfi mengatakan stabilitas ekonomi tetap bisa dijaga, mengingat UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggat yang telah ditentukan dalam putusan. 

"Pada saat yang sama kita juga sudah lihat keputusan ini tidak membatalkan serta-merta keputusan-keputusan pemerintah yang sudah ada dan itu penting untuk kita semua karena memastikan stabilitas ini perlu tetap dijaga," katanya.

Lutfi mengatakan perubahan regulasi bisa memicu ketidakpastian investasi dan aktivitas perdagangan. Situasi tersebut, katanya, bisa berpengaruh ke pemulihan ekonomi.

"Kalau UU berubah-ubah bisa menghalangi investor masuk. Juga akan menjadi hambatan masuknya perdagangan. Dan itu bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi," kata dia.

TINDAK LANJUT

Pada perkembangan lain, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal merevisi UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) untuk menindaklanjuti putusan MK yang menyebutkan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi.  

Anggota Badan Legislasi DPR RI Firman Soebagyo menuturkan legislatif sudah menyiapkan rancangan naskah akademik dan rancangan undang-undang (RUU) untuk merevisi UU PPP tersebut.

Rencanannya, DPR akan memprioritaskan revisi UU PPP itu di dalam program legislasi nasional atau Prolegnas pada Desember 2021. 

“Agar UU Ciptaker tidak dianggap inkonstitusional maka kami DPR mulai hari ini sudah menginisiasi bersama tim ahli untuk menyiapkan draf rancangan akademik dan rancangan undang-undangnya untuk dilakukan revisi,” kata Firman Soebagyo. 

Firman mengatakan revisi atas UU PPP itu bakal memasukan frasa dan norma omnibus law untuk memenuhi putusan MK. 

“Kalau itu sudah dilakukan secara konstitusional maka undang-undang ini tidak cacat hukum dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ini jelas sekali,” kata dia. 

DPR menargetkan revisi UU PPP itu selesai pada kuartal I/2022. Dengan demikian, Firman menegaskan, amanat MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja paling lama dua tahun dapat terpenuhi. 

“Kami akan ada penetapan penyusunan prolegnas, ini akan kami dorong sehingga pada awal tahun paling lambat bulan ketiga 2022 ini memenuhi harapan yang sudah ditentukan oleh MK,” kata dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.