UU Cipta Kerja, Putusan MK, dan Ketidakpastian Investasi

Putusan MK akan membebani sentimen investor jangka pendek dan bisa menunda arus masuk investasi langsung dalam jangka menengah.

Tim Redaksi

25 Nov 2021 - 23.57
A-
A+
UU Cipta Kerja, Putusan MK, dan Ketidakpastian Investasi

Massa buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan aliansi serikat pekerja lainnya melakukan unjuk rasa di depan Gedung Balaikota DKI Jakarta, Kamis (25/11/2021)./Antara

Bisnis, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inskonstitusional bersyarat disambut abu-abu oleh perwakilan buruh dan petani.

MK tidak membatalkan UU Cipta Kerja seperti tuntutan buruh. Namun, dengan MK meminta pemerintah dan DPR memperbaiki omnibus law itu dalam tenggat dua tahun, juga tidak memperbolehkan pemerintah membuat kebijakan strategis dan menerbitkan peraturan pelaksana, maka ada secercah harapan bagi para pemohon untuk dilibatkan dalam perbaikan UU. Sebagian buruh yang berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, menyalakan flares berwarna-warni dan bersorak-sorai menyambut putusan MK.

Para pemohon perkara melihat pembentukan UU Ciptaker sejak awal cacat formil dan bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan karena partisipasi publik yang kurang. Mereka menilai pemberlakuan UU Cipta Kerja khusus klaster pertanian berpotensi merugikan hak-hak petani secara umum dan menjauhkan pencapaian kedaulatan petani dan pangan di Indonesia.

Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) sekaligus pemohon uji formil menilai putusan MK menjadi dasar hukum kuat untuk menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 meskipun putusan itu inkonsisten karena tetap berlaku.

“Ini adalah kemenangan kecil rakyat atas inkonstitusional omnibus law UU Cipta Kerja, tetapi perjuangan masih tetap harus dilanjutkan mengingat hakim MK masih menyatakan UU Cipta Kerja berlaku,” katanya, Kamis (25/11/2021).

Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Manseutus Darto mengapresiasi putusan MK karena memunculkan indikasi partisipasi publik sebagai syarat kekonstitusionalan pembentukan UU.

Mewakili pemohon dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardianyah mengatakan indikator partisipasi bermakna harus melibatkan partisipasi rakyat, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan sampai dengan pengesahan UU.

“Jangan seperti UU Cipta Kerja yang tidak melibatkan gerakan petani,” ujarnya.

Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021)./Antara

Dalam putusan No 91/PUU-XVIII/2020, MK memerintahkan pembentuk UU untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak membenarkan penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Dalam amar putusan itu pula, MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan dibacakan’.

“Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen," tutur Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan amar putusan.

Selanjutnya, apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk UU tidak dapat menyelesaikan perbaikan, maka UU atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja, harus dinyatakan berlaku kembali.

Menanggapi putusan itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers menyatakan pemerintah menghormati dan mematuhi putusan MK tentang uji formil dan uji materiil UU Ciptaker. Dia mengatakan UU Ciptaker masih tetap berlaku secara konstitusional sampai diperbaiki dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh MK, begitu pula dengan peraturan pelaksana yang berlaku sebelum putusan itu.

“Selanjutnya, pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK yang dimaksud melalui penyiapan perbaikan undang-undang, dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya arahan Mahkamah Konstitusi lainnya sebagaimana dimaksud dalam putusan MK tersebut," kata Airlangga, didampingi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

KETIDAKPASTIAN

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memandang putusan MK menggantung dan tidak tegas. Menurut YLBHI, putusan MK kompromistis. Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD, MK memberikan putusan yang tidak berani lurus dengan logika hukum dan UU MK.

"Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan batal saja… Ini juga membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum," tulis YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia dalam pernyataan yang dilansir Tempo.

Ketidakpastian hukum ini akhirnya merembet ke bidang ekonomi. Pengusaha memang menyatakan putusan MK tidak akan berdampak langsung terhadap iklim investasi karena hanya menyasar muatan formal yang berkaitan dengan pembentukan UU alias bukan materi. Namun, tetap saja investor akan menunggu dan mencermati perbaikan semacam apa yang dilakukan pemerintah terhadap UU sapu jagat itu dalam dua tahun sebelum merealisasikan rencana investasi.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro berpendapat putusan MK akan membebani sentimen investor jangka pendek dan bisa menunda arus masuk investasi langsung dalam jangka menengah.

Menurutnya, hanya ada sedikit preseden ketika sebuah UU dinyatakan inkonstitusional, tetapi pada saat yang sama diberlakukan sementara. Bagi investor, kondisi ini sama dengan ketidakpastian. Mereka tidak tahu pasti apakah besaran pesangon bagi perusahaan yang memberhentikan pekerja yang diatur dalam UU Cipta Kerja akan tetap absah nantinya.

Keraguan juga disematkan pada ketentuan tentang tata ruang dan peraturan lingkungan untuk industri yang membangun pabrik baru, kepemilikan asing dan peraturan lainnya terkait merger dan akuisisi (M&A), serta teknis omnibus law karena pemerintah sekarang dilarang mengeluarkan peraturan turunan.

“Bagi investor, tindakan korporasi apa pun hari ini mungkin tidak sah setelah dua tahun, atau dalam skenario terburuk, omnibus law dibatalkan sepenuhnya dan itu tetap dimungkinkan,” ujar Satria. (Dany Saputra/ Aliftya Amarilisya/Stepanus I Nyoman A. Wahyudi/Sri Mas Sari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Sri Mas Sari

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.